Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
30 Ramadhan 1446 HMinggu, 30 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Opini : Membangun Tanah Papua dengan Adat
27 Maret 2025 11:39 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Mervin Komber tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Membangun Tanah Papua dengan Adat
Oleh Dr. Ir. Mervin Komber*
ADVERTISEMENT
Dosen Universitas Pendidikan Muhamadiyah Sorong Papua Barat Daya
Peradaban permukiman manusia di Tanah Papua diperkirakan telah mulai antara 42.000 dan 48.000 tahun yang lalu. Interaksi antara Masyarakat Papua dan pulau-pulau yang berdekatan terdokumentasi sejak abad ketujuh. Kedatangan Bangsa Eropa ke Tanah Papua dimulai dari Perjalanan Pelaut Portugis, António de Abreu dan Francisco Serrão ke Kepulauan Maluku dan kemudian sempat singgah di Jazirah Onim (Fakfak sekarang), para pelaut Portugis ini mendapati catatan soal keberadaan sejumlah masyarakat yang rasnya sangat berbeda dengan orang Melayu. Pada bulan Juni 1545, Ortiz de Retez, yang memimpin Kapal San Juan, meninggalkan pelabuhan di Tidore, sebuah pulau di Hindia Timur dan berlayar hingga mencapai pantai utara Pulau Papua, di mana dia berpetualang sepanjang muara Sungai Mamberamo. Ortiz de Retez menamai Papua dengan yang nama Nueva Guinea karena kemiripan penduduk lokal dengan orang-orang di pantai Guinea di Afrika Barat.
ADVERTISEMENT
Tanah Papua begitu istimewa sedemikian sehingga menarik perhatian dari orang-orang atau kelompok-kelompok yang ingin berkunjung untuk menetap, berkunjung untuk meneliti, mengembangkan dan mengeksplorasi, bahkan berkunjung untuk mengeksploitasi-nya. Khazanah alamnya yang amat kaya menjadikannya daya tarik tersendiri. Disamping itu, kebudayaannya juga yang unik dan mengakar dalam adat istiadat disetiap suku yang ada di Tanah Papua. Ada sekitar 255 suku yang mendiami Tanah Papua, dari tujuh wilayah adat di Papua yakni Ha Anim, La Pago, Me Pago, Saireri, Mamberamo-Tabi, Doberay dan Bomberay. Papua terdiri dari pegunungan salju, delta-delta lumpur yang membentang amat luas, hutan rimba yang menghasilkan flora dan fauna yang beragam, rawa-rawa, danau yang indah, gugusan kepulauan yang cantik, lautan yang kaya akan ikan, dan penduduk asli yang khas dengan bahasa dan budaya yang unik. Hal ini dengan sendirinya menjadi locus bagi penelitian para ahli ilmu alam, ilmu antropologi, ilmu bahasa, untuk menemukan variasi bahasa dan kebudayaan yang tidak terdapat di tempat-tempat lain di muka bumi ini (Boelaars: 1986).
ADVERTISEMENT
Wilayah Adat di Tanah Papua
Pada awal tahun 2000an Dewan Adat Papua dan Lembaga Masyarakat Adat Papua mengusulkan pembagian wilayah adat di Tanah Papua dan melahirkan tujuh wilayah adat di Tanah Papua, yang bertujuan melindungi hak masyarakat adat dan mempertahankan identitas kebudayaan. Adapun tujuh wilayah adat dimaksud adalah : Mamta, La Pago, Mee Pago, Saireri, Ha Anim, Doberay dan Bomberay. Wilayah adat ini digunakan untuk mengelompokkan suku-suku di Papua, karena sejak dahulu, orang asli Papua sudah mengenal batasan-batasan wilayah berdasarkan pembagian suku. Batasan-batasan pembagian suku ini diwariskan secara turun-temurun dari para leluhurnya. Konsep pembagian suku didasarkan atas hubungan kekerabatan, perkawinan, hak ulayat, tipe kepemimpinan, ciri-ciri fisik, hingga geografis. Sedari awal mesti disadari bahwa istilah “identitas orang Papua” ini tidak serta-merta membawa suatu makna tunggal. Maknanya amat beragam justru karena Papua sendiri dihuni oleh berbagai suku dengan adat istiadat yang amat beragam dan unik, namun dalam sejarahnya orang Papua sangat gampang menyatu dalam semangat adat. Menurut Boelaars, ada suatu nilai yang dapat mengikat keanekaragaman identitas orang Papua itu yaitu dari caranya dia mendekati lingkungannya, sesama manusianya, dan dunia rohaninya. Hal ini yang mengikat mereka dengan “identitas orang Papua” sekaligus membedakan orang Papua dengan yang bukan Papua. Identitas orang Papua itu terbentuk di dalam relasinya dengan alam dan hutan adatnya, dengan sesama suku dan antar suku, dan dengan dunia yang tidak kelihatan (para leluhur) yang dapat saling berhubungan dengan dunia hidup manusia melalui ritual dan laku hidup tertentu.
ADVERTISEMENT
Penelitian dari Center for International Forestry Research (CIFOR) tahun 2023 merekomendasikan beberapa hal yakni adanya pemetaan partisipatif wilayah adat, insentif bagi pembangunan berbasis kearifan lokal, dan pendidikan multikultural bagi perencana pembangunan. Dalam relasinya dengan alam itu, ada suatu filosofi yang amat penting bagi orang Papua yaitu mereka tidak pernah merasa kekurangan jika hidup ditengah-tengah alam. Artinya hidup itu dinamis dan alam menyediakan segalanya bagi kehidupannya dan masa depannya. Kaum peramu dan petani amat menyadari filosofi ini. Keyakinan terhadap alam yang senantiasa yang menyediakan makanan telah membuat mereka percaya diri, menjadi seseorang yang berdiri di atas kaki sendiri, berswadaya dan berswakarsa. Studi dari World Development (Tebtebba, 2018) menunjukkan bahwa model ekonomi adat (contoh: sasi di Maluku atau subak di Bali) mampu meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi ketimpangan. Dimana pada kelompok masyarakat Adat Bomberay, sistem sasi biasanya dilakukan untuk tanaman jangka panjang semisal pala dan durian.
ADVERTISEMENT
Pembangunan Papua dari masa ke masa
Presiden Sukarno yang nasionalis menangani masalah Papua dengan Operasi Trikora. Bung Karno tidak ingin Papua “terlepas” dari Indonesia dan menjadi bagian dari Belanda: “apakah seseorang akan membiarkan salah satu anggota tubuhnya diamputasi tanpa melakukan perlawanan?” kata Bung Karno untuk menjelaskan posisi sikap Indonesia terhadap Papua dalam konteks historis kolonialisme Belanda.
Presiden Suharto mengoptimalkan konsep perlawanan Sukarno dalam pendekatannya merebut Papua. Pembangunan Papua dilakukan lewat pendekatan keamanan di mana semua pos penting dan strategis diisi oleh perwira menegah aktif ABRI berpangkat kolonel. Bagi Presiden Suharto pembangunan hanya bisa dicapai jika ada stabilitas politik dan untuk menjaga stabilitas politik itu dapat dicapai lewat pendekatan keamanan.
ADVERTISEMENT
Presiden Habibie yang memimpin dengan pendekatan teknokratis memulai kepemimpinannya dengan dialog. Ia mengundang 100 tokoh Papua ke Istana untuk berdialog tentang masa depan Papua.
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur masuk ke Papua lewat jalur dialog berbasis pada pendekatan kultural yang langsung menyentuh hati masyarakat Papua. Ia mengubah nama Irian Jaya yang amat politis itu menjadi Papua yang mewakili rasa-perasaan kultural orang Papua. Pada tanggal 30 Desember 1999, saat itu saya turut diundang sebagai perwakilan pemuda/mahasiswa Fakfak wilayah adat Bomberay, saat pertemuan dengan Presiden Gus Dur di Jayapura, Gus Dur menekankan bahwa duduk bersama dan dialog jauh lebih penting dari pada menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan di Tanah Papua.
ADVERTISEMENT
Presiden Megawati melanjutkan pendekatan Gus Dur dengan menerbitkan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang mana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur daerah dan masyarakatnya berdasarkan prakarsa dan aspirasi yang menonjolkan hak-hak dasar masyarakat adat Papua. Maka, Majelis Rakyat Papua (MPR) terbentuk sebagai representasi masyarakat adat asli Papua.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan pendekatan berbasis pada kebijakan keamanan dan kesejahteraan yang tercantum dalam Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) melalui Perpres tahun 2011 untuk mengatasi problem sosial-ekonomi di Papua. Melalui UP4B ini akses orang asli Papua ke dunia pendidikan dibuka luas termasuk beasiswa afirmasi untuk kuliah di seluruh Indonesia dan luar negeri. Pada tanggal 22 November 2010, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Universitas Cenderawasih dan menyampaikan kuliah umum, dimana saat itu kami sebagai Anggota DPD RI, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan bahwa pembangunan kesejahteraan harus digalakkan di Tanah Papua.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Presiden Joko Widodo terhadap Papua tidak jauh berbeda dari para pendahulunya bahkan intensitas kunjungannya ke tanah Papua lebih sering dan fokus pada pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur dimaksudkan untuk membuka isolasi akses di Papua dan mengatasi kesenjangan pembangunan yang masih timpang. Beberapa kali pertemuan dengan Presiden Joko Widodo, saat berkapasitas sebagai Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo selalu menekankan bahwa infrastruktur harus dibangun secara terintegrasi di Tanah Papua.
Kebijakan (telah) Berbasis Kebudayaan
Membangun Papua dengan pendekatan kebudayaan adalah kebijakan yang sangat mendesak, mengingat sejak awal dalam perjumpaan masyarakat Papua dengan orang luar selalu dimulai dengan komunikasi berbasis kultural. Ada dua kondisi objektif yang memberikan pemahaman integral terhadap pembangunan dengan pendekatan adat. Yakni pertama, pendekatan pembangunan yang berbasis kultural wajib mengetengahkan dua hal sebagai intisari: manusia dan alam. Sebagaimana yang sudah diutarakan oleh Boelaars, identitas orang Papua itu dibentuk dari relasinya yang intim dengan alam. Relasi manusia-alam ini seperti relasi subyek-subyek dan bukan subyek-obyek yang mana alam hanya dipandang sebagai obyek untuk dieksploitasi sehabis-habisnya untuk kebutuhan manusia semata-mata. Konsekuensinya, perusakan terhadap alam yang dimaksudkan Jakarta sebagai upaya untuk membangun dan menghidupkan orang Papua justru dianggap sebagai upaya sistematis untuk menghilangkan identitas orang Papua itu sendiri. Itu sebabnya, model pendekatan untuk membangun Papua mesti mempertimbangkan aspek budaya yang amat menghormati alam dan manusia di dalamnya. Penelitian di Filipina (Acabado, 2019) membuktikan bahwa pengelolaan hutan adat lebih efektif mencegah deforestasi.
ADVERTISEMENT
Kedua, semua peraturan yang dibuat khusus untuk Tanah Papua dilandasi atas semangat adat dan kebudayaan. Sebut saja UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, pembentukan Majelis Rakyat Papua, penetapan anggota DPRP provinsi kursi pengangkatan hingga pengangkatan anggota DPRK jalur Otsus disetiap kabupaten dan kota di Tanah Papua.
Menurut penelitian Siahaya et al. (2016) dalam Journal of Sustainable Development, pendekatan adat dalam pembangunan (indigenous-based development) menekankan pada Partisipasi masyarakat adat dalam perencanaan hingga evaluasi, integrasi sistem pengetahuan lokal (local wisdom) dengan teknologi modern, pengakuan hak ulayat dan pengelolaan sumber daya berbasis adat.
Membangun Tanah Papua dengan Adat
Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekarang bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut setidaknya ada empat akar masalah di Tanah Papua yang merujuk pada penelitian yang dilakukan LIPI pada 2009 yakni : (1) masalah sejarah dan status politik integrasi, (2) kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, (3) diskriminasi dan marjinalisasi, (4) kegagalan pembangunan di Papua meliputi pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Maka sudah saatnya pendekatan pembangunan berbasis adat dan kebudayaan dicetuskan sebagai suatu solusi berkelanjutan untuk menghentikan konflik, ketimpangan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembangunan berkelanjutan. Karena didalam pembangunan berbasis adat ada semangat membangun demi kesejahteraan dan semangat membangun demi terciptanya keamanan dan ketertiban. Selain itu semangat membangun Papua berbasis adat akan mampu menjangkau masyarakat asli Papua sehingga mereka tidak akan merasa tersingkirkan dan termarjinalisasi diatas tanah adat leluhurnya karena ada lembaga adat yang akan berperan memberdayakan orang asli Papua sesuai karakteristik adat. Prinsip utama pembangunan dengan pendekatan adat adalah dimana pembangunan di Papua mengacu pada partisipasi masyarakat adat, penguatan kelembagaan adat, menguatkan peran aktif masyarakat adat dalam pembangunan, mengembangkan sistem pertanian berbasis adat yang pada gilirannya akan meningkatkan ketersediaan pangan lokal, menyelenggarakan pendidikan berbasis kebudayaan, tersedianya fasilitas kesehatan di masyarakat adat dengan turut mengembangkan obat-obatan secara adat istiadat yang diambil dari alam, pelestarian lingkungan hidup, memperkuat kelembagaan masyarakat adat, penguatan kelembagaan Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten.
ADVERTISEMENT
Harapan Kepada (Kebijakan) Presiden Prabowo
Dilantiknya Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia Masa Bhakti 2024-2029 membawa harapan baru bagi masyarakat di Tanah Papua. Harapan ini menjadi sangat istimewa dikarenakan Presiden Prabowo dan Tanah Papua mempunyai catatan tersendiri, dimana selain berdarah Indonesia timur, Presiden Prabowo juga memimpin pembebasan sandera dalam Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma pada tanggal 9 Mei 1996. Ini menjadikan kebijakan Presiden Prabowo terhadap Tanah Papua sangat dinantikan. Masyarakat Tanah Papua berharap ada kebijakan yang populis dan menyentuh akar permasalahan di Tanah Papua. Melihat realitas dan kondisi kekinian, maka sebaiknya Presiden Prabowo Subianto memulai sebuah kebijakan dengan mengedepankan adat dan kebudayaan Papua sebagai dasar memulai pembangunan di Tanah Papua. Hal ini dikarenakan pembangunan di Tanah Papua tidak bisa dipisahkan dari kearifan lokal, sistem adat, dan kebudayaan masyarakat asli. Kita bersama punya harapan yang sama dalam memandang Tanah Papua, namun kadang pendekatan pembangunan yang dilakukan belum menyentuh hati masyarakat Tanah Papua. Membangun Tanah Papua dengan pola pendekatan adat, tidak perlu dibuatkan lembaga khusus seperti adanya UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat) dan atau UKP OTSUS (Unit Kerja Presiden untuk Otonomi Khusus Papua). Hal ini dikarenakan elemen pendukung pola pembangunan berbasis adat sudah ada yakni kepala daerah, lembaga masyarakat adat/dewan adat, Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten, sehingga sebaiknya Pemerintah Pusat menunjuk satu orang utusan khusus yang memahami kondisi obyektif di Tanah Papua dan mampu memainkan orkestra pembangunan secara adat bersama kelembagaan tersebut diatas dalam menghadirkan kesejahteraan di Tanah Papua. Semoga.
ADVERTISEMENT
*Penulis adalah Anggota DPD/MPR RI Periode 2009-2014 dan Periode 2014-2019 dapil Papua Barat, alumni Universitas Cenderawasih Papua 2003, Sekjen Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia 2006-2009, dan Dosen Tetap Universitas Pendidikan Muhamadiyah Sorong Papua Barat Daya.