Belum Beradab, kok Mikir Persatuan?

Izzuddin Rifqi
Mahasiswa Hukum UIN Malang yang Suka Sastra
Konten dari Pengguna
2 Maret 2021 14:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Izzuddin Rifqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: Twitter @kopisantri
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: Twitter @kopisantri
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seminggu pascapemilihan Kepala Desa Klampisan, tempat di mana Solikin tinggal, sedang mengalami perpecahan. Sebenarnya tidak seminggu pascapemilihan, tetapi jauh sebelum pemilihan, tepatnya ketika proses kampanye berlangsung, ekosistem desa Klampisan sudah memanas.
ADVERTISEMENT
Wiradji dan Huda yang maju menjadi calon kepala desa itu sama-sama memiliki basis pendukung yang militan. Fanatik. Huda, sebagai calon petahana, adalah calon yang memiliki latar belakang bagus. Ia berangkat dari keluarga pesantren. Anak dari Kiai Luthfi. Perjalanan memimpin Desa Klampisan pun cukup baik. Nyaris tak ada permasalahan yang menyangkut Desa Klampisan selama dipimpin oleh Huda. Mungkin ada beberapa, tapi tidak banyak. Seperti akses jalan yang rusak. Itu pun sebenarnya bukan tanggung jawab kepala desa. Desa tidak memiliki anggaran di wilayah itu. Itu adalah wilayah bupati.
Sementara Wiradji, calon lawan Huda di pemilihan kepala desa tahun ini. Ia dikenal oleh masyarakat sebagai pemilik seluruh pabrik kerupuk di Desa Klampisan. Ia termasuk keluarga konglomerat. Meski bisnisnya hanya di tingkat desa, namun relasinya tidak bisa dipandang sebelah mata. Sudah tingkat nasional. Mungkin Pak Luhut salah satu teman tongkrongannya.
ADVERTISEMENT
Intinya, Wiradji adalah orang kaya raya. Sayangnya, jalan yang ia tempuh untuk mendapatkan kursi nomor satu di Desa Klampisan bisa dibilang “tidak sehat”. Ia menggunakan kampanye hitam dalam menggait suara masyarakat desa. Menyebarkan kabar buruk tentang Huda yang sebenarnya tidak benar sama sekali.
“Sampai sekarang aku masih belum terima kalau Wiradji yang terpilih,” ujar Mustopa.
“Jangankan kamu, aku saja yang melihat poster-poster wajah Wiradji yang belum diturunkan merasa muak melihatnya,” sahut Bagong.
“Aku heran, kenapa banyak orang yang mau memilih orang model begituan?”
“Apalagi kalau bukan karena berita bohong yang ia sebarkan semasa kampanye”
Lha iya, itu…”
Pagi itu Solikin hanya menyimak keresahan Mustopa dan Bagong. Tak satu pun ucapan yang keluar dari mulutnya. Bukannya tidak peduli. Solikin justru memendam luka yang amat dalam perihal permasalahan di desanya. Ia resah karena selama proses kampanye sampai penetapan Wiradji sebagai kepala desa, isinya hanya kebencian dan kebencian. Ia sebenarnya ingin menyelesaikan permasalahan di desanya itu, tapi ia bingung bagaimana caranya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya tak ada cara lain selain meminta solusi pada Gus Jhon. Guru yang selalu bisa mengkonkretkan persoalan-persoalan ruwet yang lewat dalam kehidupan Solikin.
* * *
Malam semakin larut. Jam menunjukkan pukul 10. Seperti biasa, Solikin menunggu Gus Jhon di gubuk kecil belakang masjid pesantren untuk berdiskusi. Khusus malam ini, ia tidak ditemani sahabatnya, Kang Misbah, sebab Kang Misbah sedang pulang. Katanya, mbaknya habis lahiran.
Jadi malam ini Solikin hanya berdua saja dengan Gus Jhon. Sambil menunggu kedatangan Gus Jhon, Solikin melinting tembakau yang ia beli pagi tadi selepas ngopi bersama Mustopa dan Bagong. Tidak lama kemudian Gus Jhon datang.
“Ngopi dulu, Kin,” ucap Gus Jhon sambil memberikan secangkir kopi.
ADVERTISEMENT
“Iya, Gus. Terimakasih,”
“Tembakau apa itu?”
“Kedu, Gus,”
“Satu ons 25?”
“Tidak sampai, Gus. Hanya 18 ribu saja. Silakan dicoba. Ini tembakau andalan saya. Hehehe,” ujar Solikin sambil terkekeh. Gus Jhon mengabil satu batang kemudian menyulutnya.
“Gus, menurut jenengan, politik itu penting nggak, sih?”
“Tergantung orientasinya,”
“Maksudnya gimana itu, Gus?”
“Politik itu penting, selagi orientasi dan tujuannya untuk kebaikan. Melaksanakan hak dan suara rakyat, misalnya. Atau menjaga agar peraturan-peraturan tidak dikelola oleh orang-orang yang dholim. Yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan”
“Tapi realitanya kan sekarang para politikus tidak seperti itu, Gus. Maksudnya, mereka menggunakan politik sebagai alat untuk memuluskan keinginan pribadi dan golongannya. Berarti kan politik sudah tidak baik untuk diikuti, Gus?”
ADVERTISEMENT
“Bukan begitu cara berfirnya, Kin,” jawab Gus Jhon sambil tersenyum.
“Terus gimana, Gus?”
“Gini, Kin. Politik itu bagus. Dan tidak bisa dipungkiri, kita semua membutuhkan itu. Bahkan Kanjeng Nabi pun dulu juga termasuk politikus ulung. Meskipun dalam Qur’an dan hadis tidak dijelaskan secara spesifik bagaimana konsep politik yang beliau terapkan. Cuma kita bisa melihat nilai-nilai positif itu dalam perjanjian Piagam Madinah. Dari Piagam Madinah, kita bisa meniru bagaimana Kanjeng Nabi berdiplomasi, membuat kerjasama, dan tidak merugikan satu sama lain. Jadi, singkatnya, politik itu bagus. Yang jelek itu oknumnya. Orang-orang yang menjalankannya,”
“Oooo gitu ya, Gus,”
“Tumben kamu tanya-tanya tentang politik. Kamu mau nyaleg ta?”
“Ya ndak lah, Gus. Mau nyaleg gimana, lah wong saya aja ndak pernah ikut organisasi,”
ADVERTISEMENT
“Terus?”
“Saya sekarang lagi resah, Gus. Sedih melihat orang-orang desa saya tidak akur hanya gara-gara beda pilihan. Beda kepala desa yang dipilih. Tapi permasalahannya tidak hanya di situ. Ketika masa kampanye, salah satu calon, yang mana sekarang terpilih menjadi kepala desa, menggunakan cara yang tidak fair dalam menggait suara rakyat. Atau orang-orang menyebutnya sebagai kampanye hitam,”
“Terus?”
“Maka dari itu, saya tanya ke jenengan perihal politik ini. Masak iya, hanya gara-gara jabatan, masyarakat jadi terpecah. Tidak akur. Saling acuh tak acuh,”
“Owalah seperti itu to…” jawab Gus Jhon. Kali ini ia berhenti sejenak untuk menyulut rokok. Dan sesekali menyeruput kopinya.
“Iya, Gus. Gimana itu menurut jenengan?” tanya Solikin sambil menyulut rokok juga.
ADVERTISEMENT
“Oke, begini… yang paling pertama kamu harapkan dari permasalah itu apa. Maksutnya, hal yang paling penting dibenahi terlebih dahulu itu di bagian mananya?”
“Hmm… kalau saya rasa sih, intinya bagaimana orang-orang desa bisa bersatu kembali. Guyub rukun. Kalau pingin ganti kepala desa kan tidak mungkin, karena kepala desanya sudah ditetapkan. Jadi yang terpenting warga desa rukun kembali,”
“Kalau seperti itu sebenarnya rumusnya mudah,”
“Gimana, Gus?”
“Kamu hapal Pancasila?”
“Pasti hapal lah, Gus,”
“Sila yang menyinggung tentang persatuan itu sila ke berapa?”
“Sila ketiga, Gus,”
“Lah, pancasila itu sebenarnya sudah cukup untuk menjadi “kaca” dan tolak ukur bagaimana sistem atau pemerintahan dijalankan,”
“Maksutnya gimana, Gus?”
“Gini, Kin. Pancasila itu kan mempunyai nilai-nilai hirarki yang saling bertautan. Setiap sila tidak berdiri sendiri atau memiliki arti secara individu. Mereka saling bersinggungan. Jika kamu berharap bahwa sila ketiga dapat terealisasikan di desa tempat tinggalmu. Maka setidaknya kamu harus bisa memastikan bahwa sila pertama dan kedua sudah ditunaikan oleh masyarakat di sana,” ujar Gus Jhon.
ADVERTISEMENT
Solikin hanya bisa termenung, menatap wajah Gus Jhon dalam-dalam. Seakan ia benar-benar sedang menerima wejangan yang amat berat bobotnya. Kemudian Gus Jhon melanjutkan lagi.
“Pertanyaannya sekarang; apakah sila kedua sudah benar-benar ditunaikan dengan baik? Tentang nilai-nilai keberadilan dan keberadaban? Jika mendengar ceritamu tadi, sila kedua sepertinya belum mampu terimplementasikan dengan baik di desamu. Masih banyak silang sengakrut hanya masalah pemilihan kepala desa. Apalagi perihal kampanye yang amoral itu,” Solikin masih saja termenung, mencerna pelan-pelan apa yang dikatan oleh gurunya itu.
“Jadi akar permasalahnnya sekarang sudah ketemu; bahwa sebab tidak akurnya orang-orang desa di tempat tinggalmu adalah akibat dari moral buruk para pemerintah desa. Nyampe nggak?” Solikin tidak berucap, ia hanya mengangguk pelan. Sementara Gus Jhon terus menjelaskan dengan tenang sambil sesekali menghisap rokoknya.
ADVERTISEMENT
“Jadi, sebelum kita berharap terwujudnya manusia beradab, kemudian persatuan, kebijaksanaan hingga keadilan sosial, hal yang paling utama, fundamental, yang harus kita tunaikan adalah sila pertama; yaitu iman kita terhadap Tuhan. Jika iman kita sudah beres, maka akan tercermin menjadi akhlak yang mulia. Jika kita sudah memiliki akhlak yang bagus, maka kita akan mudah bersatu. Jika kita semua sudah bisa bersatu, maka kita akan bisa membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Dan jika ekosistem seperti itu sudah terlaksana, niscaya keadilan akan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia,”
“Oh, jadi seperti itu ya, Gus”
“Iya, Kin. Jadi kamu mulai sekarang harus punya kedaulatan sendiri dalam membaca realita di desamu. Jangan pernah percaya sama orang yang menawarkan keadilan dan kesejahteraan, jika orangnya sendiri moralnya masih buruk. Semua itu omong kosong!” terang Gus Jhon panjang lebar. Solikin terus menyimak apa yang gurunya tuturkan. Sampai-sampai ia tidak merasa kalau putung rokok jatuh di kain sarungnya. Refleks ia pun mengibaskan putung yang masih menyala itu. Saking kerasnya kibasan itu, sampai-sampai menyenggol cangkir berisi kopi yang hampir habis. Cangkir pecah. Gus Jhon terkekeh.
ADVERTISEMENT
“Tuh kan, sarungmu tidak punya akhlak. Cangkirnya jadi pecah,” ujar Gus Jhon sambil terbahak-bahak.
----------------------------------------------------------------------------------
Diolah dari tausiyah Mbah Nun (Emha Ainun Nadjib)