Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Quo Vadis Guru Penggerak
21 September 2024 17:15 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Mohammad Isa Gautama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
PROGRAM Guru Penggerak yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dipimpin Nadiem Makarim dalam rangka menciptakan guru-guru inovatif telah memicu diskusi panas. Program ini bertujuan untuk mencetak guru-guru dengan kemampuan kepemimpinan yang mampu menjadi motor perubahan dalam sistem pendidikan. Namun, meski awalnya penuh optimisme, perdebatan dan kritik keras kini muncul, mempertanyakan efektivitas, implementasi, hingga dampak sosial yang ditimbulkan.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi Status Pendidik
Salah satu kritik paling signifikan terhadap program ini adalah adanya diskriminasi status antara Guru Penggerak (selanjutnya ditulis GP) dan guru biasa. Sebagian besar guru merasakan adanya perlakuan istimewa terhadap GP, yang menyebabkan ketimpangan di antara tenaga pendidik. GP dianggap lebih diutamakan dalam berbagai kesempatan peningkatan karier, seperti pelatihan, penempatan, hingga tunjangan.
Kritik ini merujuk pada pengalaman banyak guru di lapangan yang merasa tersisih dan terpinggirkan. Di berbagai media bahkan dapat ditemukan fenomena ketimpangan ini menciptakan ketegangan dan frustrasi di antara para pendidik yang merasa tidak mendapatkan perlakuan adil dari pemerintah. Kesenjangan ini tidak hanya berdampak pada moral dan semangat kerja, tetapi juga menimbulkan perasaan bahwa program ini memperlebar jurang antara sesama guru .
ADVERTISEMENT
Di samping itu, kritik juga diarahkan pada proses seleksi GP, yang terkesan eksklusif dan memprioritaskan kriteria administratif ketimbang kompetensi mengajar yang sebenarnya. Tak sedikit guru berkompeten yang akhirnya tersingkir dari program ini hanya karena tidak memenuhi syarat administratif, sehingga merusak prinsip kesetaraan yang seharusnya dipegang teguh dalam dunia pendidikan.
Masihkah Efektif?
Tak hanya soal diskriminasi, pertanyaan besar lainnya adalah tentang efektivitas PGP itu sendiri. Program ini digadang-gadang akan menghasilkan guru-guru yang mampu memimpin perubahan pendidikan, namun realitasnya, tidak semua guru yang mengikuti program ini berhasil mentransformasi metode pembelajaran di sekolah. Kritik juga datang dari berbagai organisasi guru, termasuk P2G (Perhimpunan Pendidikan dan Guru), yang menilai bahwa program ini lebih fokus pada pembekalan teori kepemimpinan daripada solusi konkret bagi masalah-masalah pendidikan di lapangan (BeritaSatu.com, 9/9/24).
ADVERTISEMENT
Belum lagi soal efektivitas dari segi ketercapaian sasaran program terkait anggaran yang sudah digulirkan. Banyak pendapat yang berkembang bahwa PGP cenderung menghamburkan uang negara dan merupakan praktek yang tidak tepat sasaran dan terkesan mubazir waktu bagi peserta, karena esensinya adalah memahami apa itu kurikulum merdeka belajar yang seyogianya sudah bisa dilakukan secara mandiri dengan sistim studi tiru individual. Perlu dicatat, untuk tahun 2023 saja tersedia anggaran Rp4,57 triliun untuk program komponen merdeka belajar, salah satu komponen utama dalam program merdeka belajar ini adalah program guru penggerak (beritamerdekaonline.com, 30/12/2022).
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa GP hanya menjadi simbol status baru yang tidak membawa perubahan berarti bagi kualitas pendidikan secara keseluruhan. Alih-alih berfokus pada peningkatan kemampuan pedagogi, program ini justru lebih banyak menekankan pada aspek administrasi dan sertifikasi, yang pada akhirnya tidak menyentuh akar permasalahan pendidikan seperti rendahnya kualitas sarana dan prasarana di banyak sekolah, atau minimnya dukungan bagi guru di daerah terpencil .
ADVERTISEMENT
Kritik lain yang juga dilontarkan adalah bahwa PGP justru memperkeruh fokus dari agenda utama pendidikan yang lebih mendesak. Di tengah tantangan besar pendidikan di Indonesia, mulai dari ketimpangan akses hingga rendahnya mutu pembelajaran, program ini dianggap lebih sebagai aspek kosmetik atau hiasan semata tanpa substansi yang benar-benar mampu merespons tantangan riil di lapangan.
Merdeka Belajar?
Selain PGP, gagasan Merdeka Belajar yang diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim juga menimbulkan berbagai polemik. Konsep Merdeka Belajar, yang mengedepankan kebebasan dalam proses pembelajaran, dianggap tidak terhubung dengan realitas yang dihadapi para guru, terutama di wilayah terpencil yang fasilitasnya masih minim. Penerapan sistem pembelajaran mandiri ini membutuhkan kapasitas yang memadai, baik dari segi tenaga pengajar maupun infrastruktur, yang tidak dimiliki oleh banyak sekolah di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Beberapa pihak, menyebutkan bahwa Merdeka Belajar dalam praktiknya justru memperlihatkan celah besar dalam eksekusi. Ketidaksiapan guru dalam menjalankan metode pembelajaran baru ini membuat program tersebut seolah menjadi beban tambahan. Alih-alih memberikan kebebasan dalam belajar, banyak guru yang merasa terbebani dengan tuntutan administratif dan beban kerja yang lebih berat .
P2G juga secara kritis menyoroti bagaimana program-program semacam Merdeka Belajar, termasuk PGP, perlu dievaluasi secara mendalam. Mereka menuntut agar program-program ini tidak hanya diukur dari segi jumlah peserta atau pelatihan yang diadakan, tetapi lebih pada dampak nyata terhadap kualitas pendidikan. Jika tidak ada perubahan signifikan dalam hasil pembelajaran siswa, maka program-program ini hanya menjadi slogan politik tanpa substansi yang berarti.
Quo Vadis PGP
ADVERTISEMENT
Lalu, ke mana arah PGP ini akan dibawa? Jika program ini ingin tetap relevan, perbaikan mendasar harus segera dilakukan. Pertama, perlu adanya evaluasi menyeluruh terkait proses seleksi dan pelatihan guru penggerak agar tidak terjadi diskriminasi dan ketimpangan di antara guru. Seluruh guru, baik yang mengikuti program ini maupun tidak, harus diberikan kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi bagi pendidikan.
Kedua, program ini harus lebih menekankan pada penguatan kompetensi pedagogi dan solusi nyata di lapangan daripada sekadar meningkatkan kemampuan kepemimpinan. Guru harus dibekali dengan keterampilan praktis yang dapat langsung diterapkan dalam kelas, terutama di wilayah yang kurang berkembang.
Ketiga, pemerintah harus lebih sensitif terhadap realitas di lapangan dan memberikan dukungan yang lebih konkret bagi guru yang berada di daerah terpencil. Merdeka Belajar hanya bisa berjalan efektif jika seluruh pihak memiliki akses yang setara terhadap sumber daya dan pelatihan yang dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Terakhir, kesuksesan PGP harus diukur dari bagaimana program ini berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan, bukan sekadar jumlah sertifikat yang dikeluarkan atau jumlah guru yang dilibatkan. Guru Penggerak seharusnya menjadi motor perubahan yang nyata, bukan hanya label baru yang mengesankan tanpa substansi. Untuk itu, pemerintah perlu secara transparan memaparkan ke tengah publik mengenai mekanisme supervisi dan evaluasi pelaksanaan dan pencapaian program.
Pada akhirnya, pendidikan Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar program-program simbolis. Ia membutuhkan transformasi mendalam yang mampu merespons kebutuhan dan tantangan di lapangan. Sehubungan sebentar lagi kabinet baru di bawah Presiden terpilih sudah akan dilantik, maka kita berharap banyak kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru agar tidak mengulangi kesalahan yang sama sekaitan Program Guru Penggerak. [*]
ADVERTISEMENT