Konten dari Pengguna

Ketahanan Pangan dan Tantangan Proyek Food Estate di Indonesia

M Tabina Zachary
Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
7 Oktober 2024 13:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Tabina Zachary tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
AI Generated
zoom-in-whitePerbesar
AI Generated
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketahanan pangan adalah salah satu tantangan utama yang dihadapi Indonesia saat ini. Sebagai negara agraris dengan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia seharusnya mampu memenuhi kebutuhan pangan nasionalnya secara mandiri. Namun, ketergantungan yang masih tinggi terhadap impor pangan menjadikan ketahanan pangan Indonesia rentan, terutama ketika krisis global seperti invasi Rusia ke Ukraina mengganggu stabilitas pasokan pangan internasional. Ketergantungan pada impor komoditas seperti beras, gula, jagung, dan gandum memperparah kerentanan ini, terlebih ketika harga pangan di pasar internasional melonjak.
ADVERTISEMENT
Berbagai tantangan domestik juga turut memperburuk situasi ketahanan pangan Indonesia. Pertumbuhan populasi yang pesat, alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan perumahan, serta perubahan iklim yang mengganggu musim tanam dan panen semakin memperparah masalah. Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah memperkenalkan program food estate, sebuah inisiatif strategis yang bertujuan meningkatkan produksi pangan lokal dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Proyek food estate telah menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional yang digagas oleh Presiden Joko Widodo, dengan fokus awal di Kalimantan Tengah. Program ini menargetkan pembukaan lahan pertanian baru di Kabupaten Gunung Mas, di mana sekitar 44.135 hektare lahan dijadikan perkebunan singkong. Program ini bertujuan meningkatkan produksi pangan nasional dan menjadi solusi atas ketahanan pangan jangka panjang. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan berbagai tantangan baru yang justru muncul akibat proyek ini.
ADVERTISEMENT
Proyek food estate di Kalimantan Tengah, alih-alih menjadi solusi jangka panjang untuk ketahanan pangan, telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu faktor yang membuat proyek food estate di Kalimantan Tengah dinilai gagal adalah karakteristik tanah yang tidak cocok untuk pertanian skala besar. Lahan yang dipilih untuk proyek ini ternyata memiliki tanah berpasir, yang tidak ideal untuk perkebunan singkong. Tanah berpasir tidak dapat mempertahankan nutrisi dan air dengan baik, sehingga tanaman singkong sulit tumbuh dengan optimal. Hal ini menandakan bahwa proyek ini dimulai tanpa adanya analisis lingkungan yang memadai. Kurangnya kajian mendalam tentang kesesuaian lahan membuat proyek ini tidak efektif dalam mencapai tujuannya.
Selain itu, kegagalan ini mengakibatkan kerugian besar, baik secara ekonomi maupun ekologi. Pemerintah telah menginvestasikan dana besar dalam proyek ini, namun hasilnya jauh dari harapan. Deforestasi besar-besaran dilakukan untuk membuka lahan, yang justru menambah masalah baru seperti banjir di enam desa sekitar akibat hilangnya kawasan hutan yang berfungsi sebagai penyangga air. Masyarakat lokal yang bergantung pada hutan untuk mata pencaharian juga terdampak langsung, kehilangan sumber pendapatan dan akses terhadap sumber daya alam.
ADVERTISEMENT
Deforestasi ini juga memperparah kondisi emisi karbon nasional, yang ironisnya bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi sebagai bagian dari upaya global mengatasi perubahan iklim. Ini menjadi tantangan serius karena ketahanan pangan seharusnya tidak hanya berbicara tentang ketersediaan pangan, tetapi juga harus mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan yang menopang produksi pangan itu sendiri.
Selain Kalimantan, pemerintah juga berencana memperluas program food estate ke Papua, dengan target pembukaan satu juta hektar sawah dan satu juta hektar kebun tebu. Langkah ini diharapkan dapat mendukung ketahanan pangan serta kebutuhan industri gula dan bioetanol. Namun, seperti halnya di Kalimantan, proyek di Papua ini juga menimbulkan kekhawatiran besar. Pembukaan lahan yang begitu masif di Papua berisiko merusak ekosistem hutan tropis dan mengancam kelestarian lingkungan. Tidak hanya itu, proyek ini dapat menggusur masyarakat adat yang bergantung pada hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, memicu ketidakadilan sosial yang mendalam.
ADVERTISEMENT
Melihat kegagalan proyek food estate di Kalimantan Tengah, pemerintah perlu melakukan evaluasi mendalam terhadap program ini. Alih-alih berfokus pada pembukaan lahan baru yang tidak terencana, penting untuk mempertimbangkan pendekatan lain yang lebih berkelanjutan dan sesuai dengan kondisi alam setempat. Tanpa kajian lingkungan yang memadai, risiko kegagalan akan terus membayangi proyek-proyek besar seperti ini.
Bagi saya, program Food Estate mungkin punya potensi, tetapi pelaksanaannya yang terburu-buru dan kurang matang telah menimbulkan lebih banyak masalah. Pemerintah perlu lebih serius mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial dari proyek ini, serta memastikan keterlibatan penuh masyarakat lokal dan para ahli di bidang lingkungan. Ketahanan pangan tidak hanya soal produksi pangan yang berlimpah, tetapi juga soal bagaimana kita menjaga keseimbangan antara kebutuhan pangan dan kelestarian alam.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, saya percaya bahwa ketahanan pangan yang berkelanjutan hanya bisa tercapai jika kita mengambil langkah yang bijaksana dan bertanggung jawab. Program Food Estate, dalam bentuknya saat ini, belum mencapai hal itu. Kita butuh kebijakan yang lebih matang, transparan, dan berorientasi pada keberlanjutan agar Indonesia benar-benar bisa mandiri dalam hal pangan, tanpa harus merusak apa yang tersisa dari kekayaan alam kita.