Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menilik Janji-janji Prabowo yang Mulai Mangkir
31 Desember 2024 10:39 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Mohammad Isa Gautama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Prabowo memulai pemerintahannya dengan sederet janji ambisius yang, pada masanya, berhasil menyihir sebagian besar rakyat Indonesia. Dalam setiap kampanye, ia dengan tegas berbicara tentang reformasi ekonomi, kemandirian pangan, hingga perbaikan nasib para pendidik. Namun, setelah beberapa waktu memimpin, ada realitas yang tak bisa dielakkan: banyak janji itu mulai menunjukkan tanda-tanda mangkir, memunculkan pertanyaan mengenai komitmen pemerintahannya dalam mewujudkan harapan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Salah satu janji paling menarik perhatian adalah rencana Prabowo untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 6-7% per tahun. Janji ini dianggap monumental, mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa dekade terakhir stagnan di angka sekitar 5%. Akan tetapi, tantangan global seperti ketidakstabilan ekonomi pasca-pandemi dan perlambatan di sektor perdagangan internasional membuat target tersebut tampak seperti angan-angan. Bahkan, Profesor Edy Suandi Hamid dari Universitas Widya Mataram menyebut bahwa target 6% saja sulit dicapai tanpa reformasi ekonomi struktural yang masif, apalagi 7%. Hingga kini, realisasi janji itu masih sebatas wacana yang jauh dari kenyataan.
Selain soal ekonomi, janji besar lainnya yang kerap diulang dalam pidato kampanyenya adalah penambahan 4 juta hektare lahan pertanian. Dengan visi besar menghapus ketergantungan pangan dari luar negeri, Prabowo berusaha menghidupkan kembali semangat swasembada pangan yang pernah berjaya pada masa Orde Baru. Namun, kenyataannya, belum ada langkah konkret untuk memperluas lahan secara signifikan. Tidak hanya soal tanah, pembukaan lahan dalam skala besar memerlukan koordinasi yang matang antara kementerian, pemda, hingga petani lokal, yang sering kali terhalang oleh birokrasi dan tumpang tindih kebijakan.
ADVERTISEMENT
Lebih ironis lagi, janji ini juga berhadapan dengan kritik dari para aktivis lingkungan. Pembukaan lahan besar-besaran berpotensi merusak ekosistem alami dan memperparah krisis lingkungan yang kini menjadi ancaman global. Jika tidak diimbangi dengan kebijakan keberlanjutan, janji ini malah dapat menjadi bumerang yang merugikan generasi mendatang. Hingga saat ini, masyarakat hanya bisa berharap pemerintah serius menangani tantangan ini secara bijaksana.
Di sisi lain, masyarakat kelas bawah yang berharap besar pada program pembangunan 3 juta rumah murah juga mulai mempertanyakan komitmen pemerintah. Janji ini diharapkan menjadi solusi atas krisis perumahan yang semakin akut, terutama di wilayah perkotaan. Sayangnya, hingga kini, hanya sedikit rumah yang berhasil dibangun dibandingkan dengan target awal. Pemerintah berdalih keterbatasan anggaran menjadi penghambat utama, meski fakta ini justru mempertegas kelemahan dalam perencanaan program sejak awal.
ADVERTISEMENT
Krisis perumahan ini berdampak langsung pada kehidupan masyarakat berpenghasilan rendah, yang semakin terdesak oleh naiknya harga properti di daerah perkotaan. Banyak keluarga terpaksa tinggal di permukiman kumuh tanpa akses yang memadai terhadap air bersih, listrik, dan fasilitas dasar lainnya. Kegagalan pemerintah dalam mewujudkan janji ini mencerminkan ketidakseimbangan prioritas yang harus segera diperbaiki.
Bukan hanya itu, janji populis seperti pemberian makan siang dan susu gratis bagi pelajar juga menjadi salah satu yang menuai kritik keras. Program ini awalnya dianggap sebagai cara strategis untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia sekaligus mendukung program pendidikan. Namun, seperti program lainnya, janji ini juga terkendala anggaran besar yang diperlukan serta ketidaksiapan infrastruktur di tingkat lokal. Hingga kini, program ini hanya berhenti pada fase wacana tanpa realisasi nyata di lapangan.
ADVERTISEMENT
Janji ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas kebijakan pemerintah dalam menjangkau kelompok paling rentan di masyarakat. Anak-anak dari keluarga miskin, yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama, masih menghadapi kesenjangan akses terhadap pendidikan dan gizi yang layak. Tanpa langkah konkret, janji ini berisiko menjadi simbol kosong dari pemerintahan yang kurang responsif.
Yang tak kalah penting adalah janji Prabowo untuk meningkatkan kesejahteraan guru dengan kenaikan gaji yang signifikan. Dalam setiap kampanyenya, ia menyebut para guru sebagai pilar penting dalam mencerdaskan bangsa dan menjanjikan perbaikan nasib yang layak. Namun, hingga saat ini, kenaikan tersebut belum terjadi, meskipun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengklaim bahwa anggaran untuk itu telah disiapkan. Para guru di berbagai daerah terus menunggu, sementara inflasi dan naiknya biaya hidup semakin menekan kesejahteraan mereka.
ADVERTISEMENT
Masalah kesejahteraan guru ini menjadi isu yang kompleks karena mencerminkan kegagalan dalam mendukung profesi yang menjadi tulang punggung pendidikan nasional. Banyak guru honorer yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, mengandalkan penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan nyata, maka janji untuk memajukan pendidikan hanya akan menjadi wacana kosong.
Di sektor pertanian, janji untuk menghentikan impor pangan demi kemandirian bangsa juga menjadi perhatian utama. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa pemerintah masih bergantung pada impor untuk sejumlah komoditas strategis seperti beras, gula, dan kedelai. Padahal, selama kampanye, Prabowo dengan lantang menyatakan bahwa Indonesia tidak memerlukan impor jika sektor pertanian diberdayakan secara maksimal. Kenyataan ini menunjukkan betapa sulitnya mewujudkan swasembada pangan tanpa dukungan kebijakan yang kuat dan komitmen nyata.
ADVERTISEMENT
Ketergantungan pada impor ini juga memperlihatkan kurangnya investasi yang memadai dalam teknologi pertanian dan dukungan bagi petani kecil. Banyak petani masih menghadapi tantangan berupa akses terbatas terhadap pupuk bersubsidi, harga jual hasil panen yang rendah, serta infrastruktur yang buruk. Tanpa solusi konkret, janji swasembada pangan akan tetap menjadi impian yang jauh dari kenyataan.
Realitas yang terjadi ini tentu menimbulkan kekecewaan, tidak hanya bagi para pendukung Prabowo tetapi juga bagi masyarakat luas yang berharap adanya perubahan nyata. Banyak pihak menilai bahwa kegagalan pemerintahannya dalam merealisasikan janji-janji tersebut disebabkan oleh kombinasi perencanaan yang tidak matang, birokrasi yang rumit, dan keterbatasan fiskal. Tidak sedikit juga yang mengkritik bahwa janji-janji tersebut lebih bersifat populis daripada realistis, hanya diucapkan untuk memenangkan hati rakyat saat pemilu.
ADVERTISEMENT
Namun, persoalan ini tidak boleh hanya berhenti pada kritik. Pemerintah perlu memberikan penjelasan yang transparan mengenai apa yang telah dilakukan dan tantangan apa yang dihadapi. Tanpa komunikasi yang terbuka, kepercayaan publik terhadap pemerintah dapat semakin merosot. Selain itu, evaluasi menyeluruh harus dilakukan terhadap program-program yang telah dicanangkan, agar target-target yang sudah dirancang dapat lebih terukur dan realistis.
Dalam konteks ini, kita juga perlu melihat bagaimana pemerintahan Prabowo menanggapi kritik dan ekspektasi masyarakat. Hingga saat ini, respons yang diberikan tampaknya belum memadai untuk meredakan kekecewaan publik. Padahal, masyarakat tidak hanya menuntut hasil tetapi juga proses yang transparan dan akuntabel. Ketika pemerintah gagal memberikan kepastian atau bukti konkret atas janji-janji mereka, skeptisisme dan rasa frustrasi akan semakin meningkat.
ADVERTISEMENT
Kegagalan dalam memenuhi janji kampanye juga memiliki dampak yang lebih luas terhadap demokrasi itu sendiri. Ketika seorang pemimpin tidak mampu merealisasikan apa yang telah dijanjikan, hal ini dapat menciptakan erosi kepercayaan yang mendalam terhadap sistem politik. Rakyat mungkin menjadi lebih apatis terhadap proses pemilu, merasa bahwa tidak ada perubahan yang nyata terlepas dari siapa yang memimpin. Dalam jangka panjang, situasi ini dapat mengancam stabilitas politik dan sosial di negara ini.
Tanggung jawab tidak sepenuhnya berada di pundak Prabowo atau pemerintahannya. Rakyat sebagai pemilih juga memiliki peran penting dalam memastikan akuntabilitas para pemimpin mereka.
[*]