Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Pemilu 2024: Keberpihakan, Kecurangan, dan Pelanggaran Etik
2 Maret 2024 18:51 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Mohamad Dwi Firman Syah Moha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan momen krusial dalam kehidupan demokrasi sebuah negara. Namun, Pemilu 2024 di Indonesia menjadi sorotan tajam dengan berbagai kontroversi yang mencuat. Keberhasilan demokrasi terletak pada integritas dan transparansi proses pemilihan, namun, berbagai kecurangan merayap, meninggalkan bayang-bayang ketidaksetaraan dalam arena politik. Pemilu dan Pilpres 2024 di Indonesia tidak hanya menjadi panggung penuh demokrasi, tetapi juga dipenuhi dengan berbagai indikasi kecurangan demokrasi. Dari permasalahan di Mahkamah Konstitusi (MK) hingga potensi penyalahgunaan dana bansos untuk memenangkan salah satu paslon, sejumlah isu kontroversial membingkai dinamika politik negara ini, sehingga memunculkan rasa keprihatinan akan keberlangsungan integritas demokrasi di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Awalnya, keputusan MK untuk meloloskan aturan mengenai batas umur calon presiden dan calon wakil presiden yang belum mencapai 40 tahun menimbulkan banyak tanda tanya. Indikasi upaya meloloskan salah satu calon wakil presiden yang terkait erat dengan pucuk pemerintahan, sebagai anak dari Presiden Joko Widodo dan keponakan dari Ketua Hakim MK, Anwar Usman, memunculkan dugaan akan adanya intervensi politik yang menghantui kemandirian lembaga peradilan. Keputusan MK yang meloloskan aturan batas umur calon presiden dan wakil presiden menjadi pusat perdebatan. Indikasi kuat untuk meloloskan calon wakil presiden yang memiliki hubungan keluarga dengan Presiden Joko Widodo dan keponakan dari Ketua Hakim MK, Anwar Usman, menciptakan dugaan bahwa benar cawe-cawe atau campur tangan yang di lakukan presiden dalam pemilihan kali ini benar adanya, sehingga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap independensi lembaga peradilan. Tambahan kompleksitas muncul dengan Ketua Hakim MK, yang akhirnya dipecat karena terbukti melanggar kode etik berat dengan memutus dan mengubah persyaratan batas usia capres/cawapres.
ADVERTISEMENT
Tak kalah mengejutkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga terlibat dalam serangkaian pelanggaran etik. Pelanggaran etik oleh Ketua KPU dan komisioner membuka luka baru dalam integritas penyelenggara pemilu. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah mengumumkan putusan yang menyatakan bahwa para komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI terbukti melanggar etika. Keputusan tersebut menunjukkan bahwa para komisioner KPU melanggar etika dengan menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai salah satu calon wakil presiden untuk Pemilu 2024. Para komisioner tersebut terbukti abai terhadap kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu dengan tidak melakukan revisi aturan prosedur setelah putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023. Sanksi keras terhadap Ketua KPU Hasyim Asy'ari dan enam komisioner lainnya menjadi peringatan keras tentang kondisi demokrasi yang rawan disusupi kepentingan.
ADVERTISEMENT
Putusan DKPP ini memperkuat keputusan MK yang menyatakan bahwa pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden RI mengandung cacat etika. Selain itu, keputusan tersebut juga menegaskan adanya kekurangan integritas dalam pelaksanaan pemilu 2024. Pada kenyataannya, lembaga penyelenggara pemilu yang seharusnya bebas dari campur tangan politik malah terlibat dalam kontroversi. Putusan DKPP tidak hanya menyoroti kekurangan etika dalam pencalonan Gibran Rakabuming Raka, melainkan juga mengindikasikan keterlibatan signifikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dalam praktik nepotisme dan politik dinasti yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.
Selanjutnya, Film dokumenter "Dirty Vote" dengan tegas mengungkap serangkaian indikasi kecurangan dan ketidaknetralan yang dapat menghancurkan integritas proses pemilu. Pemekaran Papua dari 2 menjadi 6 provinsi menjadi sorotan, menimbulkan pertanyaan tentang motif politik di balik keputusan ini. Penunjukan 20 Penjabat Gubernur (Pj Gubernur) oleh Presiden Joko Widodo dengan kecenderungan mendukung paslon 02 semakin meningkatkan kekhawatiran akan manipulasi politik.
ADVERTISEMENT
Salah satu poin yang menonjol adalah deklarasi Kelompok Desa Bersatu yang mencurigakan. Dokumenter ini menyoroti kemungkinan adanya peran aktif kelompok ini dalam memanipulasi data pemilih, mengalokasikan dana desa secara tidak adil, dan memanfaatkan bantuan sosial (bansos) untuk kepentingan politik tertentu. Investigasi mendalam dilakukan untuk membongkar praktik-praktik yang merugikan demokrasi.
Selanjutnya, ketidaknetralan beberapa menteri, baik yang tergabung dalam tim kampanye maupun yang secara terang-terangan mendukung paslon tertentu, semakin membingungkan batasan antara pemerintahan dan politik. Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan pemimpin partai dan capres dari paslon 02 dalam kondisi tidak cuti menunjukkan sikap yang mengejutkan dan meninggalkan pertanyaan tentang netralitas kepala negara. Tindakan tersebut dapat menciptakan persepsi bahwa batasan antara fungsi pemerintahan dan politik menjadi kabur, sehingga memicu keprihatinan terkait netralitas kepala negara. Penggunaan sumber daya pemerintah untuk mendukung kampanye tertentu atau pertemuan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah tanpa cuti dari jabatan mereka dapat menimbulkan pertanyaan etika dan legalitas.
ADVERTISEMENT
Keberlanjutan campur tangan politik dalam kinerja pemerintahan dapat merugikan prinsip demokrasi dan prinsip pemerintahan yang baik. Netralitas kepala negara dan seluruh kabinetnya diharapkan agar dapat memastikan bahwa kebijakan yang diambil untuk kepentingan masyarakat dan bukan untuk kepentingan politik tertentu.
Pentingnya menjaga integritas lembaga-lembaga negara menjadi semakin krusial untuk membangun kepercayaan publik. Adanya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tindakan pemerintah dapat membantu mengurangi keraguan terhadap netralitas pemerintah.
Dan yang terakhir, dan yang paling mencengangkan adalah penyelewengan dana bansos sebagai alat politik dan kampanye. Anggaran dana bansos 2024 yang melampaui anggaran bansos pada masa pandemi Covid-19 menciptakan polemik besar dan meninggalkan keraguan akan penggunaan sumber daya negara yang seharusnya untuk kepentingan rakyat. Penyelewengan dana bansos untuk kepentingan politik dan kampanye merupakan tindakan yang sangat merugikan dan tidak etis. Penggunaan dana bansos yang seharusnya ditujukan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, terutama dalam situasi sulit seperti masa pandemi Covid-19, seharusnya dilakukan dengan transparansi dan integritas.
ADVERTISEMENT
Polemiik terkait anggaran dana bansos yang melampaui anggaran pada masa pandemi menciptakan ketidakpercayaan dan kekecewaan di kalangan masyarakat. Seharusnya, pengalokasian dana tersebut harus didasarkan pada kebutuhan riil dan urgensi kesejahteraan masyarakat, bukan untuk kepentingan politik kelompok tertentu.
Dalam menghadapi tantangan ini, bersatu dalam menjunjung prinsip-prinsip demokrasi yang sehat sangat penting. Reformasi pemilihan, penegakan etika, dan transparansi dalam proses politik menjadi kunci untuk membangun masa depan yang adil dan berintegritas bagi Indonesia. Langkah-langkah ini melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam menyuarakan aspirasi, mendukung reformasi sistem pemilihan untuk memastikan representasi yang lebih baik, serta menuntut akuntabilitas dan transparansi dari para pemimpin. Dengan bersatu, masyarakat dapat membentuk fondasi demokrasi yang kuat, menjaga keadilan, dan memastikan bahwa kebijakan pemerintah benar-benar melayani kepentingan rakyat bukan kepentingan golongan tertentu.
ADVERTISEMENT