Polisi (Tak) Boleh Hedon, karena Itu Penyakit Sosial

Moh Ridwan Litiloly
Fungsionaris PB HMI 2021-2023
Konten dari Pengguna
2 November 2022 10:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh Ridwan Litiloly tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Polri. Foto: Herwin Bahar/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Polri. Foto: Herwin Bahar/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kalian kenal atau masih ingat dengan Brigjen Andi Rian Djajadi? Jika iya, mari kita lanjut.
ADVERTISEMENT
Dia adalah Dirtipidum Bareskrim Polri yang menggelar konferensi pers usai pemeriksaan terhadap Irjen Ferdy Sambo di Mako Brimob, Depok Jumat (11/8/2022). Yang menarik bukan saja soal pernyataannya yang disampaikan, tetapi justru gaya penampilannya saat itu.
Pasalnya, kemeja Andi Rian yang dikenakan saat melakukan konferensi pers, diketahui bermerk Burberry dengan harga yang cukup fantastis. Beberapa cuitan Twitter mengungkapkan harganya berkisar 12 juta lebih.
Kalian juga pasti tau, alasan yang melatarbelakangi aktris Nikita Mirjani menyerang presenter senior Najwa Shihab beberapa waktu belakangan ini. Yang pastinya bukan tentang Capres di 2024, apalagi soal perebutan lelaki.
Semua bermula saat duta baca Indonesia itu turut melontarkan kritiknya atas hidup mewah beberapa oknum polisi. Bahkan Najwa pun tak segan mengungkapkan pernyataan yang cukup menohok dengan mengatakan ada istri kapolres yang nggak malu pamer foto di Instagram naik sepeda dengan harga Rp 300 juta melalui kanal akun Youtubenya.
ADVERTISEMENT
Satu lagi, soal peringatan keras Presiden Jokowi saat melakukan pertemuan dengan Jajaran Polri di Istana negara (15/10/2022). Presiden memberi peringatan keras, bahwa perwira Polri diminta untuk menghentikan gaya hidup mewah.
Bagi Pak Jokowi, Soal lifestyle ini dinilai bisa mempengaruhi kepercayaan publik terhadap Polri. Presiden menegaskan untuk rem secara total gaya hidup yang mewah bagi jajaran Polri.
***
Kurang lebih beberapa kejadian yang cukup menghebohkan jagat maya ini, menjadi bahan diskusi kita saat itu. Forum yang terbentuk tanpa disengaja, tanpa pengeras suara, tidak ada baleho, tanpa tamu undangan apalagi liputan dari wartawan. Yang ada hanya beberapa gelas kopi dan bungkusan rokok yang berhamburan di atas meja.
Saya membuka diskusi dengan meminta pendapat beberapa teman yang hadir saat itu terkait rentetan fenomena gaya hidup polisi yang ramai di media sosial. Hampir semuanya memiliki pandangan sama, bahwa persoalan lifestyle adalah hak yang bersifat privat dan menjadi hak asasi bagi setiap individu meskipun berstatus Polisi.
ADVERTISEMENT
Ada yang beranggapan bahwa, jika anggota Polisi ditekankan untuk menghindari persepsi masyarakat atas dugaan indikasi korup karena gaya hidupnya. Maka logika yang dipakai berdasarkan pendapatan (gaji dan tunjangan) kemudian disandingkan dengan apa yang dipakai, apa yang dibeli dan apa yang dimiliki, tentu tidak bisa menjadi argumen yang kuat sebagai dalil korup atau tidaknya seseorang tersebut.
Bahkan dirinya memberi contoh bahwa seorang ASN dengan golongan yang masih rendah, tapi sudah bisa punya mobil pribadi. Dan itu diperoleh melalui jalur kredit, tabungan atau warisan keluarganya.
Sahabat saya yang lainya juga pada posisi yang sama. Menurutnya, apa yang seharusnya diproteksi bukanlah soal lifestyle atau gaya hidup mewahnya yang tidak substantif dengan profesinya. Dirinya menekankan bahwa yang perlu dievaluasi dan diproyeksi adalah profesionalisme kerja, integritas dan kredibilitas anggota polisi serta transparansi institusi kepolisian.
ADVERTISEMENT
***
Pada posisi ini saya tidak membantah sekaligus juga tidak sepenuhnya membenarkan dalil dan argumen beberapa teman saya. Memang benar asumsi seseorang korup tidak dapat hanya diukur dengan apa yang dipakai, dimiliki dan beli. Kemudian benar adanya jika yang terpenting adalah profesionalisme, integritas, kredibilitas serta transparansi Institusi Polri dan anggotanya.
Tetapi obsesi hidup yang cenderung menunjukkan kemewahan adalah sesuatu yang keliru. Apalagi dilakukan oleh para pemangku-pemangku jabatan yang berhubungan langsung dengan masyarakat.
Pada forum diskusi ini, teman-teman saya kelihatannya tidak terlalu fokus dengan pemaknaan dari gaya hidup mewah itu sendiri. Standardisasi kemewahan yang ditangkap oleh mereka mungkin dalam porsi yang sewajarnya.
Namun jika dilihat dari respons Najwa Shihab hingga peringatan Presiden Jokowi, menunjukkan pemaknaan hidup mewah yang dimaksud sudah mengarah ke gaya hidup hedonis. Lantas apa bisahlan seorang polisi berpandangan hidup yang hedonis?
ADVERTISEMENT
Jika dilihat dari pengertiannya, hedonis dalam KBBI dijelaskan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Hedone yang dalam bahasa Yunaninya berarti kesenangan atau kegembiraan kerap kali juga telah dianggap sebagai doktrin dan ideologi yang sudah berkembang di dalam masyarakat.
Gaya hidup hedonis memberikan dampak baik itu secara individual maupun sosial. Hasrat untuk hidup mewah tentu akan menjadi masalah jika tak sebanding dengan kemampuan. Ini akan mempengaruhi psikologi seseorang untuk menghalalkan segala cara, baik itu korupsi, pungli dan lain sebagainya demi memenuhi hasrat hidup mewahnya.
Gaya hidup mewah tentunya juga akan berdampak terhadap lingkungan dia berada. Dia akan terlihat asing bahkan mengasingkan diri dari kelas masyarakat menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT
Kurang lebih inilah dampak buruk atas pengaruh hedonis itu sendiri. Maka sebagai pandangan yang justru memiliki banyak dampak buruknya ketimbang baiknya bagi individu maupun kehidupan masyarakat, sudah seharusnya anggota Polisi yang bertugas sebagai pelindung dan pengayom masyarakat terhindar darinya.
Hedonisme harus terpisah dari pengertian gaya hidup yang modern, kekinian atau lain sebagainya. Gaya hidup yang cenderung hedonis harus dianggap sebagai sebuah penyakit sosial yang perlu dilawan. Dan sebagai sebuah penyakit masyarakat, polisi seharusnya memiliki tugas menanganinya.