Konten dari Pengguna

Saat Hoaks Bertemu AI: Krisis Literasi Digital Indonesia

Moses Wongsa
Siswa PENABUR Junior College Kelapa Gading
3 November 2025 21:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Saat Hoaks Bertemu AI: Krisis Literasi Digital Indonesia
Di era AI dan deepfake, kebenaran makin kabur. Mampukah masyarakat Indonesia bertahan di tengah banjir disinformasi?
Moses Wongsa
Tulisan dari Moses Wongsa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kemajuan teknologi seharusnya membawa masyarakat menuju kemudahan dan keterbukaan informasi. Namun, di Indonesia, banjir informasi justru berbalik menjadi bumerang. Di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI), masyarakat kini menghadapi tantangan baru: sulit membedakan antara fakta dan rekayasa digital. Krisis literasi digital bukan lagi sekadar soal kemampuan menggunakan gawai, tetapi kemampuan berpikir kritis dalam menghadapi era manipulasi informasi berbasis teknologi.
ADVERTISEMENT
Data terbaru dari Microsoft Digital Civility Index 2023 menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kesopanan digital paling rendah di Asia Tenggara. Survei Katadata Insight Center pada 2022 juga menunjukkan, hanya 41 persen masyarakat Indonesia yang mampu mengenali informasi palsu di internet. Artinya, enam dari sepuluh pengguna masih berisiko menjadi korban disinformasi.

Gelombang Disinformasi yang Tak Pernah Surut

Fenomena hoaks bukan hal baru di Indonesia. Sejak 2019, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) mencatat lebih dari 1.300 kasus hoaks tersebar setiap tahun, dengan lonjakan signifikan saat masa politik dan pandemi. Konten palsu tidak hanya muncul dalam bentuk teks, tetapi juga video dan gambar yang tampak meyakinkan.
Namun, yang membuat situasi semakin rumit adalah kemunculan AI generatif. Teknologi seperti deepfake kini mampu menciptakan wajah, suara, bahkan seluruh video yang tampak nyata. Dalam hitungan detik, siapa pun bisa memproduksi konten yang seolah-olah berasal dari tokoh publik, lengkap dengan narasi yang provokatif.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, di negara dengan tingkat literasi digital rendah seperti Indonesia, kemampuan untuk memverifikasi sumber informasi masih minim. Banyak orang lebih cepat membagikan konten daripada memeriksanya. Ketika AI mampu menghasilkan kebohongan yang tampak seperti kebenaran, batas antara fakta dan fiksi makin kabur.
Ilustrasi teknologi canggih AI. Foto: Shutter Stock

Kalah dari Negara Tetangga

Jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara, posisi Indonesia tergolong memprihatinkan. Laporan UNESCO tahun 2023 menunjukkan bahwa indeks literasi digital Indonesia berada di bawah Vietnam dan Filipina. Kedua negara tersebut sudah memasukkan pendidikan literasi digital ke dalam kurikulum sekolah menengah secara sistematis sejak 2018.
Sementara itu, Indonesia masih fokus pada aspek penggunaan teknologi, bukan pemahaman kritis terhadap informasi. Banyak masyarakat yang mahir mengoperasikan media sosial, tetapi belum tentu memahami cara kerja algoritme atau cara mengenali konten manipulatif.
ADVERTISEMENT
Padahal, dampaknya nyata. Dalam konteks sosial, hoaks dapat memecah belah masyarakat. Dalam konteks ekonomi, informasi palsu dapat memicu kepanikan, seperti yang pernah terjadi pada kasus minyak goreng dan bahan bakar minyak. Di ranah politik, disinformasi bisa memengaruhi persepsi publik terhadap calon pemimpin.

Peran AI yang Semakin Kompleks

AI bukan hanya alat pembuat hoaks, tetapi juga alat penyebarnya. Platform media sosial kini memanfaatkan algoritme berbasis kecerdasan buatan untuk menyesuaikan konten sesuai minat pengguna. Masalahnya, algoritme ini sering kali memperkuat echo chamber, yakni ingkaran informasi yang hanya memperlihatkan pandangan searah dan menyingkirkan opini berbeda.
Sebagai contoh, seseorang yang sering menonton video teori konspirasi akan terus direkomendasikan konten serupa. Tanpa disadari, pengguna terjebak dalam ruang gema yang memperkuat keyakinan salahnya. AI, dalam hal ini, mempercepat penyebaran disinformasi secara sistemik.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, AI juga bisa menjadi solusi. Beberapa lembaga di dunia sudah mengembangkan sistem pendeteksi konten palsu berbasis pembelajaran mesin (machine learning). Tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan teknologi ini di negara berkembang seperti Indonesia yang masih terbatas dalam infrastruktur dan sumber daya digital.

Pendidikan Literasi Digital Masih Sebatas Seremonial

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah meluncurkan program Gerakan Nasional Literasi Digital sejak 2021. Namun, sebagian besar kegiatan masih berfokus pada pelatihan dasar, seperti cara menghindari penipuan daring atau menjaga keamanan akun. Pendekatan ini penting, tetapi belum menyentuh aspek paling krusial: kemampuan berpikir kritis dan analitis terhadap informasi.
Literasi digital tidak bisa berhenti pada “cara menggunakan” teknologi, tetapi harus berkembang menjadi “cara memahami” teknologi. Artinya, masyarakat perlu diajak mengenal bagaimana algoritme bekerja, bagaimana data digunakan, dan bagaimana bias bisa terbentuk di ruang digital.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan sektor pendidikan menjadi kunci. Literasi digital perlu dimasukkan dalam kurikulum sejak dini, bukan hanya dalam pelajaran teknologi informasi, tetapi juga dalam konteks sosial dan etika. Guru dan orang tua juga harus dibekali kemampuan yang sama agar bisa menjadi filter informasi bagi generasi muda.

Tanggung Jawab Bersama di Era AI

Menghadapi era disinformasi berbasis AI, tanggung jawab tidak bisa dibebankan hanya kepada pemerintah. Platform digital, media massa, dan masyarakat harus berperan aktif.
Platform digital wajib lebih transparan terhadap sistem algoritme dan cepat menindak penyebaran konten palsu. Media massa perlu menjaga kepercayaan publik dengan verifikasi ketat dan penyajian data yang akurat. Masyarakat harus berhenti menjadi penyebar tanpa sadar.
Kritis terhadap informasi bukan berarti sinis, tetapi berhenti sejenak untuk memeriksa sumber sebelum percaya. Gerakan kecil seperti “stop sebelum sebar” bisa menjadi langkah sederhana namun berdampak besar.
Ilustrasi berita palsu yang mudah dibagikan melalui telepon genggam. Foto: Shutter Stock

Penutup: Menjadi Cerdas di Tengah Kebisingan Digital

Era AI membuka dua sisi mata uang bagi manusia: kemudahan luar biasa dalam mengakses informasi, tetapi juga ancaman kebingungan massal akibat disinformasi yang semakin canggih. Krisis literasi digital Indonesia tidak akan selesai hanya dengan kampanye dan pelatihan teknis. Diperlukan kesadaran kolektif bahwa literasi bukan sekadar kemampuan membaca, melainkan kemampuan memahami realitas di balik layar.
ADVERTISEMENT
Di era ketika hoaks dan AI berjalan beriringan, yang dipertaruhkan bukan sekadar kebenaran, melainkan kemampuan masyarakat menjaga akal sehat di tengah arus informasi yang tak pernah berhenti.