Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Quo Vadis Penanganan Kasus Basarnas: Kegaduhan yang Tidak Perlu Terjadi
7 Agustus 2023 9:04 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Mario W Sutantoputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan kasus korupsi lain yang melibatkan anggota TNI yang pernah ditangani KPK sebelumnya yang bukan merupakan OTT, kasus Basarnas merupakan kasus OTT berupa penyuapan yang melibatkan pihak swasta dan penyelenggara negara yang kebetulan merupakan anggota TNI (detiknews, 25/7/2023).
ADVERTISEMENT
Anggota TNI yang menempati jabatan sipil tersebut memenuhi kriteria sebagai penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
KPK secara institusi tentunya memiliki kewenangan berdasarkan Pasal 42 UU KPK untuk mengkoordinasikan penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Namun demikian, tidak dimungkinkan bagi penyidik KPK untuk melakukan penangkapan dan penahanan anggota TNI.
Dalam kasus tertangkap tangan tentunya yang dilakukan KPK adalah mengamankan ‘calon tersangka’ berikut barang bukti untuk dibawa Ke gedung KPK. Seyogyanya ketika diketahui bahwa terdapat ‘calon tersangka’ yang merupakan anggota TNI, maka perlu segera menghubungi pihak Puspom TNI.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diketahui setelah ‘calon tersangka’ diamankan tentunya dalam jangka waktu 1 x 24 jam harus segera ditetapkan status dari ‘calon tersangka’ tersebut menjadi tersangka atau tidak mengingat jika tidak maka yang bersangkutan sudah harus ‘dilepaskan’.
Kegaduhan tidak akan timbul apabila KPK berkoordinasi terkait peristiwa tertangkap tangan tersebut dan menyerahkan calon tersangka kepada Puspom TNI untuk selanjutnya ditetapkan sebagai tersangka.
Hal mana perlu dilakukan mengingat kewenangan melakukan penyidikan bagi anggota TNI antara lain oleh Polisi Militer diatur secara tegas dalam Pasal 69 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer.
Kompetensi Peradilan Militer
Sejak kasus Basarnas mencuat maka terdapat pandangan dari LSM dan masyarakat bahwa anggota TNI tersebut lebih tepat dibawa ke peradilan umum atas dasar Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang intinya TNI tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal melanggar pidana umum.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, ketentuan tersebut menurut hemat penulis belum dapat diberlakukan mengingat Pasal 74 UU No. 34 Tahun 2004 menyatakan ketentuan Pasal 65 tersebut baru berlaku pada saat telah terdapat UU Peradilan Militer yang baru dan selama UU Peradilan Militer yang baru belum dibentuk maka masih tetap tunduk pada UU No. 31 Tahun 1997.
Dengan demikian, militer tidak mungkin diadili oleh peradilan umum kecuali dalam peradilan koneksitas setelah memenuhi persyaratan yang ada.
Opsi Penanganan Perkara
Terkait dengan kasus dugaan korupsi pada Basarnas maka terdapat 2 (dua) opsi penanganan perkara tersebut yaitu pertama, dilakukan penanganan perkara secara koneksitas.
Adapun dasar hukum mengenai peradilan koneksitas tersebut dapat ditemukan pada Pasal 16 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
ADVERTISEMENT
Ketentuan tersebut berlaku berdasarkan asas Lex posterior derogate lege priori. Substansi yang sama juga tercantum dalam ketentuan sebelumnya yakni pada Pasal 89 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, namun demikian bedanya adalah dalam keadaan tertentu dapat diperiksa dan diadili oleh dalam lingkungan peradilan militer berdasarkan persetujuan Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman.
Demikian pula terkait dengan proses penyidikan terhadap anggota TNI berdasarkan Pasal 198 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer harus dilakukan oleh tim tetap yang terdiri dari Polisi Militer, Oditur dan penyidik dalam lingkungan peradilan umum, tim mana dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan, Jaksa Agung dan Panglima TNI (No. 2196, 240, 1135) Tahun 2021 tentang Pembentukan Tim Tetap Untuk Penyidikan Perkara Koneksitas (SKB mana menggantikan SKB Menhankam dan Menkeh Tahun 1983 tentang Pembentukan Tim Tetap Untuk Penyidikan Perkara Pidana Koneksitas).
ADVERTISEMENT
Dalam SKB tersebut disebutkan bahwa tim tetap terdiri dari Polisi Militer, Oditur, penyidik dan jaksa. Meskipun terdapat cukup banyak perkara koneksitas, sebagaimana disampaikan dalam paparan Tenaga Ahli Jaksa Agung dalam Seminar Nasional terkait perkara Koneksitas pada tanggal 11 Mei 2023 yang lalu, di mana dari data perkara Otjen TNI Tahun 2015 s/d 2019 terdapat sebanyak 12.019 perkara di mana kurang lebih 23% (dua puluh tiga persennya) adalah pidana koneksitas, namun dalam praktik penyelesaian perkara dipisah di masing-masing lingkungan peradilan atau satu pihak saja yang diproses.
Namun dalam perkembangannya setelah adanya Jampidmil telah terdapat dua perkara tipikor yang ditangani oleh penyidik dari lingkungan peradilan umum Jaksa/Jampidmil yaitu perkara tipikor tabungan wajib perumahan AD yang disidangkan dalam lingkungan peradilan militer yakni Dilmilti II Jakarta pada tahun 2022 dan telah diputus dengan Putusan Nomor 21-K/PMT.II/AD/II/2022 pada tanggal 31 Januari 2023 serta perkara pengadaan Satelit Kemhan yang disidangkan dalam lingkungan peradilan umum yakni pada Pengadilan Tipikor Jakarta Tahun 2023, yang terdaftar dengan No. 19/Pid.Sus-TPK/2023/PN.Jkt.Pst dan telah diputus pada tanggal 17 Juli 2023 yang lalu.
ADVERTISEMENT
Meskipun bukan ditangani oleh KPK, namun dengan adanya ‘fasilitasi’ dari Jampidmil sesuai kewenangannya berdasarkan Perpres No. 15 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia maka proses peradilan koneksitas tersebut dapat berjalan dengan baik.
Hal mana merupakan implikasi dari revisi UU Kejaksaan dengan UU No 11 Tahun 2021, pada pasal 35 ayat (g), yang intinya bahwa Jaksa Agung mengkoordinasikan, mengendalikan penyelidikan, penyidikan, penuntutan tindak pidana yang dilakukan bersama oleh pihak yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.
Kedua, dilakukan penanganan perkara secara terpisah (splitsing) di mana perkara korupsi yang melibatkan sipil tetap diadili oleh pengadilan dalam lingkup peradilan umum sedangkan perkara korupsi yang melibatkan anggota TNI ditangani oleh peradilan militer.
ADVERTISEMENT
Hal mana sudah pernah terjadi sebelumnya yaitu kasus korupsi pengadaan Alutsista di Kementerian Pertahanan (Kemhan) dengan Putusan Dilmilti II Jakarta No. 23-K/PMT-II/AD/VII/2016 tanggal 30 November 2016 Jo. Putusan Dilmiltama No.30-K/PMU/BDG/AD/XII/2016 tanggal 4 Mei 2017 Jo. Putusan Mahkamah Agung No. 363 K/MIL/2017 tanggal 20 September 2017 Jo.
Putusan Peninjauan Kembali No. 11 PK/Mil/2020, dan kasus Bakamla dengan Putusan Dilmilti II Jakarta No. 21-K/PMT-II/AL/VIII/2017 tanggal 20 Desember 2017 Jo. Putusan Dilmiltama No. 21-K/PMU/BDG/AL/XII/2017 tanggal 23 Maret 2018.
Preseden tersebut menegaskan bahwa peradilan militer berhak mengadili perkara tipikor juga sepanjang subjek hukumnya adalah anggota TNI. Bahkan dari preseden yang ada tersebut pengadilan militer telah menjatuhkan hukuman pidana seumur hidup berikut sanksi pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer terhadap seorang Brigjen.
ADVERTISEMENT
Terhadap opsi penanganan tersebut masing-masing mempunyai permasalahan sendiri sebagai contoh: dalam perkara koneksitas terdapat isu mengenai kewenangan peradilan umum dalam menjatuhkan hukuman berupa sanksi pidana tambahan pemecatan dari dinas militer.
Demikian pula apabila dilakukan penanganan perkara secara terpisah (splitsing) dimungkinkan menerapkan saksi mahkota yang akan memberatkan posisi yang bersangkutan ketika diperiksa sebagai terdakwa dan juga terdapat potensi adanya disparitas putusan.
Namun dari pilihan opsi tersebut, penulis berpendapat bahwa lebih tepat apabila penanganan perkara tersebut dilakukan secara splitsing, mengingat akan lebih efektif penanganannya bagi tersangka dari militer mengingat peradilan militer berwenang menjatuhkan sanksi pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer. Terlebih dari 2 (dua) preseden perkara yang ada, independensi hakim militer tidak diragukan lagi dalam menjatuhkan putusan pidana.
ADVERTISEMENT