Migrasi Tenaga Kerja

Armansyah
Peneliti dan penulis di Pusat Riset Kependudukan BRIN
Konten dari Pengguna
6 April 2021 12:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Armansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Migrasi merupakan salah satu penyebab terjadinya dinamika penduduk antar daerah. Dulu, para migran melakukan migrasi dengan menggunakan alat transportasi yang kurang memadai dan waktu yang lama.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, pada era disrupsi, di mana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya bidang transportasi membuat arus migrasi antar daerah di dunia semakin cepat dan tak terkendali.
Meskipun pembangunan telah dilaksanakan pada daerah-daerah pinggiran, namun angka migrasi ke perkotaan tetap tinggi.
Bahkan diprediksi pada 2030, jumlah populasi dunia yang tinggal di perkotaan akan berjumlah 60 persen dan 80 persennya akan berada pada negara berkembang, termasuk Indonesia (Dociu & Dunarintu, 2012).
Ketimpangan pembangunan kota dan desa masih menjadi penyebab klasik terjadinya migrasi. Tidak dapat dipungkiri, setiap individu pasti menginginkan tinggal di tempat yang nyaman dengan fasilitas yang memadai, seperti adanya tempat-tempat hiburan, olahraga, pendidikan dan lain sebagainya.
Sayangnya tidak semua migran berhasil dan mendapatkan apa yang diharapkan. Banyak migran yang hidup ala kadarnya di perkotaan karena tidak mampu bersaing memperoleh pekerjaan layak di perkotaan.
ADVERTISEMENT
Semua itu tidak terlepas dari modal yang dimiliki oleh para migran, seperti pendidikan dan keterampilan. Banyak migran yang datang ke perkotaan dengan 'modal nekat', hanya bermodalkan kenalan di perkotaan mereka memutuskan untuk bermigrasi.
Pada akhirnya migran nekat ini ada yang berhasil meraih mimpi namun tidak sedikit juga yang gagal.
Lantas apa yang terjadi pada migran nekat yang gagal. Mereka mau tidak mau akan melakukan berbagai pekerjaan apa saja, asalkan dapat bertahan hidup, tidak jarang mereka melakukan pekerjaan yang mengarah pada tindak kriminal atau kejahatan.
Fenomena ini kemudian menjadi menarik, karena jangankan untuk bersaing dengan tenaga kerja asing, dengan tenaga kerja domestik saja masih tersingkir.
Bukan maksud mengecilkan tenaga kerja domestik, namun perlu disadari, bahwa selama ini kelemahan pendidikan kita adalah terlalu besar pada porsi teori dan sedikit praktik, sehingga menciptakan tenaga kerja yang memiliki keterampilan rendah.
ADVERTISEMENT
Jika tenaga kerja terdidik saja memiliki keterampilan rendah, lantas bagaimana dengan para migran nekat yang hanya bermodalkan kenalan.
Era disrupsi dan Masyarakat Ekonomi ASEAN menciptakan arus migrasi tenaga kerja yang pesat (Armansyah dan Aryaningrum, 2017). Orang dari berbagai negara dapat bekerja di Indonesia dan begitu pun sebaliknya, asalkan dapat memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.
Migrasi tenaga kerja asing ke Indonesia dapat membuat semakin sempitnya peluang tenaga kerja domestik mendapatkan pekerjaan layak. Apalagi, budaya kita masih sering menganggap tenaga kerja asing itu lebih baik dari pada domestik.
Hal ini tentu saja akan menciptakan konflik yang berkepanjangan dan membuat lingkaran pekerjaan subsisten semakin besar. Dengan demikian, perlu adanya strategi atau kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah dan juga tenaga kerja.
ADVERTISEMENT
Manajemen Migrasi
Migrasi tenaga kerja asing ke Indonesia harus dikelola, dikontrol, atau dikelola dengan baik, khususnya mengenai klasifikasi tenaga kerja terampil dan non terampil.
Jika tujuan migrasi adalah untuk mendatangkan tenaga kerja terampil yang memang diperlukan oleh Indonesia, maka dapat dibenarkan.
Namun, apabila migrasi tenaga kerja asing lebih banyak non terampil atau semi terampil atau katakanlah jenis pekerjaan yang ditawarkan dapat dikerjakan oleh domestik, maka alangkah baiknya, jika migrasi tenaga kerja asing tidak dilakukan, dan berusaha memanfaatkan tenaga kerja domestik yang ada.
Selain itu, perlu diadakan test antara tenaga kerja asing terampil dan domestik sebelum jenis pekerjaan diberikan. Siapa tahu, malah hasil test tenaga kerja domestik lebih baik daripada tenaga kerja asing.
ADVERTISEMENT
Hal ini disarankan untuk menjunjung prinsip keadilan dan meminimalkan budaya terlalu ‘kagum’ pada orang asing. Selanjutnya, migrasi tenaga kerja asing disarankan dibuatkan kuota, seperti layaknya penerimaan CPNS. Mengapa demikian, supaya tenaga kerja asing yang masuk dapat terkontrol baik dari segi jumlah maupun kualitas.
Meningkatkan Human Capital
Human Capital atau modal manusia merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki, sebab human capital inilah yang akan menjadi indikator untuk menentukan kualitas seseorang.
Meski di lembaga pendidikan, porsi teori lebih besar, namun para pembelajar harus tanggap dan mandiri untuk menggali dan membekali diri dengan berbagai keterampilan. Prosesnya dapat diperoleh dari luar, seperti kursus, pelatihan, organisasi dan lain sebagainya.
Tak kalah penting di era disrupsi kemampuan bahasa dan teknologi merupakan suatu keharusan yang wajib dimiliki, sebab dengan dua keterampilan ini, generasi muda atau tenaga kerja Indonesia akan lebih mudah beradaptasi dengan perubahan dan bersaing baik di level nasional atau pun internasional.
ADVERTISEMENT
Akhir kata, mendatangkan migran atau tenaga kerja asing memang penting, namun memanfaatkan tenaga kerja pribumi jauh lebih penting.
Referensi
Armansyah, & Aryaningrum, K. (2017). Analisis Karakteristik Demografi Pekerja Wanita Sektor Informal pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN di Kota Palembang. Populasi, 25(1), 52–63. Retrieved from https://jurnal.ugm.ac.id/populasi/article/view/32415/19530
Dociu, M., & Dunarintu, A. (2012). The Socio-Economic Impact of Urbanization. International Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Sciences, 2(1), 47–52. Retrieved from https://www.humanitarianlibrary.org/sites/default/files/2014/06/The Socio-Economic Impact of Urbanization. Dociu Madalina and Dunarintu Anca.pdf