Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Spider Verse dan Existential Psychology
28 Juli 2023 17:43 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari MOH ARI PUTRA WIRAYUDA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa minggu lalu, sebuah film animasi yang menceritakan sekumpulan manusia laba-laba dirilis ke layar lebar. Pujian serta review positif bertebaran di internet, menunjukkan seberapa bagus film ini. Setelah saya menontonnya sendiri, memang benar film berjudul Spider-Man: Across the Spider-Verse ini sangat bagus. Selain animasinya yang memanjakan mata, ada elemen lain yang cukup menarik perhatian saya dari film ini, yaitu perihal eksistensialisme yang sedikit tersirat di dalam plot cerita.
ADVERTISEMENT
Jadi, tulisan ini dibuat untuk membahas kaitan antara film Spider-Man: Across the Spider-Verse dengan salah satu konsep yang dipopulerkan oleh Rollo May, seorang psikolog berkebangsaan Amerika, yaitu existential psychology. Kita akan melihat karakter dan kepribadian sang tokoh utama berkembang jika dilihat dari perspektif psikologi eksistensial.
Sebelum menemukan kaitan antar kedua hal tersebut, kita perlu mendefinisikan apa itu eksistensialisme. Dikutip dari buku Theory of Personality (Feist et al., n.d.), eksistensialisme sendiri adalah sebuah aliran filosofi yang menekankan pada kebebasan individu, pengalaman subjektif, dan tanggung jawab untuk menemukan makna hidup.
Dikutip dari (Taylor, 2009) fokus dari psikologi eksistensial bukan pada manusia yang objektif, tetapi pada manusia yang hidup dan mengalami. Semua orang yang ada di dunia memiliki kebebasan akan kehendak, keinginan, serta tindakannya, bahkan sebagai manusia, kita memiliki kebebasan untuk menentukan takdir kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Kebebasan bertindak ini, menurut filsuf Søren Kierkegaard, muncul melalui perluasan kesadaran diri yang membuat individu menyadari bahwa, pada akhirnya, mereka bertanggung jawab atas nasib mereka sendiri. Dua konsep penting terkait eksistensialisme yang perlu dipahami adalah, apa yang Rolllo May sebut sebagai, Being-in-the-World dan Nonbeing.
Being-in-the-World adalah sebuah konsep keberadaan manusia di dunia, konsep ini tidak hanya menunjukkan keberadaan manusia di dunia, tapi juga kesatuan dan keterhubungannya dengan dunia. Dalam konsep keterhubungan manusia dengan dunia, May membaginya ke dalam tiga jenis yaitu Umwelt, hubungan dengan lingkungan sekitar kita; Mitwelt, atau hubungan kita dengan orang lain; dan Eigenwelt, atau hubungan kita dengan diri sendiri.
Selanjutnya adalah konsep nonbeing atau ketiadaan. Sebagai makhluk yang “ada”, manusia memiliki kesadaran bahwa mereka akan sampai ke kondisi ketiadaan atau nonbeing. Salah satu kondisi nonbeing adalah kematian, kesadaran seseorang akan kematian dapat mendorongnya untuk mencari makna dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, apa sebenarnya yang menjadi kaitan antara sebuah film animasi tentang manusia laba-laba dengan teori psikologi yang banyak terpengaruh ilmu filsafat ini. Film ini menceritakan tokoh utama seorang Spiderman bernama Miles Morales. Ia mendapatkan kekuatannya setelah seekor laba-laba radioaktif menggigitnya.
Seiring berjalannya cerita, Miles bertemu dengan banyak Spider-People dari semesta atau universe lain, salah satunya adalah Miguel O’Hara atau Spider-Man 2099. Miguel adalah inisiator dari Spider-Society, sebuah perkumpulan Spiderman dari berbagai semesta yang memiliki tugas melindungi eksistensi seluruh semesta agar tetap berjalan sesuai takdir.
Spider Society menangani ancaman serius yang kehadirannya mampu merusak linimasa semua semesta. Karena setiap peristiwa yang berbeda dari takdir dapat memicu anomali hingga berujung kehancuran semesta (Mengenal Spider-Man 2099, “Vampir” Pemimpin Spider-Society, 2023).
ADVERTISEMENT
Konflik terjadi saat Miguel menjelaskan kepada Miles tentang takdir yang akan terjadi, yaitu kematian ayah Miles yang akan terjadi dua hari kemudian. Takdir tersebut merupakan sebuah Canon Event atau peristiwa yang memang seharusnya terjadi, karena jika Canon Event diubah atau bahkan dicegah, dapat memicu anomali hingga runtuhnya semesta tersebut. Takdir tersebut menjadi pengorbanan yang harus dilalui seorang Spiderman.
Meskipun takdir tersebut bisa dicegah, Miguel mengatakan bahwa pada akhirnya Miles harus memilih antara menyelamatkan satu orang atau menyelamatkan seluruh dunia. Mengetahui takdir buruk yang akan menimpa ayahnya, Miles mencoba kembali ke semestanya dan menyelamatkan ayahnya. Namun, Miguel tidak dapat membiarkan itu terjadi. Dengan bantuan dari banyak Spider-People, Miguel mencoba menghentikan Miles kembali ke semestanya dan menyelamatkan ayahnya.
ADVERTISEMENT
Dilihat dari tinjauan eksistensialisme, sang tokoh utama dalam cerita, yaitu Miles Morales memiliki kesadaran bahwa ia memiliki kebebasan dalam memilih arah takdirnya sendiri. Seperti dalam sebuah adegan yang menunjukkan Miles mengatakan sebuah kalimat ikonik “everyone keeps telling me how my story suppose to go, nah, I’ma do my own thing.” Dari kalimat tersebut, kita bisa melihat bahwa Miles mengeklaim kebebasannya dalam menentukan takdirnya sendiri. Ia tidak mengizinkan siapa pun untuk mendikte bagaimana ia harus bertindak karena ia memiliki kebebasannya sendiri.
Mengembangkan kesadaran, memahami motif dari tindakan, dan dengan bebas memilih respons merupakan sebuah tindakan kesadaran. Kesadaran dalam memilih dengan bebas adalah tujuan dari kehidupan itu sendiri (Merwin, 2011). Satu hal yang juga memberi Miles sebuah tujuan adalah kematian ayahnya, atau dengan kata lain, kondisi nonbeing ayahnya. Dikutip dari jurnal (Todd & Shackelford, n.d.), terdapat sebuah teori yang dipelopori oleh Ernest Becker yang disebut Terror Management Theory atau TMT.
ADVERTISEMENT
Teori ini berpendapat bahwa ketakutan akan kematian dapat berdampak pada sense of self dan perilaku kita. Ketakutan Miles akan kematian ayahnya adalah satu faktor yang menentukan bagaimana perilaku dan tindakannya kemudian. Ketakutan bahwa ayahnya akan mati memberikan tujuan kepada Miles, dan menjadikannya sadar bahwa ia, mungkin saja, memiliki kendali atas takdir, meskipun itu berbeda dari apa yang menurut Miguel seharusnya terjadi.
Dalam bukunya yang berjudul Freedom and Destiny, Rollo May mendefinisikan destiny atau takdir sebagai pola batas dan bakat yang merupakan “pemberian” dalam hidup (May, 1981). Sesuatu yang merupakan “pemberian” dan tidak dapat dielak merupakan apa yang May sebut sebagai takdir. Takdir tidak dapat diubah, digantikan, ataupun dibatalkan, tetapi kita bisa memilih bagaimana merespons terhadap takdir tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, yang juga menjadi pertanyaan dari buku ini adalah, jika takdir merupakan “pemberian”, apakah kita bertanggung jawab terhadapnya. Rollo May mengungkapkan bahwa, meskipun terikat takdir, manusia tetap memiliki kebebasan dan tanggung jawab atas tindakannya dalam menghadapi takdir. Dalam konteks film tersebut, Miles memilih untuk menyelamatkan ayahnya dari kematian, sebagai respons dan tanggung jawabnya dalam menghadapi takdir.
Seseorang akan cenderung membenarkan keputusan yang mereka buat jika itu sesuai dengan identitas mereka atau true self (Schlegel et al., 2012). Dalam hal ini, Miles membuat keputusan untuk menyelamatkan ayahnya, karena itulah yang menurutnya sesuai dengan identitasnya sebagai Spiderman.
Selain itu, Rollo May juga menjelaskan perbedaan dari dua kebebasan, yaitu freedom of doing atau existential freedom dan freedom of being atau essential freedom. Ia mendefinisikan freedom of doing sebagai kebebasan untuk bertindak dan membuat pilihan. Dalam film tersebut, kebebasan Miles dalam memilih tindakannya untuk menyelamatkan ayahnya dapat dikatakan sebagai freedom of doing.
ADVERTISEMENT
Semakin berjalannya cerita, diketahui bahwa laba-laba radioaktif yang menggigit Miles bukan berasal dari semestanya melainkan dari semesta lain yang terbawa portal multisemesta. Dapat dikatakan bahwa Miles merupakan sebuah anomali, sehingga takdir yang menjadikannya Spiderman seharusnya tidak pernah terjadi. Menurut teori verifikasi diri yang dikutip dari (Pyszczynski et al., 2010), lingkungan sosial memainkan peran penting dalam pemeliharaan stabilitas pandangan seseorang terhadap dirinya.
Dengan mengetahui fakta bahwa Miles tidak seharusnya menjadi Spiderman, ia mengalami sedikit kebingungan akan identitasnya. Namun, Miles bersikukuh bahwa takdirnya adalah menjadi Spiderman atau setidaknya memilih kebebasannya untuk tetap menjadi Spiderman. Kebebasan Miles untuk memilih bahwa dirinya menjadi Spiderman merupakan salah satu bentuk freedom of being atau essential freedom.
ADVERTISEMENT
Freedom of being diartikan sebagai kebebasan untuk menjadi diri sendiri secara otentik tanpa paksaan dan tekanan pihak lain. Disebut juga sebagai inner freedom karena terkesan lebih dalam dan personal ketimbang freedom of doing. Miles memiliki freedom of being-nya karena ia memilih menjadi apa yang menurutnya sesuai dengan nilai dan prinsip dalam dirinya, yaitu menjadi Spiderman.
Kesimpulannya, film "Spider-Man: Across the Spider-Verse" menunjukkan kaitan yang menarik antara konsep eksistensialisme dan perjalanan tokoh utama, Miles Morales. Dalam cerita ini, Miles menghadapi pilihan antara takdir yang seharusnya terjadi dan kebebasan untuk menentukan takdirnya sendiri. Ia menunjukkan bahwa meskipun ada batasan dan takdir yang mungkin telah ditentukan, manusia tetap memiliki kebebasan untuk memilih bagaimana mereka merespons takdir tersebut.
ADVERTISEMENT
Kebebasan tersebut juga melibatkan tanggung jawab pribadi dalam menghadapi takdir dan membuat keputusan yang sesuai dengan nilai dan prinsip individu. Dengan demikian, film ini memberikan gambaran tentang bagaimana eksistensialisme dapat diterapkan dalam konteks naratif dan bagaimana kebebasan individu menjadi faktor penting dalam membentuk jalan hidup seseorang.