Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
GROWTH STRATEGY: 7-Eleven Dihabisi Regulasi?
CEO PT Azbil Berca Indonesia dan Chairman BEE Management Consulting & Education (www.beeconsulting-id.com). Kontak: [email protected]
3 Agustus 2017 15:30 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Tulisan dari Dr. Mombang Sihite tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber: www.prnewswire.com | Logo 7-Eleven
Grup Modern didirikan oleh Otje Honoris yang awalnya membuka studio foto di Makassar karena terinspirasi oleh hobinya belajar fotografi. Pada tahun 1965, Otje merantau ke Jakarta dan membuka sebuah gerai kecil di bilangan Pasar Baru yang menjual peralatan fotografi. Tonggak kejayaan bisnis Otje Honoris bermula pada tanggal 12 Mei 1971, di mana dia mendirikan PT Modern Photo Film yang menjadi perusahaan distributor peralatan fotografi. Pada tahun itu pula PT Modern Photo Film berhasil mendapatkan lisensi untuk menjadi distributor tunggal Fujifilm di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dengan menggandeng Fujifilm-lah Grup Modern mencapai puncak kesuksesannya, di mana PT Modern Photo, Tbk. menjadi kontributor utama bagi total profit perusahaan. Pada tahun 1996, aset Grup Modern diperkirakan mencapai Rp2,5 triliun dengan revenuesebesar Rp3 triliun. Bahkan saat Indonesia diterpa badai krisis moneter yang berujung pada krisis ekonomi pada tahun 1998 (tahun di mana Bank Modern harus dilikuidasi), PT Modern Photo, Tbk. menjadi salah satu dari segelintir anak usaha yang tersisa dan masih mampu berkontribusi positif.
Setelah krisis ekonomi 1998, badai kembali menerjang bisnis Grup Modern. Era digital tiba, dan PT Modern Photo, Tbk. yang saat itu sudah berubah nama menjadi PT Modern Internasional, Tbk. merasakan dampaknya yang teramat dahsyat. Faktanya, bisnis PT Modern Internasional, Tbk. sudah mulai mengalami penurunan konstan sejak tahun 2000, namun pada tahun 2007 penurunan yang mereka alami amat sangat drastis.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, sebelum krisis moneter tahun 1998 perusahaan sudah menyadari kebutuhan untuk merevitalisasi bisnis dan mulai melakukan pendekatan kepada pihak 7-Eleven untuk mendapatkan lisensinya. Namun, krisis ekonomi membuat semua langkah pendekatan tersebut terhenti untuk sementara waktu. Baru pada tahun 2006, di bawah komando Henri Honoris---cucu dari Otje Honoris---PT Modern Internasional, Tbk. mulai kembali mengintensifkan pendekatan ke pihak 7-Eleven guna menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Henri "menjual" jaringan Fuji Image Plaza dan M-Photo Studio yang mencapai sekitar 1.200 gerai di hadapan pihak prinsipal 7-Eleven. Gerai-gerai tersebut tentu sangat potensial untuk diubah menjadi gerai ritel 7-Eleven. Dan akhirnya usaha pantang menyerah Henri pun membuahkan hasil positif. Pada tahun 2009, PT Modern Internasional, Tbk. terpilih menjadi pemegang lisensi tunggal waralaba 7-Eleven di Indonesia, dan kini bisnis convinience storetersebut ditangani oleh PT Modern Sevel Indonesia.
ADVERTISEMENT
Revitalisasi bisnis Grup Modern langsung memberikan dampak positif. Pada tahun 2010, dua puluh gerai 7-Eleven mereka memberikan kontribusi sebesar 10% dari total pendapatan perusahaan. Pada tahun 2016, 175 gerai 7-Eleven memberikan kontribusi nyaris 80%! Kendati demikian, pertumbuhan bisnis 7-Eleven di Indonesia ternyata tidak bisa sinambung (sustainable) dalam jangka panjang. Buktinya, penjualan per sembilan bulan 7-Eleven pada tahun 2016 turun menjadi Rp526 miliar dari Rp686 miliar pada tahun 2015. Yang dituding menjadi penyebabnya adalah Peraturan Menteri Perdagangan tahun 2015 yang membatasi peredaran dan penjualan minuman beralkohol, serta tekanan dari pendatang baru seperti Lawson dan Family Mart yang menawarkan harga yang lebih murah ketimbang 7-Eleven. Tak heran jika sepanjang tahun 2016 ada 20 gerai 7-Eleven yang ditutup, dan pada awal 2017 ada 30 gerai lagi yang ditutup karena dinilai merugi. Puncaknya, pada 30 Juni 2017 seluruh gerai 7-Eleven di Indonesia tutup, menyusul kegagalan akuisisi oleh Charoen Pokphand.
ADVERTISEMENT
Bila dirangkum secara sederhana, berikut ini adalah faktor-faktor yang bisa dituding sebagai penyebab runtuhnya bisnis 7-Eleven di Indonesia:
1. REGULASI
Bisnis 7-Eleven di Indonesia benar-benar terpukul oleh regulasi dari pemerintah. Yang pertama adalah keharusan 7-Eleven untuk memiliki dua izin, yakni izin operasional sebagai convinience storedan sebagai restoran. Pengurusan dua jenis izin ini banyak dikatakan menghambat ekspansi gerai 7-Eleven terutama ke luar area Jabodetabek. Padahal ekspansi gerai merupakan syarat mutlak yang bisa menopang pertumbuhan bisnis 7-Eleven.
Regulasi kedua yang memukul bisnis 7-Eleven adalah pelarangan penjualan minuman beralkohol. Pelarangan ini membuat 7-Eleven kehilangan para pelanggan idealnya, di mana para pembeli minuman beralkohol terkenal sebagai big spenderyang royal dalam berbelanja produk-produk lainnya di samping minuman beralkohol.
ADVERTISEMENT
Dua regulasi pemerintah ini benar-benar melumpuhkan model bisnis 7-Eleven di Indonesia, sementara mereka sudah terlanjur agresif dalam melakukan langkah-langkah ekspansi, termasuk dengan pendanaan yang berasal dari pinjaman komersial perbankan yang bunganya bahkan lebih dari 16% p.a., di antaranya dari Bank Mayapada dan Bank Mandiri.
2. PELANGGAN ALAY
Pelarangan penjualan minuman beralkohol membuat 7-Eleven hanya kebanjiran para pelanggan yang masuk kategori alay,di mana nilai belanja mereka minim namun bisa berjam-jam menghabiskan waktu dengan nongkrongdi gerai-gerai 7-Eleven sambil memanfaatkan fasilitas wifi-nya. Dengan tipe pelanggan seperti ini, gerai-gerai 7-Eleven tentu kesulitan dalam menutup biaya operasionalnya.
3. POSITIONINGTANGGUNG
Dengan hengkangnya para pembeli minuman beralkohol, maka positioning7-Eleven di Indonesia terasa tanggung. Produk-produk 7-Eleven (terutama makanan dan minuman freshsiap saji) terlalu premium untuk pasar yang tersisa (yang sebagian besar terdiri atas pelanggan alay) namun tidak cukup premium untuk bisa dijual dengan harga seperti produk-produk---katakanlah---Starbucks.
ADVERTISEMENT
4. PESAING TAK TERDUGA
Selain dari gerai-gerai sejenis seperti Lawson dan Family Mart, hantaman persaingan ternyata juga datang dari bistro, kedai kopi atau kafe "rumahan" yang menawarkan produk dan experienceserupa dengan harga yang bisa jadi lebih rendah dibandingkan dengan harga 7-Eleven. Dengan biaya operasional yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan 7-Eleven, tentu saja kafe-kafe rumahan seperti itu bisa terus bertahan, sementara 7-Eleven harus terpental dari persaingan.
5. TATA KELOLA YANG BURUK
Kabarnya, 7-Eleven harus menampung eks karyawaan Fujifilm yang bisa jadi tidak memiliki kualifikasi yang pas untuk menjalankan bisnis ritel atau restoran. Lalu, ditengarai juga bahwa sejumlah kepala dan staf gerai yang "nakal" kerap melakukan penyelewengan yang sangat merugikan perusahaan.
ADVERTISEMENT
***
Demikianlah, salah satu inisiatif revitalisasi Grup Modern harus berakhir mengecewakan. Sekarang ini Grup Modern dengan holding company PT Modern Internasional, Tbk. tinggal bermain di industri industrial imagingdan medical imaging(PT Modern Internasional, Tbk.), serta solusi manajemen dokumen yang berbasis managed print service,teknologi informasi, security software,dan networking(PT Modern Data Solusi).
***
CATATAN:
Dr. Mombang Sihite adalah CEO PT Azbil Berca Indonesia dan Chairman BEE Management Consulting & Education (www.beeconsulting-id.com).
Untuk konsultasi strategi bisnis, growth strategy dan strategic management, silakan ajukan pertanyaan ke: [email protected]