Efektivitas, Penjaminan Mutu, dan Pengembangan Sekolah

Moh Rifqi Rahman
Dosen di Institut Al Azhar Menganti Gresik. Alumnus S3 Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
Konten dari Pengguna
18 Maret 2024 9:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh Rifqi Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak laki-laki dan perempuan sekolah. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak laki-laki dan perempuan sekolah. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salah satu masalah pendidikan di Indonesia adalah tidak jelasnya perbedaan antara school effectiveness (efektivitas sekolah), quality assurance (penjaminan mutu), dan school improvement (pengembangan sekolah). Efektivitas sekolah lebih mengarah pada luaran capaian pembelajaran siswa sehingga cenderung merujuk pada pembelajaran hingga penilaian (Bellei dkk., 2020); sedangkan penjaminan mutu mengarah pada pemenuhan standar mutu yang sudah ditentukan sebelumnya dalam kebijakan (Loock & Scherman, 2020); dan pengembangan sekolah lebih mencerminkan implementasi rencana perbaikan dalam bentuk apa pun secara berkelanjutan melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi oleh masing-masing sekolah sendiri (Mafratoğlu dkk., 2023).
ADVERTISEMENT
Ketiga istilah tersebut sejatinya merupakan satu kesatuan yang berkelanjutan. Suatu sekolah, pada awalnya, tentu harus menargetkan efektivitasnya melalui potret kualitas pembelajaran. Setelah itu, target selanjutnya adalah sekolah harus memiliki mutu yang sesuai dengan standar kebijakan pendidikan nasional. Terakhir, sekolah mulai memiliki inisiatif–berlandaskan pada efektivitas dan mutu–untuk mengukur dirinya sendiri tentang kompetensi aktualnya dan gambaran tentang bagaimana target progres lebih lanjut.

Efektivitas dan Penjaminan Mutu

Jika ketiga istilah tadi dijadikan landasan, maka konteks pendidikan Indonesia, sekali lagi, masih belum memiliki program-program konkret untuk mengarah ke sana. Misalnya tentang efektivitas sekolah. Ujian nasional sebenarnya dapat menggambarkan tentang hal ini.
Namun program ini dihentikan pada 2021 silam. Akibatnya, banyak sekolah khususnya Sekolah Menengah Atas (SMA) pada akhirnya mengubah pengukuran efektivitasnya dari capaian ujian nasional menjadi tingkat penerimaan siswa di jenjang universitas.
ADVERTISEMENT
Semakin banyak siswa yang diterima di perguruan tinggi bergengsi, maka semakin baik kualitas sekolah tersebut. Namun pertimbangan yang sama tidak dapat diimplementasikan pada Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sebab pemerintah telah menghapus label sekolah elite dan menerapkan kebijakan zonasi sejak tahun 2017.
Selanjutnya adalah penjaminan mutu. Satu-satunya program konkret untuk memotret tentang penjaminan mutu sekolah di Indonesia adalah program akreditasi. Program ini memberikan gambaran tentang kelayakan program dan satuan pendidikan berlandaskan pada Standar Nasional Pendidikan dengan delapan butir standar itu. Hasilnya, sekolah dapat menggunakan hasil akreditasi ini sebagai informasi untuk mengevaluasi kelayakan, dasar penyusunan program selanjutnya, serta identifikasi kelemahan dan kekurangan sesuai klasifikasi delapan standar tadi.
Di waktu yang sama, program akreditasi ini juga dapat sedikit menutup lubang kealpaan program pada ranah efektivitas sekolah sebelumnya. Meski cenderung lebih umum, paling tidak hasil dari program ini dapat memberikan gambaran tentang standar tingkat pencapaian perkembangan dan standar pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan tertentu.
ADVERTISEMENT
Akreditasi ini di satu sisi sangat diperlukan untuk penjaminan standar mutu satuan pendidikan, namun di sisi lain–jika hanya berhenti sampai di sini–dapat membatasi ruang ekstra untuk perbaikan setelah memenuhi semua kriteria standar. Satuan pendidikan yang sudah mencapai nilai A atau unggul, maka tidak ada lagi kotak yang perlu dicentang atau indikator yang harus diisi lagi.
Oleh sebab itu, pendidikan Indonesia tidak boleh berhenti sampai akreditasi ini. Pendidikan Indonesia harus mulai visioner bagaimana setiap sekolah dapat melakukan pengembangan sekolahnya secara berkelanjutan. Itulah mengapa pendidikan Indonesia memerlukan kerangka kerja pengembangan sekolah.

Kerangka Kerja Pengembangan Sekolah

Istilah pengembangan sekolah (school improvement) bukanlah istilah baru jika merujuk pada sistem pendidikan di beberapa negara. Bahkan, beberapa negara sudah memiliki kerangka kerjanya. Australia memiliki School Performance Improvement Framework (SPIF), Skotlandia memiliki National Improvement Framework (NIF), Washington-USA memiliki Washington School Improvement Framework (WSIF), bahkan Lewisham, sebuah distrik di Tenggara London telah mengembangkan kerangka kerja ini dengan lebih spesifik mengarah pada konteks yang sesuai.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan jika pendidikan Indonesia hendak mencanangkan kerangka kerja pengembangan sekolah ini. Pertama, aspek pembelajaran. Arah pengembangan pembelajaran dalam pendidikan Indonesia memerlukan kejelasan arah. Paling tidak ada tiga klasifikasi arah, yaitu profesionalisme guru, pengajaran di kelas, dan pembelajaran siswa.
Kedua, aspek kepemimpinan dan manajemen. Aspek ini menekankan pada progres kompetensi kepala sekolah untuk mengimplementasikan kepemimpinan strategis, manajemen yang cerdas dan efektif, serta administrasi yang transparan dan terorganisir.
Ketiga, aspek penilaian pembelajaran yang efektif dan bermakna. Konteks Indonesia, aspek penilaian memang sudah variatif bentuknya. Namun hal tersebut justru hanya terbatas pada bagaimana menggunakan teknik penilaian dan tidak mengarah pada bagaimana teknik penilaian dikembangkan. Sehingga teknik penilaian hanya tergambar dari sisi tingkat efektivitasnya, bukan dari sisi kebermaknaannya.
ADVERTISEMENT
Keempat adalah aspek dukungan masyarakat dan kebudayaan. Arah pengembangan sekolah tentu harus selalu relevan dengan kebutuhan dan konteks masyarakat serta budaya di mana sekolah itu berada (Grützmacher dkk., 2023). Dengan demikian, budaya setempat serta partisipasi masyarakat dapat menjadi pertimbangan dasar untuk mengkonstruk budaya sekolah yang positif pada tahap pengembangannya.
Kelima, aspek pengembangan berbasis data. Ini adalah aspek pertimbangan pengembangan sekolah yang paling penting. Arahnya adalah data menjadi dasar untuk pertimbangan target yang akan ditetapkan selanjutnya sebagai ejawantah dari pengembangan. Dengan kata lain, (misal) jika sekolah hendak mencanangkan target pengembangan baru dalam aspek pembelajaran maka data harus jelas terlebih dahulu. Data harus menunjukkan sudah sampai mana kualitas pembelajaran sekolah, sehingga target pengembangan selanjutnya juga tergambar secara logis dan dapat diterjemahkan dalam rutinitas yang dapat dilakukan secara konkret.
ADVERTISEMENT