Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Problematika Pendidikan di Indonesia: Nilai Akademik Tinggi atau Rendah?
20 Februari 2025 14:29 WIB
ยท
waktu baca 2 menitTulisan dari Khalil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Pendidikan dalam sebuah negara tentu harus diutamakan. Tanpa pendidikan, sebuah negara tidak akan berarti di mata bangsa lain, bahkan bisa saja dijadikan boneka oleh negara lain karena mudah dimanipulasi.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah Indonesia, kemerdekaan sepenuhnya telah menjadi cita-cita bangsa sejak dahulu hingga sekarang. Meskipun demikian, cita-cita ini belum sepenuhnya tercapai. Hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap pengetahuan di Indonesia. Saat ini, Indonesia terlalu mengedepankan aspek ekonomi, padahal ekonomi tanpa pengetahuan tidak akan memiliki arti yang kuat.
Jika meninjau sejarah Barat, kemajuan yang mereka capai hingga saat ini disebabkan oleh prioritas yang diberikan pada ilmu pengetahuan dibandingkan ekonomi. Mereka beranggapan bahwa dengan pengetahuan, ekonomi akan lebih mudah berkembang. Sebaliknya, di Indonesia, ekonomi lebih diutamakan dibandingkan pengetahuan. Hal ini jelas merupakan kesalahan, sebab tanpa pengetahuan, ekonomi akan sulit untuk berkembang.
Di Barat, masyarakat dituntut untuk belajar dengan sungguh-sungguh dan meraih nilai yang memuaskan. Bahkan, nilai akademik yang tinggi menjadi pertimbangan penting dalam dunia kerja. Sementara itu, di Indonesia, standar nilai akademik masih rendah. Sebagai contoh, nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 2,8 dianggap cukup, padahal hal ini mencerminkan bahwa mahasiswa belum memiliki pemahaman yang baik dalam bidang yang dipelajarinya. Jika seseorang yang kurang kompeten dalam pendidikan dijadikan pemimpin, tentu akan berdampak fatal bagi bangsa.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, dalam sebuah unggahan video, Pak Bahlil menyatakan bahwa IPK tidak menjamin kecerdasan seseorang dan bahwa mereka yang hanya mengandalkan IPK tinggi harus bersiap-siap menjadi karyawan. Jika demikian, lalu untuk apa IPK diadakan? IPK yang tinggi seharusnya dijadikan tolok ukur bahwa seseorang memiliki kompetensi dalam bidang tertentu. Banyak lulusan dengan IPK tinggi yang menganggur bukan karena mereka tidak kompeten, melainkan karena pengetahuan mereka tidak dimanfaatkan akibat pandangan seperti ini. IPK tinggi seharusnya diuji dan dibuktikan dalam dunia kerja, bukan justru dikesampingkan.