Konten dari Pengguna

Peran Komisaris Independen: Pengawas atau Sekadar Formalitas?

Mohamad Adigdaya Zulfikar
Mahasiswa Aktif Universitas Pamulang
13 Oktober 2024 10:04 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohamad Adigdaya Zulfikar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Dalam lanskap bisnis Indonesia yang terus berkembang, peran komisaris independen semakin menjadi sorotan. Posisi ini, yang seharusnya menjadi pilar utama tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG), kerap kali dipertanyakan efektivitasnya. Apakah komisaris independen benar-benar menjalankan fungsi pengawasan, atau hanya menjadi ornamen struktural belaka?

ADVERTISEMENT
sumber: https://www.istockphoto.com/id/foto/jabat-tangan-pengacara-profesional-dalam-pertemuan-bisnis-dengan-timbangan-keadilan-gm2157517254-578198958
zoom-in-whitePerbesar
sumber: https://www.istockphoto.com/id/foto/jabat-tangan-pengacara-profesional-dalam-pertemuan-bisnis-dengan-timbangan-keadilan-gm2157517254-578198958
Realita di lapangan menunjukkan bahwa banyak perusahaan di Indonesia masih memandang keberadaan komisaris independen sebagai formalitas untuk memenuhi regulasi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan perusahaan publik memiliki minimal 30 % komisaris independen dari total anggota dewan komisaris. Namun, implementasinya seringkali jauh dari harapan.
ADVERTISEMENT
Pertama, proses seleksi komisaris independen masih sarat dengan praktik nepotisme dan konflik kepentingan. Tidak jarang, posisi ini diisi oleh individu yang memiliki kedekatan personal dengan pemegang saham utama atau direksi. Akibatnya, objektivitas dan independensi yang menjadi esensi peran ini menjadi terkompromikan.
Kedua, banyak komisaris independen tidak dibekali dengan pemahaman mendalam tentang bisnis perusahaan dan keterampilan pengawasan yang memadai. Hal ini menyebabkan mereka tidak dapat berkontribusi secara signifikan dalam pengambilan keputusan strategis atau mengidentifikasi potensi risiko bisnis.
Ketiga, budaya bisnis di Indonesia yang cenderung hierarkis dan paternalistik seringkali membuat komisaris independen enggan untuk mengkritisi atau menentang keputusan manajemen, meskipun hal tersebut diperlukan demi kepentingan perusahaan.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan beberapa langkah konkret: 1. Memperkuat kriteria dan proses seleksi komisaris independen, dengan melibatkan pihak ketiga yang netral untuk menilai kualifikasi dan independensi kandidat. 2. Meningkatkan program pelatihan dan pengembangan kompetensi bagi komisaris independen, terutama dalam aspek manajemen risiko, audit, dan strategi bisnis.
3. Mendorong transparansi dengan mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan kontribusi spesifik komisaris independen dalam laporan tahunan. 4. Memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi komisaris independen yang berani mengambil sikap kritis terhadap manajemen. 5. Mengevaluasi kinerja komisaris independen secara berkala dan objektif, dengan konsekuensi yang jelas bagi yang tidak memenuhi standar.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan peran komisaris independen dapat lebih dari sekadar formalitas. Mereka harus menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas dan keberlanjutan perusahaan, sekaligus menjadi penyeimbang yang efektif bagi kekuasaan direksi dan pemegang saham mayoritas. Hanya dengan demikian, tata kelola perusahaan di Indonesia dapat benar-benar ditingkatkan, menciptakan iklim bisnis yang lebih sehat dan berdaya saing global.
ADVERTISEMENT