Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Menantang Keberadaan Konsumerisme
20 Mei 2020 3:07 WIB
Tulisan dari Mosses Krishna A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi beberapa orang, berbelanja tidak hanya diartikan sesempit membeli sebuah barang kebutuhan. Bagi beberapa orang, berbelanja membawa pesan ataupun misi tersendiri setiap pribadi. Bagi beberapa orang, berbelanja merupakan sebuah cara untuk dapat diterima dalam lingkup sosialnya. Bagi beberapa orang, rasa puas, senang, gembira, dan sebagai cara untuk tetap eksis dapat dilakukan dengan berbelanja.
ADVERTISEMENT
Keinginan untuk terus berbelanja suatu barang inilah yang akan mengalir pada konsumerisme. Menurut Zygmut Baumant, konsumerisme adalah situasi saat seseorang membeli suatu barang hanya karena keinginan bukan kebutuhan. Pada awalnya sifat konsumtif manusia bertujuan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Namun, seiring perkembangan teknologi dan industrialisasi, orientasi ini bergeser. Masyarakat kemudian mulai mengonsumsi suatu barang yang sedang mengalami tren di lingkungan mereka. Dari sinilah orientasi pemenuhan kebutuhan bergeser menjadi sebuah cara untuk bersaing mendapatkan pengakuan di kelas sosialnya. Semakin banyak ia mengonsumsi barang, semakin mewah barang yang ia beli, semakin tinggi pula derajatnya dalam konstruksi sosial.
Semua orang mengerti bahwa saat ini mereka hidup dalam sebuah kultur masyarakat konsumeris. Namun, tidak banyak yang menyadari secara utuh. Dalam artian ada bagian lain dari kultur konsumerisme di masyarakat yang belum disadari oleh masyarakat. Salah satunya adalah penurunan tingkat kesejahteraan. Hal ini dapat terjadi karena keinginan untuk terus membeli barang untuk kepuasan sesaat ataupun sebagai “perlombaan” sosial. Pemikiran jika kita membeli barang lebih banyak akan menghasilkan kepuasan tentunya salah. Justru dengan membeli barang yang tidak dibutuhkan menjebak seseorang ke dalam persaingan tidak sehat dalam sebuah kelas sosialnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Elisabeth Laville, Director of the Observatory of Responsible Consumption, konsumsi yang dilakukan diatas kebutuhan akan menimbulkan sebuah perlombaan tentang mencapai atau bergerak ke strata sosial yang lebih tinggi. Selain itu seseorang akan beranggapan jika mengonsumsi lebih banyak akan lebih bahagia walaupun kenyataannya tidak. Konsumsi yang berlebihan menimbulkan stress, depresi, tidak percaya diri, dan menurunkan kualitas hubungan sosial mereka.
Menurut Dimitri Begioglou, seorang psikolog klinis, overconsume merupakan sebuah candu. Layaknya sebuah candu, overconsume berawal pada sebuah euforia setelah dapat membeli sebuah barang yang diinginkan. Kemudian muncul perasaan bersalah dan menyesal. Semakin lama hal ini terjadi, seseorang dapat terperangkap kegiatan overconsume. Efek yang ditimbulkan dari candu ini setara dengan kecanduan alkohol atau judi.
ADVERTISEMENT
Seperti film Fight Club, digambarkan pola konsumerisme yang sangat mengikat seseorang. Tanpa sadar seseorang akan terus berlomba untuk menuruti nafsu bersaingnya hanya untuk terlihat lebih hebat dari yang lain. Berjalannya waktu, konsumerisme mengalami gejala kemunduran. Hal ini bisa dikarenakan oleh kemajuan teknologi, globalisasi, bahkan pergeseran tren masyarakat. Ditambah milenial sebagai aktor utama penghambat konsumerisme saat ini.
Masyarakat lebih sedikit berbelanja
Kini masyarakat sudah mengurangi intensitas belanja mereka. Terbukti di Inggris jumlah konsumsi barang fisik terus berkurang sejak tahun 2001 hingga 2014. Salah satu penyebabnya adalah perkembangan media sosial. Saat ini orang tidak perlu membeli sebuah barang untuk dapat menikmatinya, contohnya adalah CD. Jika seseorang ingin menonton sebuah film atau memutar lagu tidak perlu membeli CD. Mereka hanya perlu pergi ke internet untuk mencarinya.
ADVERTISEMENT
Lebih populernya sesuatu yang menghasilkan experience
Saat ini kaum milenial lebih senang mengeluarkan uang mereka untuk kesenangan yang dapat menimbulkan sebuah memori. Dalam kata lain, mereka mengeluarkan uang untuk mendapatkan pengalaman tertentu. Milenial lebih memilih pergi berlibur daripada membeli barang tertentu seperti motor, mobil, atau memulai kredit rumah.
Selain itu, munculnya bisnis yang bersifat experiential, seperti Airbnb juga mendorong orang untuk mencari sebuah pengalaman baru. Konsep dari bisnis Airbnb sendiri seperti menyewakan rumah atau apartemen kalian ke orang lain. Ditambah dengan pengalaman untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.
Sebuah artikel di medium.com mengatakan saat ini masyarakat cenderung mengonsumsi “lifestyle”. Dalam arti “lifestyle” dijadikan sebuah komoditas jual. Hal paling sederhana dari contoh Airbnb, pemilik rumah selain menyewakan sebuah kamarnya ia juga menjual “lifestyle” kehidupannya. Bagaimana dia berkegiatan sehari-hari, kebiasaan mereka saat di rumahdirumah seperti sarapan pagi atau sekedar meminum teh di depan teras. Selain itu mulai banyaknya kegiatan bisnis yang menjual “lifestyle” ini, seperti mulai banyak bermunculan kedai kopi yang mengusung konsep eco-friendly. Sebuah merek busana yang mengeluarkan tema minimalis.
ADVERTISEMENT
Memang ada kecenderungan pergeseran konsumsi masyarakat. Beralih mengonsumsi hal-hal experiential dan mulai mengurangi barang fisik. Namun, belum tentu juga menandakan matinya konsumerisme dalam masyarakat modern. Bisa saja hal ini sebagai indikasi adanya post-konsumerisme. Mari kita tunggu perkembangan selanjutnya. Benarkah konsumerisme akan hilang atau hanya berganti wujud baru?