Konten dari Pengguna

Menilik Lanskap Regulasi Biofuel Antarnegara

Moh Rifli Mubarak
Moh. Rifli Mubarak is a Climate and Sustainability Officer at ECADIN. He has three years of experience in esteemed international institutions, organizations, and think-tanks focusing on public policy, sustainability, and international investment.
7 Februari 2025 14:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh Rifli Mubarak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: Freepik
ADVERTISEMENT
Biofuel merupakan bahan bakar berbasis tanaman yang saat ini menjadi salah satu kunci penting dalam mendukung transisi energi di Indonesia maupun dunia. Berbagai inisiatif dan kebijakan yang dihadirkan untuk mendukung transisi energi berkelanjutan dan reduksi emisi melalui penggunaan biofuel memegang peran vital dalam memudahkan sinergitas perusahaan dan pemerintah, proses distribusi, dan legalitas biofuel. Misal saja di Indonesia, PT Pertamina meluncurkan produk Pertamax Green 95 sebagai bahan bakar campuran Pertamax dan nabati etanol (kandungan 5%) yang berasal dari tanaman tebu. Kehadiran bahan bakar ramah lingkungan ini merupakan manifestasi perusahaan terhadap apa yang dimandatkan dalam Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati sebagai Bahan Bakar Lain dan Surat Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konversi Energi No. B- 1348/EK.05/DJE.B/2023 perihal Implementasi E5 (Etanol 5%).
ADVERTISEMENT
Kebijakan biofuel hadir untuk memberikan target, insentif, dan mandat yang bertujuan untuk mendorong peningkatan produksi biofuel khususnya dalam mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2050 maupun 2060. Dalam lingkup internasional dan untuk mendukung pengembangan biofuel, Global Biofuel Alliance (GBA) dibentuk pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 New Delhi 2023 sebagai aliansi yang mendorong pengembangan biofuel berkelanjutan serta menetapkan standar dan sertifikasi yang kuat; hingga mendukung kemajuan dalam teknologi biofuel dan kolaborasi global. Kesadaran terhadap bahan bakar ramah lingkungan sudah menjadi bagian dari angin segar bagi setiap negara yang memiliki komitmen terhadap NZE. Lantas, bagaimana kebijakan hingga insentif yang dibuat oleh masing-masing negara dalam mendukung implementasi biofuel?
Peraturan biofuel di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain yang secara fundamental menetapkan target pencampuran biofuel untuk sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik dengan jumlah 30% untuk biodiesel dan 20% untuk bioetanol pada tahun 2025. Selain itu, peraturan ini juga mewajibkan penggunaan 2% biofuel pada transportasi udara sejak Januari 2016.
ADVERTISEMENT
Peraturan lainnya yakni diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati. Peraturan ini menjabarkan target utama dalam hal peningkatan produksi bioetanol pada tahun 2030. Peraturan ini juga mencakup peta jalan untuk mencapai swasembada gula nasional dan penyediaan bioetanol dengan fokus pada: 1) Peningkatan produktivitas tebu hingga 93 ton/ha; 2) Perluasan lahan perkebunan tebu baru seluas 700.000 hektar; 3) Meningkatkan efisiensi pabrik gula hingga hasil rendemen 11,2%; 4) Peningkatan kesejahteraan petani; 5) Memproduksi setidaknya 1,2 juta kL bioetanol dari tebu.
Amerika Serikat memiliki standar dan insentif tertentu dalam hal mendorong implementasi bahan bakar ramah lingkungan. Dimulai dari Renewable Fuel Standard (RFS) yang mengharuskan bahan bakar di Amerika Serikat mengandung minimum volume bahan bakar terbarukan. Kebijakan ini dilandaskan oleh Energy Policy Act tahun 2005 dan diperluas lagi melalui Energy Independence and Security Act tahun 2007. Selain itu, terdapat pula Low Carbon Fuel Standard (LCFS) yang bertujuan membatasi intensitas karbon pada bahan bakar transportasi dan mendorong penggunaan alternatif rendah karbon seperti listrik, hidrogen, dan biofuel. Implementasi LCFS dapat ditemukan di California. LCFS di California menawarkan kredit pajak kepada perusahaan atau produsen yang berhasil berkontribusi pada degradasi karbon dari bahan bakar yang mereka produksi.
ADVERTISEMENT
Lalu, kebijakan insentif lainnya yang diberikan oleh Amerika Serikat yakni sesuai yang tercantum dalam The Inflation Reduction Act of 2022 (IRA) bahwa terdapat beberapa ketentuan kredit pajak: 1) The Biodiesel and Renewable Diesel Blenders Tax Credit (BTC) yang memberikan kredit pajak sebesar $1 per galon untuk setiap pencampuran biodiesel dengan diesel berbasis minyak bumi; 2) The Sustainable Aviation Fuel (SAF) Credit yang diperkenalkan pertama kali melalui IRA di periode 2023-2024, dengan menawarkan kredit $1,25–$1,75 per galon untuk campuran SAF yang dapat mencapai pengurangan gas rumah kaca setidaknya 50%.
Uni Eropa memiliki Renewable Energy Directive II (RED II) yang menargetkan target 32% energi terbarukan di tahun 2030, dengan minimum 14% pada sektor transportasi. Uni Eropa lebih memprioritaskan advanced biofuel yakni biofuel generasi kedua dan ketiga yang bersumber dari tanaman non-pangan atau bagian tanaman pangan yang tidak dapat dimakan dan dianggap sebagai limbah, misalnya batang, sekam, serpihan kayu, serta kulit dan kupasan buah. Untuk biofuel generasi ketiga yakni bersumber dari alga. RED II memprioritaskan advanced biofuel dengan sub-target 3,5% yang akan meningkat secara bertahap dari 2022 hingga 2030. Selain itu, terdapat ReFuelEU Aviation yang merupakan kebijakan Uni Eropa dalam mengurangi emisi CO2 di ranah penerbangan dengan meningkatkan penggunaan SAF dan mewajibkan pemasok bahan bakar penerbangan untuk secara bertahap mencampurkan lebih banyak SAF, meliputi biofuel sintetis dan maju yang berasal dari limbah dan residu, ke dalam bahan bakar jet konvensional di bandara Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
Tiongkok memiliki Renewable Energy Law dalam mendorong produksi dan pemanfaatan bahan bakar biofuel. Pada tataran implementasi, Tiongkok memiliki beberapa rencana spesifik di ranah pengembangan pemanfaatan biofuel. Tiongkok memiliki "The 14th Five-Year Plan: Modern Energy System Planning” yang menyerukan pengembangan bioetanol non-pangan seperti biofuel selulosa. Kemudian, terdapat pula “The Specialized Green-development Plan for Civil Aviation Green Development in the 14th Five-Year Plan” yang dikeluarkan oleh Civil Aviation Administration of China yang mengusulkan terobosan dalam aplikasi komersial SAF dengan target konsumsi SAF lebih dari 20.000 ton pada tahun 2025, serta 50.000 ton konsumsi SAF selama periode 14th Five-Year Plan.
Brazil memiliki program unik yaitu "RenovaBio", sebuah kebijakan nasional tentang pengaturan biofuel yang diatur dalam Law No. 13,576/2017. RenovaBio bertujuan untuk mendorong produksi biofuel secara berkelanjutan serta meningkatkan inklusi sosial melalui pembebasan pajak dan pemberian insentif khusus bagi industri biodiesel. Selain itu, program ini mendukung industri biofuel dengan menerbitkan sertifikat pengurangan emisi gas rumah kaca sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim. Dalam implementasinya, Brazil telah menetapkan mandat pencampuran etanol hingga E27 (27% etanol dalam bensin), di mana etanol kini tersedia di hampir semua SPBU di negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh:
Arie Rahmadi, Ph.D. (Senior Researcher BRIN)
Moh. Rifli Mubarak (Climate & Sustainability Officer ECADIN)