Transformasi Pakar Era Disrupsi

Armansyah
Peneliti dan penulis di Pusat Riset Kependudukan BRIN
Konten dari Pengguna
30 Maret 2021 13:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Armansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mindset, Sumber Gambar: John Hain dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Mindset, Sumber Gambar: John Hain dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Ketika kita menyakini bahwa angka 13 itu adalah angka sial, bisa jadi tidak ada satu pun orang, termasuk para pakar atau ahli yang dapat mengubah keyakinan kita.
ADVERTISEMENT
Ketika kita percaya bahwa vaksin untuk anak-anak itu adalah produk liberal tidak baik untuk digunakan, bisa jadi tak satu pun yang dapat mengubah keyakinan kita meskipun telah dijelaskan oleh para dokter atau ulama (Nichols, 2019).
Pernahkah kita mendengar persepsi semacam ini? Jawabannya sering.
Nichols dalam bukunya yang Berjudul “Matinya Kepakaran”, telah membahas secara gamblang tentang fenomena para pakar yang ditinggalkan, meskipun latar belakang ceritanya adalah Amerika, namun relevan dengan kondisi global saat ini, tidak terkecuali Indonesia.
Ketika ada perbedaan pendapat, yang coba diluruskan atau dijelaskan oleh seseorang, maka yang timbul adalah perdebatan dan ngotot-ngotottan.
Itulah fenomena saat ini, di mana para pakar kehilangan power untuk memengaruhi masyarakat.
Umumnya masyarakat akan lebih mudah percaya pada berita yang berseliweran di akun media sosialnya. Entah benar atau tidak, itu urusan belakangan.
ADVERTISEMENT
Jempol akan dengan mudah memberikan like dan share, sehingga dengan cepat pula menjadi viral.
Akses terhadap informasi yang sangat masif, ditambah dengan rasa percaya diri masyarakat untuk mengungkapkan pendapat yang kadang tidak berdasar, atau Nichols (2018) menyebutnya “Rasa Bangga dengan Ketidaktahuan”, semakin membuat masyarakat mengalami penyakit ‘sesat pikir’.
Benar menjadi salah, dan salah menjadi benar. Tak peduli siapa yang menyampaikan, jika itu trending dan viral, maka dikultuskan sebagai sebuah kebenaran.
Kecenderungan masyarakat yang kecanduan dengan media sosial dan sarat dengan hiburan, membuat tujuan konsumsi informasi bukan lagi untuk pengetahuan/pemahaman, melainkan sekadar hiburan.
Masyarakat digital lebih menyukai tampilan tulisan atau vidio pendek dibandingkan tulisan dan vidio dengan durasi yang panjang lebar tentang suatu informasi.
Ilustrasi Era Digital Foto: Glenn Carstens-Peters
Masalahnya?
ADVERTISEMENT
Masalahnya, para pakar belum siap untuk menghadapi disrupsi ini. Seperti yang kita ketahui, umumnya para pakar dalam menjelaskan biasanya detail dan panjang lebar, bahkan kadang membingungkan.
Namun bagi yang sabar untuk mengikuti niscaya akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang mendalam.
Inilah yang menjadi kesenjangan antara pakar dan media digital saat ini. Berbeda dengan para pakar, media informasi digital dapat memberikan informasi dengan lebih menarik, singkat, dan tidak bertele-tele.
Coba kita amati, ketika para pakar menyampaikan sebuah informasi, dengan cepat beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab akan memotong/mengedit informasi yang disampaikan, yang tentunya lengkap dengan bumbu pemikat pembaca.
Jadilah informasi itu menjadi beberapa bagian yang terpotong-potong berdasarkan kebutuhan. Kasus ini tentunya akan menghasilkan banyak tafsir karena cenderung berasal dari informasi yang tidak lengkap.
ADVERTISEMENT
Masalahnya masyarakat digital saat ini sangat malas untuk menelusuri informasi yang didapatkan secara mendalam. Sukanya menerima mentah-mentah, dan bahkan dengan percaya dirinya menafsirkan sendiri apa yang didengar dan dilihat walaupun belum jelas sumbernya.
Apa yang Terjadi?
Jadi wajar saja jika kekacauan informasi dan berita hoaks di masyarakat menyebar dengan cepat. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain, para pakar harus mendisrupsi dirinya sehingga relevan dengan kondisi saat ini.
Salah satu caranya dengan adaptasi, seperti layaknya para tukang ojek pangkalan yang beradaptasi dengan ojek online, surat yang harus mengalah pada email, uang konvensional yang harus beradaptasi dengan e-money.
Maka begitu pun selayaknya para pakar. Tujuannya adalah supaya masyarakat tidak mengalami penyakit ‘sesat pikir’ yang semakin akut.
ADVERTISEMENT
Apa yang Harus Dilakukan?
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa para pakar harus beradaptasi. Bagi para pakar yang termasuk kelompok usia muda mungkin tidak memiliki banyak kesulitan.
Namun para pakar senior yang ilmunya memang sangat mumpuni harus difasilitasi sehingga apa yang mereka miliki dapat dikonsumsi oleh masyarakat sebagai makanan yang sehat untuk otak.
Selama ini, informasi/ilmu yang diberikan oleh para pakar cenderung hanya berputar pada lingkaran lembaga pendidikan semata, seperti kampus atau sekolah. Lewat suatu wadah digital, informasi/ilmu dari para pakar harapannya dapat dikonsumsi oleh masyarakat luas dan menjadi rujukan.
Tentu saja, wadah yang dimaksud adalah wadah yang benar-benar relevan dengan minat masyarakat digital saat ini, seperti berdurasi singkat, menarik, menghibur dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak hanya memenuhi minat masyarakat digital, wadah tersebut juga tetap harus mempertahankan kedalaman informasi. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan rekomendasi link yang dapat ditelusuri secara lebih jauh oleh para pembaca. Artinya para pakar/ahli harus dapat mengintegrasikan ilmu yang dimiliki dengan perkembangan media informasi digital saat ini.
Jangan sampai pengetahuan dan informasi yang didapatkan oleh masyarakat adalah hoaks. Di sinilah perannya para pakar untuk dapat mentransformasi dirinya pada era disrupsi.
Referensi
Nichols, Tom. 2019. Matinya Kepakaran Perlawanan Terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya. Jakarta: KPG.