Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Generasi Muda dan Pajak yang Tak Pernah Dirasakan Manfaatnya
1 Mei 2025 15:39 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Mohamad Adigdaya Zulfikar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Bayar pajak buat apa? Toh jalan masih rusak, pendidikan mahal, dan korupsi tetap jalan.” Kalimat seperti ini semakin sering terdengar di kalangan muda. Sayangnya, bukan sekadar ungkapan frustrasi, tapi telah berubah menjadi semacam pembenaran untuk bersikap masa bodoh terhadap pajak. Ironisnya, sebagian besar yang mengeluhkan itu justru belum pernah membayar pajak secara langsung, apalagi melaporkan SPT.
ADVERTISEMENT
Masalahnya bukan sekadar ketidaktahuan, tapi krisis kepercayaan yang sudah lama dibiarkan tumbuh tanpa penanganan serius. Anak muda tumbuh besar menyaksikan kasus-kasus korupsi, pemborosan anggaran, dan aparatur negara yang hidup mewah. Lalu bagaimana mungkin mereka percaya bahwa uang pajak akan dikelola dengan benar?
Namun, persoalan ini tak bisa selesai hanya dengan menyalahkan negara atau menuntut transparansi semata. Kita juga perlu bertanya: dari mana sebenarnya rasa “negara nggak balik modal” itu berasal? Apakah semua orang memang paham apa fungsi pajak dan bagaimana ia bekerja dalam sistem negara? Atau kita hanya kecewa karena merasa tidak mendapat manfaat langsung dan instan?
Kita hidup dalam zaman yang serba cepat, serba instan. Ketika anak muda membayar Rp50 ribu untuk kursus online, mereka mengharapkan hasil yang langsung terlihat. Maka wajar jika ketika mereka mendengar tentang pungutan pajak, ekspektasinya juga semacam “bayar sekarang, lihat hasilnya besok.” Padahal pajak tidak bekerja seperti itu. Ia adalah investasi kolektif jangka panjang, bukan layanan personal berlangganan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pemerintah juga punya tanggung jawab yang belum maksimal. Sosialisasi pajak masih terlalu birokratis, kaku, dan tidak menyentuh sisi emosional masyarakat muda. Kita dijejali istilah teknis, disuruh ikut webinar formal, tapi tidak pernah benar-benar diajak berdialog sebagai warga yang punya hak dan kepentingan. Ini membuat jarak antara generasi muda dan sistem perpajakan semakin lebar.
Yang perlu disadari adalah, pajak bukan hanya soal setoran uang, tapi juga soal relasi antara warga dan negara. Ketika generasi muda merasa negara tidak hadir untuk mereka—dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan—maka rasa keterikatan untuk menyumbang pun ikut luntur. Ini bukan sekadar soal pengetahuan, tapi juga soal rasa kepercayaan dan rasa memiliki.
ADVERTISEMENT
Penting bagi kita, generasi muda, untuk tidak berhenti pada kritik. Ya, negara punya banyak PR. Tapi diam dan apatis bukan solusi. Kalau kita menginginkan perubahan, kita juga harus mau jadi bagian dari sistem yang sehat. Memahami pajak, menuntut transparansi, dan ikut aktif mengawasi adalah bentuk partisipasi yang jauh lebih bermakna daripada hanya sinis di media sosial.
Pajak memang bukan hal yang menyenangkan. Tapi justru karena ia menyangkut hajat hidup bersama, ia seharusnya dibicarakan dengan jujur, terbuka, dan penuh kesadaran. Kalau kita tidak mulai dari sekarang, akan sulit berharap ada perubahan ketika nanti kita yang jadi pembayar pajak utama.