Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mari Kita Berbicara Serius Perihal Limitasi
22 Maret 2021 14:52 WIB
Tulisan dari Izzuddin Rifqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Dalam kehidupan, sebagai manusia biasa, kita tidak harus selalu tahu tentang segala hal,” ucap Gus Jhon kepada para santri yang mengikuti ngaji kitab malam itu.
ADVERTISEMENT
“Jika kita suatu saat menemui sebuah persoalan yang mana menyangkut benar dan salah, maka kita tidak harus memilih salah satunya. Apalagi kita tidak terlalu paham dengan permasalahan tersebut. Intinya, jangan dipaksa menjawab apa yang di luar kapasitas kita. Nanti malah jadi ruwet,” lanjut Gus Jhon.
“Terus bagaimana solusinya? Tak lain adalah kita memilih atau menjawab untuk tidak tahu. Sebab dari ketidaktahuan itu, kita akan belajar dan mencari tahu yang sebenarnya belum kita ketahui,” Gus Jhon terus menjelaskan isi dari kitab Nashoihul Ibad yang dikaji malam itu.
Sementara di barisan depan, Solikin dan Kang Misbah menyimak seluruh penjelasan Gus Jhon dengan khusuk. Tak pernah sekali pun Solikin dan Kang Misbah pindah posisi atau memilih tempat duduk selain di shof pertama. Tak lain karena mereka berdua adalah santri yang paling dekat dengan Gus Jhon. Solikin sebagai sopir pribadi Gus Jhon, sedangkan Kang Misbah adalah santri yang selalu menggantikan pengajian Gus Jhon di luar pesantren ketika Gus Jhon berhalangan hadir. Dan para santri yang lain, sudah paham tentang itu.
ADVERTISEMENT
* * *
Selepas kegiatan ngaji malam itu, seperti biasa, Solikin dan Kang Misbah ngopi di gubuk belakang masjid pesantren yang biasa mereka gunakan diskusi bersama Gus Jhon. Namun malam itu Gus Jhon sepertinya ada keperluan. Ia tidak langsung menuju gubuk seusai ngaji malam. Biasanya, jika ia balik ke ndalem terlebih dulu seusai ngaji malam, berarti beliau sedang kedatangan tamu. Kendati demikian, ia selalu menyempatkan untuk ngobrol dan ngopi bersama Solikin dan Kang Misbah di gubuk itu.
“Kira-kira corona ini kapan selesainya, Kang?” celetuk Solikin.
“Maksudnya, Mas?” jawab Kang Misbah.
“Ya… virusnya itu sudah benar-benar hilang total atau setidaknya sudah ada obat penangkalnya gitu, Kang. Kira-kira kapan ya?”
ADVERTISEMENT
“Kan sudah ada vaksin-vaksin yang dari pemerintah itu,”
“Itu kan bukan obat, Kang, itu cuma vitamin buat kekebalan tubuh saja,”
“Iya juga, sih,”
“Lha, itu… aku sering bingung mikirin si corona ini. Kalau dibilang ada, tapi orang-orang sudah banyak yang keluar rumah. Bikin kerumunan. Sudah abai dengan protokol kesehatan. Kalau dianggap nggak ada, tapi masih banyak juga kasus-kasus baru pasien corona. Memang ruwet,”
“Kenapa dibikin bingung, Mas. Itu kan sudah bukan wilayah kita,”
“Bukan wilayah kita? Maksudnya gimana, Kang?”
“Tugas kita kan cukup menerapkan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah. Selebihnya, seperti yang sampean katakan tadi, itu sudah bukan tugas kita, tapi tugas pemerintah. Kita tidak perlu bingung memikirkannya,”
“Berarti kita tidak perlu ikut-ikut mengingatkan orang-orang di sekitar kita supaya taat peraturan. Gitu, Kang?”
ADVERTISEMENT
“Kurang lebih seperti itu,”
“Lho, berarti kita apatis dong?”
“Bukannya apatis, Mas. Tapi lebih ke paham limitasi dan batas wilayah kita,”
“Maksudnya?”
“Masih ingat dawuh Gus Jhon yang menjelaskan perihal paham wilayah-wilayah dan batas limitasi manusia?”
“Yang mana, Kang, saya agak lupa,”
“Yang dawuh tentang tingkat pengaruh manusia itu ada tiga. Ada lingkar pengaruh, lingkar peduli sama lingkar perhatian,”
“Ooo yang itu… lumayan ingat, sih. Tapi lupa penjelasan detailnya. Terus hubungannya dengan kasus corona ini apa, Kang?”
“Jadi begini, Mas. Gus Jhon pernah dawuh; bahwa tingkat pengaruh manusia di lingkungan sosial itu ada tiga; pertama lingkar pengaruh. Di lingkar pengaruh ini bisa diibaratkan sebagai orang-orang yang nyetir atau jika di lingkungan sosial, mereka serupa pemerintah, orang-orang yang memiliki pengaruh lebih. Orang-orang yang memegang kendali atas peraturan-peraturan. Kemudian di tingkat selanjutnya ada lingkar peduli. Jika pada tingkat pertama diibaratkan sebagai orang yang nyetir, maka orang pada tingkat kedua ini adalah orang yang dibonceng. Ia hanya bisa memberi aba-aba saja. Jika ada lubang, jika ada polisi tidur, dia mentok cuma bisa peduli. Selebihnya, kendali berada sepenuhnya pada yang nyetir. Namun pada titik tertentu kepeduliannya cukup berpengaruh. Jika di lingkungan sosial, mereka serupa ormas-ormas besar macam NU dan Muhammadiyah,” terang Kang Misbah panjang lebar.
ADVERTISEMENT
“Terus?”
“Bentar… ada satu tingkatan lagi, Mas,” ujar Kang Misbah sambil menyulut kreteknya.
“Apa itu?”
“Tingkatan ketiga adalah lingkar perhatian. Jika pada tingkatan-tingkatan sebelumnya dianalogikan sebagai orang yang nyetir dan dibonceng dalam satu kendaraan, maka tingkat ketiga ini adalah orang dari kendaraan lain. Mereka hanya bisa mbatin dan “suara”-nya tidak memiliki pengaruh sama sekali. Sekalipun kendaraan yang ia lihat sedang ugal-ugalan atau tidak menjalankan etika berkendara, tetap saja, orang di lingkar perhatian ini mentok hanya bisa mbatin saja. Atau sekurang-kurangnya ia hanya bisa mengontrol dirinya sendiri agar tidak melakukan hal semacam itu. Dan orang-orang di lingkar perhatian ini adalah orang-orang seperti aku, sampean dan orang-orang lain yang tidak memiliki “pengaruh” sama sekali. Kurang lebih seperti itu, Mas,”
ADVERTISEMENT
“Berarti yang perlu kita lakukan untuk saat ini hanya menjalankan hal yang menurut kita baik tanpa mempedulikan orang lain. Seperti itu, Kang?”
“Lebih tepatnya, kita berusaha memberi pengaruh dan contoh kepada orang-orang di lingkungan terdekat kita dengan hal-hal yang menurut kita baik,”
“Kalau pada kenyataannya; kita sudah berusaha sebaik mungkin memberi contoh atau menerapkan protokol kesehatan di lingkungan terdekat kita, namun pemerintahnya malah yang melanggar, tidak tegas dalam menerapkan peraturan, gimana itu, Kang?”
“Berarti mereka belum memiliki kesadaran penuh atas limitasi-limitasi yang seharusnya mereka lakukan. Dan biasanya, orang yang tidak paham batas limitasinya, mereka akan terjerembab dan mengalami keruwetan dalam hidupnya,”
“Terus solusinya gimana, Kang?”
“Kalau aku sih sederhana saja, Mas. Yang penting aku paham limitasiku kemudian menjalankannya sebaik mungkin. Kalau aku memaksakan apa yang selama ini aku yakini sebuah kebenaran hingga menerobos batas limitasiku, sama saja aku seperti orang yang tidak tahu diri dan tidak tahu batasan-batasan,”
ADVERTISEMENT
“Benar juga, sih,”
“Lha, terus… yang sempat rame gara-gara rebutan partai kemarin, gimana itu, Kang?” lanjut Solikin sambil cengengesan.
“Waduh… kalau itu sih, pembahasannya beda lagi, Mas,” jawab Kang Misbah singkat. Kemudian disambut gelak tawa mereka berdua.
--------------------------------
Diolah dari penjelasan Mas Sabrang MDP