Konten dari Pengguna
Relasi Kelas dalam Tradisi Keagamaan
17 Juli 2025 8:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
Kiriman Pengguna
Relasi Kelas dalam Tradisi Keagamaan
Kesadaran palsu menggambarkan kondisi di mana masyarakat kelas pekerja (proletariat) tanpa sadar menerima tatanan sosial kapitalis yang pada dasarnya mengeksploitasi mereka. Yusran
Tulisan dari Yusran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam perbincangan sosiologi, kita kerap menemukan istilah kesadaran palsu, terutama di kalangan pemikir Marxis. Istilah ini pertama kali muncul dalam surat Friedrich Engels kepada Franz Mehring pada tahun 1893. Kesadaran palsu menggambarkan kondisi di mana masyarakat kelas pekerja (proletariat) tanpa sadar menerima tatanan sosial kapitalis yang pada dasarnya mengeksploitasi mereka. Dengan kata lain, mereka diyakinkan melalui ideologi, institusi, atau kebiasaan sehari-hari bahwa keadaan yang tidak adil itu wajar, padahal kenyataannya penuh intrik kepentingan ekonomi kelas atas.
ADVERTISEMENT
Namun, dinamika sosial tak hanya soal konflik kelas. Dalam banyak masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia, agama memegang peran yang jauh lebih kompleks dan penting. Agama bukan sekadar keyakinan spiritual, melainkan unsur yang merajut semua aspek kehidupan sosial. Identitas agama sering kali menyatu dengan identitas sosial, sehingga apa pun yang dilakukan seseorang dalam bidang ekonomi pun kerap dinilai melalui kacamata agama. Itulah sebabnya, dalam praktik sehari-hari, status ekonomi seseorang tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan bagaimana aktivitas ekonominya mendukung atau mencerminkan nilai-nilai agama.
Di banyak kota besar, aktivitas ekonomi masyarakat juga sering terhubung dengan perayaan agama. Misalnya, industri katering dan usaha percetakan souvenir yang mengalami lonjakan pesanan menjelang perayaan Maulid Nabi, Idul Fitri, atau acara selamatan tertentu. Orang-orang yang bekerja sebagai juru masak, pemilik usaha tenda, dekorasi, hingga pekerja lepas yang membantu persiapan acara, secara tidak langsung mengaitkan kegiatan ekonominya dengan identitas agama dan sosial masyarakat perkotaan.
ADVERTISEMENT
Pesanan kue kering, parcel lebaran, dan spanduk ucapan selamat menjadi bagian dari upaya simbolik untuk menunjukkan keberhasilan ekonomi keluarga sekaligus pengamalan nilai agama. Bahkan, beberapa keluarga sengaja menyiapkan dana khusus agar bisa berbagi lebih banyak di acara keagamaan, karena tindakan itu meningkatkan status sosial mereka di mata tetangga dan komunitas masjid.
Menariknya, di tengah pembahasan tentang potensi eksploitasi antarkelas sosial, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kesamaan tujuan bisa meredam konflik kelas. Ketika berbagai strata sosial memiliki kepentingan bersama misalnya keberhasilan acara keislaman menjadikan hubungan mereka tidak didominasi logika saling menindas. Sebaliknya, acara-acara keagamaan tersebut menjadi simbol identitas ideal, semacam ruang bersama yang mengokohkan solidaritas sosial. Inilah yang membedakan relasi masyarakat berbasis kepentingan kolektif dengan relasi kapitalistik murni.
ADVERTISEMENT
Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa agama, ekonomi, dan struktur sosial bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Mereka saling berjalin dalam proses panjang pembentukan makna, identitas, dan tujuan hidup bersama. Yang terpenting adalah keberanian untuk menggali makna yang lebih tinggi bahwa aktivitas ekonomi dan tradisi keagamaan tidak hanya menjadi pengulangan rutinitas, melainkan menjadi fondasi bagi transformasi sosial yang lebih adil dan berdaya.

