Konten dari Pengguna

Oligarki Menggerogoti Rakyat Sendiri

Mohammad Frizki Pratama
Nama saya Mohammad Frizki Pratama. Saya adalah seorang Mahasiswa di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dengan fokus kejuruan di bidang Ilmu Komunikasi.
13 Oktober 2021 14:06 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohammad Frizki Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber :https://unsplash.com/photos/rd5uNIUJCF0?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink
zoom-in-whitePerbesar
Sumber :https://unsplash.com/photos/rd5uNIUJCF0?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink
ADVERTISEMENT
Tepat pada tanggal 5 Oktober 2021 Undang-Undang Cipta Kerja resmi berumur satu tahun. Saya yang saat itu masih duduk di bangku SMA pun tidak bisa ikut menyaksikan secara langsung, peristiwa besar yang terjadi akibat diresmikannya Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law.
ADVERTISEMENT
Omnibus Law ini memancing berbagai macam reaksi dari berbagai elemen masyarakat karena pembahasan dan isinya yang cukup kontroversial, sehingga tidak heran banyak sekali penolakan hingga tuntutan untuk dicabutnya Omnibus Law ini.
Berbagai penolakan dan unjuk rasa pun dilakukan di berbagai daerah. Seperti contohnya di Semarang, Bandung, Banten, Surabaya, Makassar, Bekasi, Jakarta, Yogyakarta, dan Malang. Walaupun pada akhirnya demo tersebut berakhir dengan kericuhan tetapi itu membuktikan bahwa penolakan dan penyampaian suara yang dilakukan oleh masyarakat bukan lah main-main.
Saya yang masih seorang pelajar SMA saat itu tidak mengerti tentang pembahasan yang sedang ramai dibicarakan orang-orang. Mereka mengatakan bahwa Omnibus Law ini sangatlah merugikan rakyat. Banyak orang yang menderita akibat diresmikannya Undang-Undang tersebut. Namun, saat itu saya pun masih tidak mengerti juga tentang pokok permasalahan dari Omnibus Law.
ADVERTISEMENT
Saya juga sempat ditawari untuk ikut dalam aksi unjuk rasa yang akan dilakukan di Jakarta pada saat itu. Namun, karena saya sadar bahwa saya tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang masalah ini, saya pun langsung menolak ajakan tersebut.
Pada tahun 2021 saya lulus dari bangku SMA dan resmi menjadi mahasiswa di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Sungguh kebanggaan tersendiri untuk menjadi bagian dari keluarga Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Di dalam jurusan yang saya ambil terdapat mata kuliah Ilmu Politik yang membuat saya menjadi teringat kejadian pada saat unjuk rasa mengenai Omnibus Law. Pandangan dan pengetahuan baru pun saya dapatkan mengenai apa yang terjadi pada saat itu, dan mengapa banyak sekali masyarakat yang menolak dan menyampaikan pendapatnya.
ADVERTISEMENT
Rupanya setelah saya pelajari, saya pada akhirnya setuju dengan para pengunjuk rasa yang mengatakan bahwa Omnibus Law ini harus segera dicabut. Pasalnya banyak sekali peraturan-peraturan yang dapat mengancam HAM dan lingkungan. Seperti contohnya Pasal 88D dalam UU Cipta Kerja, tingkat inflasi tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menetapkan upah minimum.
“Penghapusan inflasi dan biaya hidup sebagai kriteria penetapan upah minimum akan melemahkan standar upah minimum di provinsi dengan pertumbuhan ekonomi mendekati nol atau negatif, seperti Papua.”
“Ketentuan ini otomatis akan menurunkan tingkat upah minimum. Konsekuensinya, banyak pekerja yang tidak lagi cukup untuk menutupi biaya hidup harian mereka. Hak mereka atas standar hidup yang layak akan terdampak. Situasi ini bertentangan dengan standar HAM internasional,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pasal di atas merupakan salah satu dari sekian banyak pasal-pasal yang kontroversial dan merugikan masyarakat, khususnya para kaum buruh. Namun, pemerintah seakan menutup mata dan telinga atas kebijakan yang sudah mereka buat. Pemerintah seharusnya mengutamakan kesejahteraan rakyat banyak seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945. Tapi pada praktiknya, pemerintah malah hanya menguntungkan para pelaku usaha ketimbang para pekerja, sehingga hal itu lah yang memicu terjadinya demo besar-besaran yang terdiri dari para pelajar, mahasiswa, dan pekerja pada tanggal 6 Oktober 2020.
Ternyata Undang-Undang ini awalnya muncul akibat pertemuan yang dilakukan para pelaku usaha dengan Presiden Joko Widodo pada tanggal 12 Juni 2019 yang membahas mengenai keluhan – keluhan yang dirasakan oleh para pelaku usaha. Di antaranya adalah seperti keluhan mengenai tingginya gaji yang ada di Indonesia, pesangon yang terlalu besar sehingga memberatkan para pelaku usaha, dan sistem kerja yang tidak fleksibel juga turut menjadi daftar keluhan yang diajukan oleh para pelaku usaha. Walaupun sejak saat penyerahan RUU Cipta Kerja sudah menuai kontroversi tetapi Presiden Joko Widodo tetap menindaklanjuti keluhan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebanyak lebih dari 80 Undang-Undang dan lebih dari 1.200 pasal diubah menjadi hanya 174 pasal dalam UU Cipta Kerja. Itu menunjukkan adanya penyederhanaan aturan secara drastis yang pada akhirnya justru malah akan menciptakan lebih banyak penyumbatan dan masalah.
Data Badan Pusat Statistik Menunjukkan bulan Februari 2021 jumlah pengangguran mencapai 8,75 juta orang meningkat dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 6,93 Juta orang. Kondisi ketenagakerjaan juga diperparah akibat PHK. Tahun 2020 sebanyak 3,6 juta buruh dan karyawan di PHK sebagian besar dengan alasan COVID-19.
Ironisnya UU Cipta Kerja atau Omnibus Law ini digadang-gadang mendorong investasi dan dapat menciptakan 3 Juta lapangan pekerjaan per tahun. Namun ternyata, tanpa UU Cipta Kerja, kondisi investasi Indonesia cukup bagus. Sejak tahun 2015 hingga 2019 nilai investasi di Indonesia terus meningkat. Namun sebaliknya, serapan tenaga kerja terus menurun.
ADVERTISEMENT
Dampak akibat adanya UU Cipta Kerja malah lebih banyak menguntungkan kelompok lingkaran penguasa yang didukung politisi dan pengusaha. Global Wealth Report tahun 2018 menyebutkan 1% penduduk ini justru menguasai 46,6% kekayaan nasional. Sehingga rasanya tidak berlebihan jika kita menyebut Undang-Undang Cipta Kerja adalah produk hasil oligarki.

Oligarki

Oligarki bermakna sistem pemerintahan yang kekuatan politiknya berada di tangan segelintir elite. Dalam konteks Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law terlihat konflik kepentingan antara politisi dan pengusaha untuk membuat Undang-Undang yang menguntungkan mereka. Adapun mereka yang terlibat dalam pembuatan Undang-Undang ini ternyata saling berkaitan dengan dunia usaha.
Penjelasan di atas membuktikan gurita oligarki keras mencengkram Indonesia. Tak hanya UU Cipta Kerja saja, tetapi masih banyak UU lainnya yang menggambarkan betapa suburnya praktik oligarki di negara kita tercinta ini. Seperti UU Minerba, UU KPK, dan lain-lain. Politik oligarki juga melenyapkan nilai nilai demokrasi yaitu keadilan, kompetisi dan juga nilai nilai keadaban publik.
ADVERTISEMENT
Menurut Ahmad Taufan Damanik selaku ketua komisi nasional hak asasi manusia menyatakan bahwa praktik politik oligarki bertentangan dengan nilai HAM. Karena kesetaraan terkait hak seseorang untuk dipilih menjadi terbatasi atau hilang. "Praktik-praktik oligarki jelas sangat bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, di mana kesetaraan atau 'equal rights' menjadi hilang, terutama hak untuk dipilih karena adanya praktik oligarki tersebut," ujar Taufan dalam sebuah diskusi daring di Jakarta, Senin (7/9). Ketika kelompok oligarki ini terpilih tentu saja akan berdampak terhadap kebijakan – kebijakan ekonomi maupun politik suatu daerah.
Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan ketika kita membahas tentang bagaimana cara memberantas ataupun mencegah oligarki. Yang pertama adalah perbaikan kehidupan ekonomi bangsa. Dalam catatan Jeffery Winters dalam kajiannya mengenai oligarki kurang dari 0,0000002% dari total penduduk menguasai 10% GDP di Indonesia (Jeffry Winters 2013, 1). Saat ini situasinya masih memprihatinkan karena situasi ekonomi bangsa yang belum menggembirakan, terutama bagi rakyat kebanyakan.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini menyebabkan segelintir kalangan akhirnya dapat membeli, memengaruhi dan bahkan memanipulasi pilihan politik orang banyak, termasuk partai. Pada level politik lokal ini terjadi atau bahkan sudah dimulai saat prosesi pencarian kandidat yang akan berkontestasi. Dengan kata lain sejauh disparitas kekuatan ekonomi itu demikian tinggi, potensi oligarki akan sama tingginya.
Yang kedua adalah perbaikan dan pembenahan institusi-institusi politik dan sistem pemilu. Saat ini sudah diakui banyak kalangan terjadi politik biaya tinggi. Bahwa biaya untuk sebuah aksi politik itu tinggi yang disebabkan pelaksanaan pemilu yang mahal. Kemahalan itulah yang menyebabkan eksistensi oligarki ini menjadi selalu relevan
Meski dalam berbagai survei terlihat mayoritas masyarakat kita mengakui demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik, budaya berdemokrasi kita tetap belum kuat. Untuk itu kita sebagai masyarakat bersama dengan partai oposisi yang tersisa harus terus berupaya melakukan penggalangan kekuatan moral yang rasional secara berkelanjutan agar pemerintah dapat terus sejalan dengan aspirasi masyarakat banyak.
ADVERTISEMENT