Konten dari Pengguna

Wira-Wiri: Fenomena Mobilitas Penduduk Jangka Pendek Abad Ini

Armansyah
Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN
15 Januari 2024 15:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Armansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar oleh Rosy / Bad Homburg / Germany dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Gambar oleh Rosy / Bad Homburg / Germany dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Dulu sekitar tahun 1990-an untuk pergi dari desa ke pusat kota atau biasa kami sebut ‘pasar’ memerlukan waktu yang tidak singkat. Saya harus berjalan kaki dari kebun menuju desa, baru setelah itu melanjutkan naik angkot ke pasar, atau sehari sebelumnya saya sudah bermalam terlebih dahulu di rumah saudara, sehingga besok paginya bisa naik angkot ke pasar.
ADVERTISEMENT
Setelah mengeluti ilmu kependudukan barulah saya tau bahwa apa yang saya alami tersebut telah dibahas oleh Zelensky (1971) dan Skeldon (1990) dalam teori transisi mobilitas penduduk dan dikenal dengan istilah ‘mobilitas penduduk jangka pendek’.
Menurut Zelensky (1971) dan Skeldon (1990) mobilitas penduduk jangka pendek biasanya terjadi pada awal pembangunan. Bicara soal pembangunan, saya jadi sedikit bernostalgia ke masa itu, masa di mana belum ada listrik. Setiap rumah harus menyediakan beberapa obor, lampu batok atau lampu petromak sebagai penerang di malam hari.
Saya masih menikmati belajar ditemani lampu batok. Bagi yang tidak mampu membeli, lampu itu dapat dibuat dari kaleng-kaleng bekas yang diisi minyak tanah dan diberi potongan kain sebagai medianya.
ADVERTISEMENT
Mobilitas pada masa itu memang sangat terbatas, jangankan untuk kenal negara lain. Pergi ke desa sebelah saja kami kesusahan, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melakukannya.
Seiring berkembangnya zaman, khususnya bidang informasi dan transportasi. Waktu tempuh menuju pasar tempat saya dulu hanya 10-15 menit menggunakan kendaraan pribadi, karena angkot sudah mulai hilang.
Penduduk di desa saya pun sudah tersebar di mana-mana. Bukan hanya antar kota melainkan antar negara. Desa yang dulu gelap, sekarang telah mengalami proses urbanisasi, menjadi gemerlap, memiliki sarana air minum, saluran gas alam, bahkan tower internet sudah terpancang di desa kami.
Sekarang jarak yang jauh bukan lagi penghalang, saya hanya memerlukan waktu tidak sampai satu jam untuk ke ibu kota provinsi. Padahal dulu perlu waktu kurang lebih 2-3 jam perjalanan.
ADVERTISEMENT
Ya, berkat globalisasi, kita diberikan banyak pilihan. Salah satunya memilih untuk melakukan mobilitas jangka panjang (migrasi) atau melakukan mobilitas jangka pendek. Bahkan fenomena yang muncul saat ini adalah ‘orang bisa ada di mana-mana meskipun tidak ke mana-mana (nowhere but everywhere)’.

Wira-Wiri

Inilah yang disebut Ananta (2021) dalam artikelnya yang berjudul “Prospek Mega-Demografi Menuju Indonesia Emas 2045” sebagai ‘wira-wiri’, yang menurut KBBI, wira-wiri adalah berjalan hilir mudik atau mondar-mandir.
Tidak heran jika kita lihat ada orang yang paginya berangkat ke Jakarta, siang di Bali dan malamnya sudah di Palembang lagi, ini sudah biasa. Bahkan ada yang paginya di luar negeri, sorenya sudah minum teh lagi bersama keluarga di rumah.
Artinya secara praktis kemajuan IPTEK dapat menurunkan arus migrasi namun meningkatkan mobilitas jangka pendek. Oleh karena itu, penting sekali untuk mengkaji fenomena mobilitas jangka pendek ini secara komprehensif, khususnya pada kasus wira-wiri dan sejenisnya.
ADVERTISEMENT
Pada konteks digitalisasi saat ini, wira-wiri menjadi hal yang sangat familiar. Sifatnya juga tidak teratur (unpredictable), karena berbasis kebutuhan. Tidak heran jika tiba-tiba ada jadwal meeting dan sejenisnya yang di luar jadwal rutin kantor.
Bahkan setelah jam kerja pun, tidak jarang kita dihadapkan pada kegiatan-kegiatan online sekadar membahas hal-hal yang sifatnya ringan sampai berat. Menurut saya ini adalah hal yang wajar, karena merupakan konsekuensi dari proses perubahan peradaban.
Point yang ingin saya sampaikan adalah dengan kemajuan IPTEK maka mobilitas penduduk telah bergeser ke arah mobilitas virtual, sehingga kata Ananta (2021) ‘orang tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana’ atau dalam artikel Nowicka (2016) yang berjudul “Cloud Computing in Sustainable Mobility” dikatakan ‘kemampuan untuk beraktivitas tanpa gerak fisik’
ADVERTISEMENT
Dalam artikel Nowicka (2016), mobilitas dikaitkan dengan cloud computing atau komputasi awan. Menurutnya, cloud computing dapat membantu terwujudnya mobilitas berkelanjutan dan mengurangi beban yang dikeluarkan akibat transportasi konvensional.
Sejauh ini menurut Nowicka (2016), ada tujuh alasan fundamental perlunya mobilitas berkelanjutan, yaitu: 1) mengurangi emisi konvensional dari transportasi, sehingga tidak menimbulkan masalah kesehatan masyarakat; 2) membatasi emisi GRK dari transportasi secara berkelanjutan; 3) mengurangi jumlah kematian dan cedera terkait transportasi; 4) mengurangi kebisingan terkait transportasi; 5) mengurangi kemacetan lalu lintas; 6) mengurangi “kesenjangan mobilitas” antara negara kaya dan miskin; dan 7) meningkatkan peluang mobilitas bagi masyarakat umum.
Oleh karena itu, menyikapi fenomena ini negara harus sudah memikirkan bagaimana memfasilitasi terselenggaranya dukungan atas mobilitas virtual yang produktif. Artinya konsep pekerjaan yang selaras dengan mobilitas virtual bukanlah sebuah keniscayaan. Hanya saja perlu diukur secara baik dampak produktivitasnya.
ADVERTISEMENT
Secara aspek sosial emosional, konsep mobilitas virtual ini sangat tepat dijalankan pada dunia kerja. Sebab secara sosial emosional khususnya pada pekerja yang sudah berkeluarga kedekatan dengan keluarga memberikan ruang bertumbuh dan produktif yang lebih besar, meskipun ada pula yang sebaliknya.
Pendapat ini sejalan dengan hasil riset Simarmata (2020) yang berjudul “Pengaruh Work from Home (WFH) terhadap Produktivitas Dosen Politeknik Negeri Ambon”. Menurut hasil penelitiannya variabel bekerja dari rumah secara parsial berpengaruh positif signifikan terhadap produktivitas dosen.
Asumsinya kedekatan dengan keluarga membuat seorang pekerja menjadi lebih produktif dan dapat diandalkan. Meskipun saya juga tidak menampik ada orang-orang yang malah senang bekerja jauh dari keluarga.
Saya pun juga menerima jika ternyata ada pekerja yang justru ketika dekat dengan keluarga malah produktivitasnya menjadi rendah, jelas kasus ini juga ada. Itulah mengapa saya sampaikan sebelumnya bahwa fenomena mobilitas virtual ini harus ada kajian komprehensif.
ADVERTISEMENT
Kasusnya pun tidak dapat diterapkan pada setiap jenis pekerjaan, karena ada pekerjaan yang memang membutuhkan kehadiran penuh pekerjanya atau sebaliknya.
Intinya, fenomena mobilitas penduduk virtual atau wira-wiri ini sedang kita hadapi dan kelihatannya akan semakin masif ke depannya. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia, apalagi di tengah bonus demografi dan harapan menuju Indonesia Emas 2045. Itu artinya harus ada tindakannya yang dilakukan agar fenomena ini menjadi aset potensial bukan malah jadi batu sandungan.