Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
'Nyanyian Akar Rumput' dan Cara Fajar Menghidupkan Puisi Wiji Thukul
27 Januari 2020 15:59 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Moh Fajri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Aku kurang sigap mengawasi bagaimana suasana awal saat film Nyanyian Akar Rumput dimulai. Aku mengira masih iklan film di bioskop seperti biasa. Sehingga, aku lebih memilih membaca buku kecil berwarna kuning yang dibagikan sebelum masuk ke studio tempat diputarnya film Nyanyian Akar Rumput.
ADVERTISEMENT
Saat masih fokus membaca, genjrengan gitar sudah terdengar dan suara Fajar Merah mulai menyapa para penonton. Fajar bersama band Merah Bercerita sedang tampil membawakan lagu Kebenaran Akan Terus Hidup.
Aku sering mendengar lagu itu di YouTube yang dibawakan Fajar hanya dengan iringan gitar akustik. Ternyata, saat dimainkan bersama band dan dengan speaker yang menggelegar di bioskop rasanya berbeda. Lagu itu belum dibawakan sampai selesai, tapi setidaknya sudah bisa membuatku menutup buku kuning dan mengarahkan fokus ke layar bioskop.
Dalam film ini, penonton akan sering diajak mampir ke rumahnya Fajar di Solo. Sebab, rumah itu memang dijadikan salah satu latar dari film tersebut. Di rumah yang tidak bisa dibilang mewah itu diperlihatkan bagaimana ibu Fajar, Siti Dyah Sujirah atau Sipon, beraktivitas mulai dari menjahit sampai memasak. Ada juga kakak Fajar, Fitri Nganthi Wani, yang menemani keseharian mereka berdua.
ADVERTISEMENT
Selain itu, di rumah Fajar juga banyak dijadikan sebagai tempat proses kreatif dari Merah Bercerita. Personel Merah Bercerita sering kongko di rumah Fajar. Sudah bisa dibayangkan rumah Fajar tidak bakalan sepi kalau mereka sedang ngumpul. Tentu saja mereka bakal guyon ngalor-ngidul atau setidaknya genjrengan gitar sudah bisa meramaikan seisi rumah.
Biasanya, kalau kita main ke rumah teman dan terlalu berisik kan tidak enak sama pemilik rumah. Bisa juga tuan rumah menegur langsung, “Jangan ramai-ramai Jar, enggak enak sama tetangga.”
Namun, Sipon tidak melakukan itu. Sipon membiarkan Fajar dan Merah Bercerita tetap begijakan di rumah. Sipon sepertinya malah tidak ingin rumahnya sepi. Mungkin, bisa jadi karena dia sudah terlalu lama kesepian sejak ditinggalkan suami yang juga bapaknya Fajar, Wiji Thukul.
Wiji Thukul hilang sejak Fajar masih berusia sekitar 5 tahun atau tepatnya jelang reformasi tahun 1998. Eh maaf, itu hilang atau dihilangkan? Enggak tahulah. Intinya sampai sekarang bapaknya Fajar belum ada kabarnya.
ADVERTISEMENT
Tunggu dulu, Wiji Thukul bukan hilang begitu saja. Ia masih meninggalkan jejak melalui puisi-puisi yang ditulisnya. Nah, puisinya Wiji Thukul itulah yang banyak menginspirasi Fajar dan Merah Bercerita dalam bermusik.
Fajar menghidupkan kembali puisi Wiji Thukul dengan aransemen musik yang seharusnya gampang dinikmati oleh muda-mudi masa kini. Fajar tahu betul, puisi bapaknya mungkin nggak nyantol dibaca anak muda seusianya. Jadi, musik adalah pilihan yang tepat.
Fajar dan Merah Bercerita memutuskan membuat album. Dalam satu adegan, tampak Fajar naik mobil bak terbuka dengan mengenakan celana cekak, tapi tidak gemes, berangkat ke studio rekaman. Rekaman itu tampak berjalan lancar.
Pada 2015, keluarlah album perdana Merah Bercerita yang bertajuk Merah Bercerita yang berisi 10 lagu. Beberapa puisi Wiji Thukul dinyanyikan, mulai dari Bunga dan Tembok, Kebenaran Akan Terus Hidup, Apa Guna, sampai Derita Sudah Naik Seleher.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, aku dipertontonkan bagaimana perjalanan Merah Bercerita dari satu panggung konser ke panggung lainnya untuk menyuarakan puisinya Wiji Thukul. Para muda-muda tampak banyak yang hapal dan ikut nyanyi bersama saat konser berlangsung.
Aku yang duduk manis di bioskop seperti diajak ikut berada di tengah pertunjukan dan ikut bernyanyi bersama lagu Bunga dan Tembok. Adegannya begini, saat intro lagu, para penonton tampak terbawa alunan musik. Lalu, Fajar di depan penonton mulai bernyanyi.
“Seumpama bunga, kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh,” petikan lagunya.
Sembari musik masih terus dimainkan, Fajar lalu turun dari panggung dan berada di baris depan. Ia memposisikan diri sebagai seorang penonton dan ikut bernyanyi bersama bait lanjutannya.
ADVERTISEMENT
“Seumpama bunga, kami adalah yang tak kau hendaki adanya,” lanjutan baitnya.
Setelah itu, secara kompak para penonton yang hadir ikut menyanyikan lagu Bunga dan Tembok. Fajar kembali di atas panggung. Teriakan penonton terasa semakin keras saat lirik lagu mendekati bait akhir.
“Jika kami bunga. Engkaulah tembok itu. Telah kami sebar biji-biji di tubuhmu. Suatu saat nanti, akan tumbuh bersama dengan keyakinan engkau harus hancur, engkau harus hancur, engkau harus hancur, engkau harus hancur,”.
Lagu-lagu yang ditampilkan di panggung lainnya juga dibawakan Fajar dan Merah Bercerita cukup bagus. Ada juga pertunjukan saat Fajar mengajak Wani untuk berpuisi dan teatrikal di tengah lagu-lagu yang dibawakannya.
**
Film dokumenter ini terasa emosional saat ada adegan Sipon menerima penghargaan untuk Wiji Thukul dari sebuah lembaga. Dalam acara penghargaan itu juga dibacakan puisi yang intinya mempertanyakan keberadaan Wiji Thukul. Selama acara, tampak keluarga Wiji Thukul saling berpelukan tanda haru.
ADVERTISEMENT
Seusai menerima penghargaan, Sipon diwawancarai oleh rekan media yang hadir. Sipon tidak bisa berbicara panjang lebar mengenai harapannya terkait nasib Wiji Thukul. Namun, tangisannya sudah bisa menggambarkan beban berat yang dirasakannya.
Sipon lalu meninggalkan rekan media dengan air mata yang terus keluar. Tak lama setelah itu, ia pingsan. Sipon pingsan bukan karena lemah. Sekali lagi, beban yang dipikulnya teramat berat.
Seandainya bisa memilih, mungkin Sipon akan memilih Wiji Thukul tetap ada dan menemaninya membesarkan Wani dan Fajar daripada mendapatkan sebuah penghargaan.
***
Film Nyanyian Akar Rumput tidak melulu bercerita mengenai puisi kritis Wiji Thukul yang dinyanyikan Fajar. Film ini juga mengajak masyarakat kembali mengingat momen saat Pilpres (Pemilihan Umum Presiden) 2014. Saat itu, Joko Widodo dan Jusuf Kalla berkompetisi dengan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa untuk memperebutkan kursi RI 1.
ADVERTISEMENT
Sipon sudah jelas mendukung Jokowi yang juga mantan Wali Kota Solo. Sipon menganggap Jokowi sosok yang lebih tepat memimpin Indonesia dibanding Prabowo. Ia selalu mengikuti perkembangan Pilpres 2014 khususnya dari televisi di rumahnya.
Sipon menaruh harapan Jokowi bisa menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk yang dialami Wiji Thukul. Apalagi, dalam film itu juga disinggung mengenai janji Jokowi yang bakal menuntaskan permasalahan tersebut.
Namun, sampai saat ini belum ada tanda-tanda janji tersebut bakal diurai. Entah di mana kendalanya, aku tidak tahu. Yang jelas, Fajar hanya ingin mengingatkan kembali bahwa ada janji yang harus ditepati.
“Saya cuma pingin ngomong sama Pak Presiden itu karena saya yakin mata saya ini masih normal dan Pak Presiden juga punya telinga, sama seperti kita semua. Semoga ini disampaikan pada hati beliau. Jadilah Presiden sebagaimana mestinya Presiden itu, kalau dirasa punya janji ya ditepati,” ujar Fajar di buku bersampul kuning yang saya bawa pulang ke indekos.
ADVERTISEMENT
Lalu, apakah masih ada harapan agar Pak Jokowi bisa menuntaskan atau setidaknya memberikan perhatian untuk hilangnya Wiji Thukul dan kasus pelanggaran HAM masa lalu lainnya di periode keduanya memimpin?
Sepertinya pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab panjang lebar.