Konten dari Pengguna

Australia Batasi Penggunaan Media Sosial, Indonesia Kapan?

Mohammad Isa Gautama
Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang. "Politik tanpa Dialog" dan "Modernisme tanpa Pengaman" adalah dua buku kumpulan kolom/esainya, terbit penghujung 2020.
13 Januari 2025 11:02 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohammad Isa Gautama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi media sosial Facebook dan Instagram. Foto: MichaelJayBerlin/shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi media sosial Facebook dan Instagram. Foto: MichaelJayBerlin/shutterstock
ADVERTISEMENT
DI penghujung 2024, langkah tegas Australia dalam membatasi penggunaan media sosial oleh anak-anak di bawah usia 16 tahun mencuri perhatian dunia. Parlemen negara tersebut telah mengesahkan undang-undang yang melarang anak-anak menggunakan platform seperti TikTok, Instagram, Snapchat, dan Facebook.
ADVERTISEMENT
Tujuan dari kebijakan ini adalah melindungi kesehatan mental dan kesejahteraan generasi muda dari dampak negatif media sosial yang semakin tak terkendali. Kebijakan tersebut tidak hanya menuai apresiasi, tetapi juga mengundang perdebatan yang luas mengenai efektivitas dan implikasi pelaksanaannya.
Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial yang tidak terkontrol dapat berdampak buruk pada kesehatan mental anak-anak. Gejala seperti kecemasan, depresi, dan rendahnya kepercayaan diri sering ditemukan pada remaja yang terlalu banyak menghabiskan waktu di dunia maya.
"Algoritma media sosial kerap kali mempromosikan konten yang memengaruhi persepsi diri secara negatif, memperkuat standar kecantikan yang tidak realistis, dan mendorong perilaku kompetitif yang merugikan," seperti yang dilaporkan oleh Reuters dalam pembahasan regulasi media sosial Australia (Reuters, 2024). Selain itu, ancaman perundungan siber dan paparan konten tidak pantas semakin memperkuat alasan mengapa regulasi ini diperlukan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks teori komunikasi, pendekatan Uses and Gratifications menjelaskan bahwa individu menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan tertentu seperti hiburan, informasi, atau interaksi sosial. Pada konteks ini, anak-anak berada dalam posisi yang rentan karena kemampuan mereka untuk memproses informasi secara kritis belum sepenuhnya berkembang.
Hal ini membuat mereka lebih mudah terpengaruh oleh dampak negatif media sosial. Teori Media Ecology juga relevan dalam memahami fenomena ini. Media sosial telah menciptakan lingkungan yang memengaruhi budaya dan perilaku masyarakat secara mendalam, termasuk norma dan nilai-nilai yang diserap oleh generasi muda.
Namun, regulasi ini juga menghadapi tantangan besar dalam implementasinya. Salah satu isu utama adalah verifikasi usia. Bagaimana memastikan bahwa anak-anak di bawah usia 16 tahun benar-benar tidak dapat mengakses platform tersebut?
ADVERTISEMENT
"Metode verifikasi usia yang efektif sering kali bertabrakan dengan isu privasi data pengguna," kata laporan dari The Verge (The Verge, 2024). Selain itu, ada kekhawatiran bahwa larangan ini justru dapat mendorong anak-anak untuk beralih ke platform yang kurang terawasi atau menggunakan akun palsu, sehingga risiko mereka menjadi lebih besar. Kritik lain juga muncul dari kelompok yang berpendapat bahwa pembatasan akses ini dapat mengisolasi remaja dari komunitas daring yang positif dan sumber dukungan.
Kebijakan Australia ini menjadi cerminan keseriusan negara tersebut dalam melindungi generasi mudanya dari bahaya yang ditimbulkan oleh dunia maya. Namun, situasi di Indonesia tampaknya masih jauh dari langkah serupa. Dengan jumlah pengguna media sosial yang sangat besar, Indonesia memiliki populasi remaja yang rentan terhadap dampak negatif media sosial.
ADVERTISEMENT
Data dari We Are Social menunjukkan bahwa 70% remaja Indonesia menghabiskan waktu lebih dari empat jam sehari di media sosial. Meski demikian, hingga kini, belum ada regulasi yang secara tegas membatasi usia minimum untuk penggunaan media sosial di Indonesia.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sebenarnya telah melakukan berbagai upaya edukasi literasi digital. Program-program seperti "SiBerkreasi" bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penggunaan internet yang sehat. Namun, upaya ini lebih bersifat preventif dan edukatif, bukan regulatif. Dalam situasi yang mendesak seperti ini, pendekatan yang lebih tegas dan menyeluruh diperlukan untuk melindungi generasi muda dari bahaya dunia maya.
Dari perspektif akademik, penting untuk memahami bagaimana regulasi seperti ini dapat diterapkan di Indonesia. Salah satu langkah awal yang dapat diambil adalah menetapkan batas usia minimum penggunaan media sosial yang diikuti dengan mekanisme verifikasi usia yang efektif. Namun, pendekatan ini harus diimbangi dengan edukasi literasi digital yang lebih mendalam. Anak-anak perlu dibekali kemampuan untuk mengenali bahaya media sosial, seperti hoaks, perundungan siber, dan manipulasi algoritma.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi antara pemerintah dan perusahaan media sosial juga menjadi kunci. "Algoritma platform media sosial perlu dirancang ulang untuk memprioritaskan konten yang mendukung perkembangan positif remaja," seperti yang disarankan dalam laporan Financial Times (Financial Times, 2024).
Sebagai contoh, platform seperti YouTube dan Instagram dapat lebih mempromosikan konten edukatif dan inspiratif daripada konten yang berpotensi merusak.
Selain itu, pengawasan dan penegakan hukum yang ketat harus menjadi bagian integral dari kebijakan ini. Indonesia dapat belajar dari model yang diterapkan di Australia, di mana perusahaan media sosial yang melanggar aturan dapat dikenakan denda besar. "Pendekatan ini tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam melindungi warganya," ujar laporan dari Reuters (Reuters, 2024).
ADVERTISEMENT
Namun, kebijakan ini tidak akan efektif tanpa dukungan masyarakat. Orang tua, sekolah, dan komunitas memiliki peran penting dalam memastikan bahwa anak-anak menggunakan media sosial secara bijak. Orang tua perlu lebih aktif mengawasi aktivitas daring anak-anak mereka, sementara sekolah dapat memasukkan literasi digital ke dalam kurikulum pendidikan.
Ketika melihat situasi di Indonesia, pertanyaan lain yang muncul adalah sejauh mana pemerintah dapat mengatasi pengaruh besar dari perusahaan teknologi global. Perusahaan-perusahaan ini memiliki sumber daya yang jauh lebih besar daripada regulator lokal dan sering kali dapat menghindari atau melobi terhadap kebijakan yang tidak menguntungkan mereka.
"Tanpa kemauan politik yang kuat dan kerjasama internasional, upaya untuk mengendalikan dampak media sosial akan menjadi tantangan berat bagi negara berkembang seperti Indonesia," kata analisis dari Harvard Kennedy School (Harvard Kennedy School, 2024).
ADVERTISEMENT
Jika Indonesia tidak segera mengambil langkah konkret, generasi mudanya akan terus menjadi korban dari ekosistem digital yang tidak terkendali. Sebuah studi dari UNICEF menunjukkan bahwa paparan konten yang tidak pantas di media sosial telah meningkat hampir dua kali lipat di kalangan anak-anak Indonesia dalam lima tahun terakhir. Selain itu, angka kasus perundungan siber juga meningkat tajam, dengan laporan dari Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA)
yang mencatat lebih dari 1.000 kasus hanya dalam enam bulan pertama tahun 2024. Ini adalah sinyal yang jelas bahwa regulasi yang lebih ketat sangat diperlukan.
Sebagai langkah awal, pemerintah dapat memulai dengan membentuk badan khusus yang bertugas mengawasi dampak media sosial terhadap anak-anak. Badan ini dapat bekerja sama dengan perusahaan teknologi untuk mengembangkan sistem yang lebih transparan dan akuntabel. Selain itu, penting untuk melibatkan akademisi dan organisasi masyarakat sipil dalam proses penyusunan kebijakan agar regulasi yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Jika melihat langkah Australia, pertanyaan besar yang muncul adalah: kapan Indonesia akan mengambil tindakan serupa? Dengan populasi yang besar dan penetrasi internet yang tinggi, Indonesia tidak bisa lagi mengabaikan dampak negatif media sosial terhadap generasi mudanya. Langkah-langkah konkret perlu segera diambil untuk memastikan bahwa media sosial menjadi alat yang mendukung perkembangan positif anak-anak, bukan sebaliknya.
Jika ditelaah lebih seksama, dalam nomenklatur Kabinet Merah Putih, Kementerian Komunikasi dan Informasi telah diubah menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi), ini sedikit banyak menyiratkan kesungguhan pemerintah membenahi berbagai ekses problem yang timbul dalam ranah lalu lintas komunikasi dan informasi digital. Jika memang niat baik ini menjadi dasar perubahan nomenklatur, sudah semestinya diiringi secara efektif dengan perubahan dan peningkatan fokus dan keseriusan membenahi begitu banyaknya problema dan dampak negatif dari pengunaan media sosial di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, kebijakan Australia dalam membatasi penggunaan media sosial oleh anak-anak di bawah usia 16 tahun adalah langkah yang patut diapresiasi. Meski menghadapi tantangan dalam implementasinya, regulasi ini menunjukkan keberanian untuk menghadapi masalah yang semakin mendesak. Indonesia, dengan semua kompleksitasnya, memiliki peluang untuk mengikuti jejak ini.
Dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif, Indonesia dapat menciptakan lingkungan digital yang aman dan mendukung bagi generasi mudanya. Pada akhirnya, melindungi anak-anak dari bahaya dunia maya bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama sebagai sebuah bangsa. [*]