Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mereka yang Bahagia di Jakarta
27 Maret 2023 20:12 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Mokhamad Alfian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pada Februari lalu, saya pelesir ke kampung halaman saya di Kabupaten Pangkep, dan mengingat kembali hal-hal apa saja yang membuat saya mencitakan hidup di Jakarta. Barangkali keramaian, dan ingar-bingar yang hanya dapat saya lihat dari televisi tanpa disadari menjadikan keinginan-keinginan saya tumbuh subur sebagai anak kampung untuk dapat "merasakan" Jakarta.
Pernah satu waktu, saya dipanggil menghadap ke ruang kepala bagian mutasi. Saya baru duduk setelah mengucapkan salam dan berbasa-basi tetiba sebuah pertanyaan disajikan di hadapan saya.
"Kamu tidak mau ditempatkan di Makassar saja agar lebih dekat dengan kampung halamanmu? Ini kesempatanmu," tegas kepala mutasi untuk menyegerakan saya menjawab "iya" atau 'tidak".
Saya berusaha mengingat segala hal di dalam kepala saya untuk menghindar. Beberapa saat kemudian, saya menyadari bahwa satu-satunya kekuatan yang saya miliki untuk menjawab pertanyaan itu adalah simbol Jakarta: Monas.
ADVERTISEMENT
"Saya anak kampung. Dan, keinginan setiap anak kampung adalah melihat Monas ," jawabku.
Kepala bagian itu tertawa. Dan jawaban itu tidak hanya menyelamatkan saya hari itu, tetapi mengembalikan sebagian ingatan kepala mutasi bahwa dia pun berpikiran hal yang sama dulu—barangkali sampai saat ini.
Semenjak saat itu, saya tidak lagi mengeluh apapun tentang Jakarta. Kemacetan, banjir, biaya hidup, harga properti, politik identitas, dan biaya-biaya ekstra lainnya.
Sekelumit keluhan itu—atau bisa saja lebih banyak—adalah gambaran Jakarta. Tetapi, Jakarta tetap Jakarta. Kebijakan sentralisasi bertahun-tahun silam barangkali menjadi jawaban bahwa Jakarta adalah kota paling maju dibanding kota-kota lainnya di Republik ini, sekaligus menjadikannya kota yang paling pandai merawat harapan.
Pada 2021 yang lalu, pemerintah DKI Jakarta merilis data perpindahan penduduk keluar Jakarta yang menyentuh angka 15.706 penduduk didominasi oleh perempuan sebesar 51 persen. Angka ini menunjukkan persoalan Jakarta semakin pelik pada tahun pandemi Covid-19 terjadi.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, angka itu tidak terlampau signifikan dibanding jumlah penduduk Jakarta yang berada di angka 10,6 juta jiwa atau 3,87 persen dari total populasi Indonesia, terlebih proyeksi penduduk yang mengalami peningkatan sebesar 0,38 persen pada tahun berikutnya.
Itu berarti, ada belasan ribu harapan yang pupus dan kandas. Tetapi di sisi lain ada belasan ribu atau berkali lipat harapan tumbuh kembali dan dirawat Jakarta.
Martin Seligman, Bapak pendiri psikologi positif menerangkan kepada kita makna penting harapan sebagai salah satu komponen kebahagiaan. Ia membagi kebahagiaan ke dalam tiga bagian yang saling berkaitan yakni masa lalu, kini dan masa depan di mana harapan berada pada pada komponen masa depan.
Tidak hanya sampai di situ, Seligman juga berpendapat bahwa ada berbagai faktor kebahagiaan di antaranya yaitu uang, status pernikahan, kehidupan sosial, usia, kesehatan, emosi negatif, pendidikan, jenis kelamin, dan agama. Pertanyaannya, di antara faktor-faktor itu apa saja yang tidak dapat dipenuhi di Jakarta?
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini saya menonton sebuah series Korea di Netflix dengan judul More Than Friend. Si pemetaan laki-laki bernama Lee Su. Ia menerangkan kepada lawan mainnya tentang faktor-faktor yang seharusnya dapat kita pilih di antara yang tak dapat kita pilih.
"Ras, jenis kelamin, agama, orang tua, pekerjaan, pasangan dan sebagainya. Di antara semua faktor itu, kau hanya bisa memilih pekerjaan dan pasanganmu," kemudian ia tutup dengan pertanyaan satire “Bukankah terlalu menyedihkan jika tak bisa memilih itu juga?”
Dari 10,6 juta penduduk, tentu ada banyak orang yang memilih uang atau bekerja di Jakarta. Perputaran ekonomi yang cepat, aksesibilitas terhadap sumber-sumber, juga ingar-bingar kehidupan sosial.
Atau mungkin perasaan bangga menjadi orang kota menjadi faktor subjektif yang menyebabkan harapan itu tetap terjaga, kebahagiaan itu tetap ada meski ditempa dengan berbagai persoalan-persoalan yang tak kalah pelik, yang dapat kita jumpai tiap hari di Jakarta.
Tiap hari di layar televisi atau smartphone terdapat banyak rupa Jakarta yang ditampilkan dalam berbagai babak—babak kesenangan dan babak kesedihan—yang disajikan melalui dua jenis kehidupan yang bertolak belakang.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi cerita tentang orang-orang yang kelewat kaya—yang seringkali digambarkan dengan kepemilikan kendaraan super mewah, rumah yang megah dan terletak di pusat kota—atau kisah-kisah keberhasilan yang seringkali sulit dinalar.
Di sisi lainnya, cerita orang-orang yang susah, manusia-manusia perantau yang luntang-lantung, pengemis, pemulung, tukang ojek yang sepi orderan, atau pedagang yang saban hari berjualan. Dan tentunya kisah seribu satu kesusahan lainnya yang seperti tidak berujung.
Perbedaan kehidupan ini memiliki satu kesamaan yang dapat kita tarik bahwa mereka—baik yang kaya atau yang susah—memiliki satu kesamaan di Jakarta: harapan. Harapan untuk hidup lebih baik bagi mereka yang susah, atau harapan untuk tetap hidup dalam kemudahan bagi mereka yang kaya.
Harapan itu selalu ada dan selalu tumbuh di Jakarta. Sebab itu, barangkali, mereka yang memilih hidup dan berbahagia di Jakarta adalah mereka yang memiliki harapan, sebagaimana ungkapan Seligman tentang kebahagian.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, Jakarta tetaplah Jakarta. Bagi mereka yang memiliki harapan, Jakarta diungkapkan dalam Bahasa latin: Le meil leur des mondes possibles (yang terbaik dari semua yang mungkin). Dan bersandar pada itu semua, cuitan Anas Urbaningrum pada 2018, dapat menjadi penutup yang baik.
Lalu, apakah kita hari ini kehilangan segalanya?