Refleksi Pendidikan

Armansyah
Peneliti dan penulis di Pusat Riset Kependudukan BRIN
Konten dari Pengguna
26 November 2023 17:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Armansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: Kemendikbudristek
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: Kemendikbudristek
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bertepatan dengan semarak Hari Guru Nasional, 25 November 2023. Izinkan saya sedikit berefleksi terkait dunia pendidikan saat ini. Sebelumnya saya disclaimer dulu bahwa argumen ini murni pendapat saya pribadi dan tidak mewakili instansi mana pun.
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang pendidikan saat ini, tidak ada bedanya dengan masa orde lama, orde baru, reformasi, atau bahkan digitalisasi saat ini. Yang berbeda hanya istilah-istilah atau konsep-konsep yang digunakan pada ranah administratif. Tapi nyatanya sama saja pada proses pelaksanaannya.
Cerita dan keluh kesah guru juga masih sama saja, tidak jauh-jauh dari tingkat kesejahteraan dan masa depan yang tidak menentu. Angin segar hanya muncul pada saat-saat tertentu saja, semisal masa kampanye dan sejenisnya. Saya tidak menampik hal-hal kecil yang telah dilakukan, tentu saja itu perlu diapresiasi.
Belum lagi bicara soal pelanggaran, entah dari ranah siswa, guru, dosen, atau sekelas professor pun masalahnya sama saja. Yang berbeda hanya jumlahnya saja yang semakin meningkat. Kriminalitas semakin meningkat, pelecehan semakin meningkat, perundungan semakin meningkat, korupsi semakin meningkat dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Ada lagi yang berbeda, dan ini sering kali kita lihat atau dengar dari celoteh guru-guru di media sosial atau pun dunia nyata. Yakni berhubungan dengan perilaku peserta didik yang katanya lebih susah dididik dan diajar dibandingkan dengan ‘dulu’.
Kita ambil contoh, berdasarkan informasi dari Komisioner KPAI yang dikutip dari artikel berjudul “KPAI: Dunia Pendidikan Indonesia Darurat Kekerasan” yang dipublikasikan pada rejogja.republika.co,id, 09 Oktober 2023, kasus pelanggaran pada perlindungan anak periode Januari s.d Agustus 2023 berjumlah 2.355 kasus dan cenderung naik setiap bulannya.
Sementara itu berdasarkan data Kementerian PPPA yang dikutip dari artikel berjudul “Kemendikbud: Kasus Kekerasan Seksual Paling Banyak di Perguruan Tinggi” yang dipublikasikan oleh news.detik.com, 25 Oktober 2023, selama kurun waktu empat tahun terakhir, jumlah korban kekerasan seksual pada satuan pendidikan cenderung mengalami peningkatan hingga mencapai 21.221 orang pada 2022 dan kasus terbanyak ada di perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Menyikapi fenomena ini dalam buku pertama saya berjudul ‘Menjawab Tantangan Demografi’ dan buku ketujuh saya berjudul “Disrupsi dan Adaptasi Bonus Demografi Menyongsong Indonesia Emas 2045” telah sedikit menyinggung tentang transformasi pendidikan dan apa yang perlu diubah. Maka dari itu, saya ingin pada kesempatan ini menyampaikan intisari dari beberapa point yang saya sampaikan dalam buku karya saya tersebut.

Input

Pertama, input. Input yang saya maksud adalah mengenai seleksi atau rekrutmen calon-calon guru. Berdasarkan observasi dan pengalaman saya saat mengajar pada salah satu kampus yang diprioritaskan untuk calon pendidik. Sebagian besar mahasiswa yang berada pada jurusan pendidikan mengungkapkan bahwa jurusan pendidikan adalah pilihan terakhir mereka karena tidak lulus pada jurusan favorit yang awalnya dipilih, ada yang mengungkapkan bahwa jurusan pendidikan paling mudah, dan ada pula yang mengaku didorong oleh orang tua.
ADVERTISEMENT
Hanya sebagian kecil saja yang mengaku benar-benar memilih jurusan pendidikan atas dasar pilihan sendiri dan minat. Itulah mengapa setelah lulus kuliah, banyak kita jumpai sarjana pendidikan beralih mencari pekerjaan yang tidak memiliki latar belakang pendidikan (mismatch). Meskipun pada jurusan lain juga ada kasus yang sama.
Bayangkan, betapa bahayanya fenomena ini. Generasi muda kita akan dididik oleh orang-orang yang notabene tidak memiliki panggilan hati sebagai pendidik, sehingga wajar saja jika proses dan output yang dihasilkan pun tidak sesuai harapan tujuan pendidikan nasional RI, karena proses pendidikan tidak sampai menyentuh hati peserta didik (karakter).
Oleh karena itu, saya merekomendasikan proses seleksi rekrutmen calon pendidik harus benar-benar professional dan ketat. Calon pendidik harus memiliki kompetensi minimal yang harus dicapai, khususnya pada ranah karakter dan kognitif. Sebab, mereka inilah yang nantinya akan dilihat dan ditiru oleh peserta didik.
ADVERTISEMENT
Proses seleksi calon pendidik harus lebih istimewa daripada jurusan kedokteran, sekolah ikatan dinas atau pun BUMN. Sebab melalui proses seleksi ini lah kita benar-benar akan mencari bibit bobot calon pendidik yang diharapkan menjadi guru bagi generasi muda Indonesia. Tentu saja untuk menciptakan proses ini menjadi ideal maka interelasinya pada tingkat kesejahteraan guru. Inilah rekomendasi yang saya ajukan pada point dua.

Kesejahteraan

Tingkat kesejahteraan guru harus benar-benar diperhatikan sehingga guru betul-betul fokus untuk mendidik muridnya, bukan malah sibuk mencari pekerjaan sampingan untuk menyelamatkan ‘dapur ngebul’. Tolak ukur konsentrasi dan komitmen negara dalam memprioritaskan pendidikan menurut saya sangat terletak pada bagaimana intervensi negara dalam mengupayakan tingkat kesejahteraan guru.
Mudah saja mengukurnya, yakni gaji guru harus lebih tinggi dari pada profesi apa pun, entah itu pegawai BUMN, kementerian, deputi, dan lain sebagainya. Jika ini telah dilaksanakan, maka otomatis saya dapat bicara bahwa negara benar-benar peduli dan memprioritaskan pendidikan. Mengapa demikian?
ADVERTISEMENT
Sebab, tugas guru sangatlah berat. Mereka mendidik generasi muda yang nantinya akan menjadi dokter, polisi, politisi, menteri bahkan presiden. Melalui proses pendidikan yang dilakukan oleh guru diharapkan calon-calon dokter, polisi, dan lain sebagainya ini bukan hanya pintar, cerdas, namun juga berkarakter.
Bagaimana supaya ini bisa terwujud, lagi-lagi jawabannya kembali pada input dan kesejahteraan. Baru lah setelah itu, substansi proses pelaksanaan dalam pembelajaran di sekolah, kampus, pesantren ataupun lembaga pendidikan informal dapat diintervensi lebih jauh, misalkan revisi kurikulum, kebijakan, dan lain sebagainya.
Jangan sampai sudah lah gaji kecil, inputnya tidak jelas, pada proses malah dibebani dengan administrasi yang menumpuk dan tagihan-tagihan lainnya. Biarkan profesi guru menjadi profesi yang istimewa, kalau perlu nanti generasi muda akan berlomba-lomba untuk menjadi guru, dan menjadikan jurusan pendidikan menjadi pilihan nomor satu.
ADVERTISEMENT