Optimalisasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan dalam Aturan 20 Menit

Moh Vicky Indra Pradicta
Seorang dokter hewan yang hobi nulis, bekerja di sektor Food Industry sebagai National Quality Leader dan penggiat One Health
Konten dari Pengguna
2 Agustus 2021 15:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh Vicky Indra Pradicta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi makan di warteg. Dok: unsplash/@hobiindustri
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi makan di warteg. Dok: unsplash/@hobiindustri
ADVERTISEMENT
Implementasi program PPKM level 4 sudah berjalan hampir sepekan. Berbagai ragam opini, lelucon, dukungan dan kritikan menghiasi di lini masa media sosial. Salah satu yang paling menarik perhatian saya adalah munculnya meme-meme lucu soal kritikan batasan waktu 20 menit makan di warung makan.
ADVERTISEMENT
Semua orang ramai-ramai mengomentari aturan ini. Karena waktu 20 menit dirasa tidak memungkinkan tercapai. Belum lagi aturan ini hanya berlaku untuk di warteg saja sedangkan restoran dan rumah makan hanya diatur untuk menerima pesanan delivery. Padahal implementasinya tentu tidak seperti itu bahkan bisa sebaliknya.
Coba perhatikan di tempat makan cepat siap saji atau restoran. Pasti akan mudah dijumpai pemandangan di dalamnya banyak orang meskipun tetap ada batasan jumlah orang. Sedangkan para ojol tetap setia menunggu di luar. Patuh dengan aturan PPKM level 4.
Sesuai Instruksi Mendagri No 24 tahun 2021, restoran dan rumah makan hanya wajib menerima pesanan take away dan tidak diperbolehkan dine in atau makan di tempat. Berbeda dengan aturan untuk warung makan, warteg dan toko di pinggir jalan yang diizinkan untuk melayani meskipun maksimum 20 menit.
ADVERTISEMENT
Tentu memang kita bisa diperdebatkan soal bagaimana pelaksanaan ini di lapangan. Tetapi di sini saya hanya ingin fokus pada perbedaan aturan ini. Perbedaan ini sebenarnya dapat dijadikan validasi bahwa kurangnya keyakinan pemerintah terhadap warung makan dkk yang dapat berpotensi menjadi sumber klaster baru Covid-19.
Tentu ada hal yang menjadi dasar asumsi ini. Alasan utamanya adalah rendahnya implementasi prokes di warung makan. Jika dibandingkan, sedikit ada perbedaan dengan restoran di mana masih terlihat penerapan prokes di sana meskipun konsistensinya masih perlu dipertanyakan.
Contoh yang paling mudah dilihat adalah fasilitas tempat cuci tangan. Tidak semua warteg dilengkapi dengan hand sanitizer. Jika pun ada, mungkin tidak banyak yang terpakai. Bisa jadi disebabkan oleh rendahnya pengawasan untuk aturan cuci tangan sebelum masuk ke warung.
ADVERTISEMENT
Alasan yang kedua yaitu tidak ada pembatasan jarak di warung makan. Berbeda dengan di restoran atau rumah makan cepat saji yang ada aturan yang jelas. Ini bisa kita lihat dengan tanda-tanda silang di kursi dan meja agar tidak ditempati oleh pengunjung.
Kedua faktor ini yang memunculkan keraguan bagi pemerintah. Bukannya saya ingin mendiskriminasi antara warteg dengan restoran. Bukan itu tujuannya. Tetapi di sini saya hanya ingin mendudukkan latar belakang dari aturan 20 menit ini. Agar kita bisa mendapatkan keyakinan jika makan di warung makan sama halnya ketika makan di rumah makan dan sejenisnya.
Solusinya adalah dengan menerapkan sistem manajemen keamanan pangan di warung makan. Sekilas agak hiperbola dan bombastis padahal cukup sederhana jika dipraktikkan. Malah hampir mirip dengan protokol kesehatan tetapi lebih sistematis.
ADVERTISEMENT
Pada umumnya sistem ini diterapkan di industri pangan saja. Hal ini untuk memastikan produk pangan yang dihasilkan aman. Artinya setiap produk yang dijual sudah melalui tahapan-tahapan yang menjamin produk tersebut tidak berbahaya untuk dikonsumsi. Selain itu, pada prinsipnya penerapan ini bertujuan untuk mengurangi risiko penularan kontaminasi silang di bahan pangan maupun karyawan. Atas dasar ini maka sangat relevan program ini diterapkan di warung makan atau warteg dan sejenisnya.
Hal yang bisa dilakukan adalah mengatur sanitasi meja, tempat duduk dan peralatan makan secara berkala. Sanitasi bukan berarti cukup dibersihkan dengan air tetapi juga dengan sanitizer. Hal itu bertujuan menghilangkan agen infeksius misalnya bakteri dan virus dipermukaan meja dan kursi tersebut.
Yang kedua yaitu meningkatkan personal hygiene tidak hanya bagi penjual tetapi juga untuk pengunjung. Terdengar sepele tetapi perlu komitmen bagi keduanya untuk konsisten dijalankan. Caranya dengan menyediakan hand sanitizer atau tempat cuci tangan yang mudah diakses oleh pembeli. Selain itu penjual juga harus tidak segan-segan mengingatkan untuk pengunjung wajib cuci tangan sebelum masuk warung.
ADVERTISEMENT
Langkah terakhir dengan memberikan aturan pembatasan pengunjung dan lebih menganjurkan untuk take away. Jika perlu diberikan bonus kerupuk misalnya bagi pembeli yang memilih untuk dibawa pulang dibanding makan di tempat. Untuk pembatasan jumlah bisa diberikan tanda silang dan jarak. Hal ini untuk memastikan kesesuaian dengan aturan PPKM di mana maksimal 20 persen pengunjung.
Langkah-langkah pencegahan penularan ini tidak hanya dibebankan pada pundak pemerintah saja. Kita dapat juga terlibat berbagi peran ini. Ya salah satunya dengan implementasi sistem manajemen keamanan pangan di warung-warung makan. Sehingga diharapkan keseimbangan antara ekonomi yang harus jalan dengan potensi risiko penularan penyakit dapat tercapai.