Media Baru dan Fenomena Hate Speech di Indonesia: Media Penyakit Sosial Baru

Mohamad Beryandhi
Public Relations Student - Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
27 Oktober 2020 14:07 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohamad Beryandhi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Media Baru dan Fenomena Hate Speech di Indonesia: Media Penyakit Sosial Baru di Masyarakat
ADVERTISEMENT
Saat ini, Indonesia telah memasuki era baru dimana masyarakat mulai beradaptasi dan terbiasa menggunakan teknologi modern dalam kesehariannya, salah satunya adalah media baru. Media baru mulai digunakan karena media konvensional sudah mulai banyak ditinggalkan dan beralih dengan media berbasis digital yang terkomputerisasi dan terhubung melalui jaringan internet. Menurut riset platform manajemen media sosial HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk "Global Digital Reports 2020” yang dirilis pada Januari 2020, hampir 64 persen penduduk Indonesia atau sebanyak 175,4 juta orang sudah terkoneksi dengan jaringan internet. Salah satu contoh media baru berbasis internet adalah sosial media. Dari sumber riset yang sama disebutkan, pengguna sosial media di Indonesia sudah mencapai 160 juta pengguna atau sebesar 59% dari jumlah total penduduk. Data menarik lainnya diungkapkan bahwa, rata-rata setiap satu orang di Indonesia memiliki 10 akun sosial media baik yang aktif digunakan maupun tidak.
ADVERTISEMENT
Media baru memang bukan menjadi normal baru lagi bagi masyarakat Indonesia. Data diatas membuktikan bahwa sosial media adalah “makanan” sehari-hari bagi orang Indonesia. Banyak manfaat yang bisa diperoleh dari aktif di sosial media diantara lain sebagai media komunikasi dan informasi, sebagai wadah aktualisasi dan ekspresi diri, bahkan untuk menunjang strategi pemasaran dari suatu brand. Sejatinya, media baru adalah suatu inovasi baru yang dibuat untuk dapat mempermudah segala aspek kehidupan manusia, kendati demikian ada saja oknum yang tidak bertanggung jawab yang menggunakan sosial media untuk tujuan yang negatif, fenomena yang paling umum terjadi ialah ujaran kebencian (hate speech) dan hoax.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus melaporkan, dalam rentang waktu Maret hingga April 2020 setidaknya ada sebanyak 443 laporan masuk yang berkenaan dengan kasus ujaran kebencian dan juga berita bohong. Itu artinya, hate speech masih menjadi salah satu permasalahan serius dalam hal penggunaan sosial media bagi masyarakat Indonesia. Istilah hate speech semakin fenomenal disaat sedang terjadi kontestasi pemilihan politik, salah satunya pernah terjadi pada saat Pemilihan Presiden pada tahun 2019 lalu. Para simpatisan calon tertentu biasanya akan melontarkan ujaran kebencian kepada calon dari pihak lawan dengan tujuan untuk saling menjatuhkan dan mencemari nama baik rivalnya.
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, fenomena ujaran kebencian tidak hanya terjadi pada saat momentum-momentum besar tertentu seperti Pemilihan Umum. Ada berbagai faktor pendorong untuk seseorang melakukan ujaran kebencian, bahkan untuk hal yang terlihat sepele. Banyak hal yang dapat melatarbelakangi seseorang melakukan ujaran kebencian, antara lain karena permasalahan emosional pribadi, disinformasi atau termakan berita bohong, bahkan juga hanya karena motif iseng belaka, yang malah akan berujung menjadi petaka.
Kasus ujaran kebencian paling banyak ditemukan di sosial media. Hasil penyelidikan jajaran Ditreskrimsus Polda Metro Jaya menemukan fakta, selama April hingga Mei 2020 instagram menjadi media yang paling banyak digunakan untuk menyebar ujaran kebencian, sementara peringkat kedua diduduki oleh facebook. Sosial media bukan menjadi akar utama penyebab banyaknya penyakit sosial baru di masyarakat, salah satunya ialah hate speech. Media baru, bagaimanapun sifatnya hanya sebatas alat atau wadah yang harus dan dapat digunakan sesuai dengan fungsinya. Tujuan awal dengan diciptakannya media baru adalah tentu untuk menciptakan berbagai kemajuan terhadap peradaban hidup manusia. Bukan malah menjadikan para penggunanya memiliki pola pikir yang kontradiktif dengan menyalahgunakan media tersebut.
ADVERTISEMENT
Sejak adanya media baru, kebiasaan manusia menjadi berubah. Dengan sosial media, setiap orang dapat dengan bebas menyampaikan pendapat dan perasaannya dengan menuangkan hal tersebut ke dalam sebuah bentuk tulisan, foto, dan atau video lalu diunggah ke halaman sosial media milik pribadinya. Termasuk untuk mengungkapkan ketidaksukaan akan suatu hal atau yang berbau kebencian. Ujaran kebencian pada dasarnya adalah fenomena yang sudah lama terjadi, namun dilakukan tidak secara terang-terangan dan menggunakan media berbeda. Di zaman saat ini, sebagian orang menganggap bahwa dengan adanya sosial media, dirinya dapat dengan leluasa menggunakan sosial media sebagai media yang paling mudah untuk digunakan dalam menyampaikan ujaran kebencian terhadap orang lain.
Sebagian dari mereka berpikir, bahwa dengan menyampaikannya di sosial media, setidaknya mereka tidak akan berhadapan langsung dengan orang yang mereka benci. Fenomena tersebut menjadikan masyarakat kita memiliki kecenderungan mental superior dengan berlindung dibalik sebuah media bernama sosial media. Sehingga, banyak masyarakat yang pada akhirnya memiliki mindset untuk menjatuhkan seseorang atau suatu golongan melalui platform sosial media. Sehingga pada akhirnya, media baru hanya berperan menjadi tempat, bukan menjadi penyebab awal mula munculnya penyakit sosial baru bernama hate speech di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Walaupun media baru bukan “normal baru” lagi bagi masyarakat Indonesia, namun pada kenyataannya masih banyak orang yang mengalami culture shock dan tidak mampu menempatkan dirinya dengan baik dalam menggunakan sosial media. Salah satu cara untuk menindak tegas para pelaku ujaran kebencian adalah dengan membuat aturan berupa produk hukum yang sudah diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun, meskipun jalur hukum menjadi jalan terakhir, masyarakat yang belum sepenuhnya “melek” teknologi tetap harus mendapatkan edukasi yang memadai terkait bagaimana etika dalam bersosial di sosial media, agar ke depan fenomena hate speech ini tidak menjadi budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Anugrahadi, A. (2020, Mei 4). Polda Metro Catat 443 Hoaks dan Ujaran Kebencian Selama Maret hingga April 2020.
ADVERTISEMENT
Kumparan. (2020, Februari 21). Riset: 64% Penduduk Indonesia Sudah Pakai Internet.
Rindi Nuris Velarosdela, J. C. (2020, Mei 4). Polisi: Berita Hoaks dan Ujaran Kebencian Paling Banyak Disebar Lewat Instagram.