Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Menyeimbangkan Logika Rasional dan Mistik: Sebagai Kunci Kemajuan Bangsa
21 Januari 2025 21:38 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Khalil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika kita membahas manusia, maka yang menjadi titik berat pembahasan ini adalah: apa manusia itu? Bagi kebanyakan filsuf aliran rasionalis, manusia adalah animal rasional—hewan yang berpikir. Rasional berarti berpikir atau berargumen yang bisa diterima oleh akal, yakni sebuah pendapat yang sesuai dengan logika umum.
ADVERTISEMENT
Sebuah kesenjangan yang tidak terbantahkan hari ini adalah bahwa sebagian manusia berpikir apa pun yang terjadi di alam semesta ini tidak lain dari kehendak Tuhan, sebuah kehendak mistis. Pada kenyataannya, mereka lupa bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan berdasarkan hukum sebab akibat sejak pertama kali ia ada. Jika manusia terus-menerus berpikir seperti ini, maka manusia akan kehilangan citranya sebagai hewan rasional. Bahayanya, akal manusia akan buntu dan berhenti berkembang. Lebih parah lagi, pemikiran seperti itu cenderung melemparkan segala sesuatu kepada Tuhan sehingga manusia beranggapan bahwa mereka tidak memiliki kekuatan. Padahal, realitanya manusia tidak demikian. Manusia diberikan akal oleh Tuhan agar mereka berpikir dan mandiri, demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Imbas dari pemikiran seperti ini menjadi salah satu faktor terbelakangnya Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pemikiran seperti ini sangat berbahaya. Jika terus berlanjut, kita—terutama bangsa ini—akan berada dalam kemunduran terus menerus. Namun, perkataan saya di atas bukan berarti saya menghilangkan logika mistik dalam kehidupan berbangsa, terutama di Indonesia. Logika mistik di Indonesia merupakan tradisi yang mencirikan identitas bangsa ini, sehingga, setidaknya, logika tersebut tetap dilaksanakan. Meski demikian, logika mistik ini harus digunakan pada tempatnya, misalnya dalam kelompok tertentu yang satu tradisi dan budaya, karena tidak semua orang dapat menerima pemikiran model seperti ini.
Tan Malaka menyebutnya sebagai "logika mistika." Ketika kita berada di ranah akademis, politik nasional, atau internasional, logika mistika ini harus disisihkan sementara dan digantikan dengan metode rasional. Bahkan, jika perlu, kita harus mengadopsi pendekatan skeptisisme agar mampu menyaingi pemikiran-pemikiran Barat.
ADVERTISEMENT
Salah satu ilmuwan Barat pernah berkata bahwa yang ditakuti dari Indonesia adalah kedekatannya dengan hal-hal metafisis, khususnya dalam konteks perang dan pertahanan. Namun, kekuatan fisik saja tidak cukup jika kita minim berpikir. Hal ini justru menjadi petaka bagi Indonesia. Mengapa demikian? Karena ketika kita minim berpikir, kita mudah didominasi oleh musuh. Pernyataan tersebut memiliki maksud terselubung yang perlu kita telaah dengan kritis. Bangsa Barat ingin Indonesia tetap berada dalam situasi seperti ini agar mudah dijajah kembali.
Oleh karena itu, citra berpikir rasional perlu dibangun. Tan Malaka pernah berkata, “Jika sebuah ilmu tidak bisa diuji kebenarannya dan tidak bisa dikritik, maka matilah ilmu pasti.” Artinya, jika hanya logika mistik yang dikedepankan, maka ilmu pasti seperti sains tidak akan berkembang. Di Barat, ilmu pengetahuan sangat menonjol, sedangkan di Indonesia, logika mistik justru lebih dominan.
ADVERTISEMENT
Jika bangsa ini ingin maju, kita harus memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan antara logika umum dan logika mistik. Keduanya tidak boleh berlebihan. Ada benarnya juga pendapat Tan Malaka bahwa jika seseorang masih terjebak dalam logika mistik, maka ia akan sulit diajak maju. Namun, pendapat ini tidak bisa diterima mentah-mentah, melainkan harus dikaji lebih lanjut.