Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengenang Pak Amal: Keteguhan Pemimpin UGM di Tengah Gelombang Reformasi 1998
15 November 2024 15:47 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari M Thoriq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 11 Maret 1988, Sidang Umum MPR yang berlangsung di Senayan mencapai puncaknya ketika seluruh anggota MPR berdiri dan memberikan tepuk tangan meriah. Pimpinan sidang secara resmi mengesahkan Soeharto sebagai presiden untuk periode 1998-2003. Namun, di luar gedung, suasana berbanding terbalik. Mahasiswa di berbagai kota serentak menunjukkan aksi penolakan terhadap kepemimpinan Soeharto.
ADVERTISEMENT
Gelombang perlawanan mahasiswa ini terus membesar dari hari ke hari. Di Yogyakarta, gerakan mahasiswa sudah lama menyuarakan kritik terhadap Soeharto sejak akhir 1980-an. Pengangkatan kembali Soeharto ibarat siraman bensin ke api perlawanan yang sudah menyala.
Demonstrasi menjadi pemandangan sehari-hari, dan salah satu titik favorit aksi mahasiswa adalah di Bundaran UGM. Ketegangan pun memuncak ketika bentrokan antara mahasiswa dan aparat terjadi. Dalam kejadian itu, mahasiswa melawan dengan melempari aparat menggunakan benda-benda yang ada di sekitar mereka. Sebagai respons, aparat menembakkan gas air mata, mengejar mahasiswa hingga masuk ke area kampus, serta melakukan pemukulan dan penangkapan.
Akibatnya, puluhan mahasiswa ditangkap dan dibawa ke Markas Polda DIY yang terletak di wilayah Ring Road Utara. Aksi dan penindasan ini menjadi bagian dari rangkaian panjang perjuangan mahasiswa dalam menentang rezim Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Pada malam setelah bentrokan mahasiswa dengan aparat, dua wartawan dari majalah Gatra dan Harian Solopos, yang juga alumni UGM, mendatangi rumah Amien Rais, Dosen Fisipol UGM sekaligus tokoh reformasi yang tengah menjadi pusat perhatian. Saat dipersilakan masuk, mereka mendapati Amien Rais—atau Pak Amien, sebagaimana ia biasa dipanggil—sedang berbicara di telepon dengan nada tegas.
Ternyata, lawan bicaranya adalah Dr. Ichlasul Amal, Rektor UGM periode 1988-2002, sekaligus kolega Amien Rais di Jurusan Hubungan Internasional, Fisipol. Entah apa yang disampaikan Pak Amal dalam percakapan tersebut, yang jelas keesokan harinya, sejumlah mahasiswa yang ditangkap akhirnya dibebaskan.
Sikap yang diambil Pak Amal ini mencerminkan keberpihakannya kepada mahasiswa, meski harus menghadapi risiko dari pihak penguasa. Hal ini kontras dengan rektor salah satu perguruan tinggi negeri di Solo—yang juga alumni UGM—yang justru melarang mahasiswanya berdemonstrasi dan mengancam dengan sanksi. Namun, sikap represif rektor tersebut tidak menyurutkan semangat perlawanan mahasiswa di Solo, yang tetap meluas seperti di Jogja.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi penuh tekanan seperti ini, seorang rektor dinilai dari keberaniannya menyikapi aksi mahasiswa. Apakah memilih membungkam mahasiswa demi mengamankan posisinya, atau mendukung aspirasi mereka sembari menghadapi risiko dari penguasa. Pak Amal memilih opsi kedua: membiarkan mahasiswanya menyuarakan aspirasi dan membela mereka ketika ditangkap aparat.
Pilihan itu membuat Pak Amal semakin dihormati dan populer di kalangan mahasiswa, sebagai sosok rektor yang berpihak pada kebebasan berpendapat dan keadilan.
Situasi semakin memanas. Aksi menuntut reformasi yang awalnya didominasi mahasiswa kini juga melibatkan dosen. Lokasi aksi pun berpindah dari Bundaran UGM ke Balairung Rektorat, dengan Amien Rais sebagai orator utama. Di titik ini, Dr. Ichlasul Amal, yang semula hanya dikenal sebagai rektor yang melindungi mahasiswanya, mengambil langkah lebih jauh dengan mengizinkan Balairung, kantornya sendiri, digunakan sebagai pusat aksi.
ADVERTISEMENT
Peran Pak Amal terus berkembang. Tak hanya memberikan dukungan moral, ia juga ikut terlibat dalam aksi besar yang digelar di depan Gedung Graha Sabha Pramana UGM. Aksi ini melibatkan ribuan mahasiswa, dosen, dan pegawai yang bersatu menyuarakan tuntutan agar Soeharto mundur dari jabatannya. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang juga alumni UGM, hadir bersama permaisurinya, Ratu Hemas, untuk mendukung gerakan ini.
Sebagai tuan rumah, Pak Amal berdiri di barisan depan. Ia mengenakan ikat kepala bertuliskan "Reformasi," pemberian mahasiswa, dan bergantian berorasi dengan Sri Sultan HB X yang didampingi Ratu Hemas. Momen ini menjadi simbol metamorfosis Pak Amal dari sekadar rektor yang memberikan kebebasan kepada mahasiswanya untuk berdemo, menjadi tokoh kunci dan orator dalam aksi massa terbesar dalam sejarah UGM.
ADVERTISEMENT
Puncak dari gerakan ini terjadi pada 20 Mei 1998 dalam hajatan besar bertajuk “Pisowanan Ageng”. Ratusan ribu rakyat dari berbagai lapisan masyarakat berbondong-bondong menuju Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta. Di sana, mereka mendengarkan pidato Sri Sultan HB X yang secara tegas meminta Soeharto mundur.
Hanya berselang sehari, pada 21 Mei 1998, Soeharto akhirnya menyatakan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI, menandai akhir dari rezim Orde Baru.
Dr. Ichlasul Amal, yang lebih dikenal sebagai ilmuwan politik lulusan Monash University, Melbourne, Australia, memiliki gaya kepemimpinan yang kalem dan low profile. Berbeda dengan Koesnadi Hardjasoemantri, rektor legendaris UGM periode 1986-1992, yang dikenal lebih high profile dan penuh semangat. Pak Koes sering mengeluarkan umpatan khas seperti “Sompret!” saat memarahi mahasiswa, namun tetap disayangi karena sikapnya yang mendukung aspirasi mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Pak Amal menghadapi tantangan jauh lebih besar ketika memimpin UGM pada masa krisis 1998. Gaya kepemimpinannya yang tenang dan cenderung membiarkan mahasiswa mengekspresikan aspirasinya terbukti menjadi strategi yang tepat. Ia tidak hanya melindungi mahasiswa yang ditangkap, tetapi juga mengizinkan Balairung digunakan sebagai tempat aksi. Bahkan, ia ikut berorasi di aksi massa terbesar di UGM yang melibatkan ribuan mahasiswa, dosen, pegawai, dan tokoh penting seperti Sri Sultan HB X.
Di masa itu, memimpin perguruan tinggi di bawah rezim otoriter bukan perkara mudah. Banyak rektor memilih menjadi kepanjangan tangan penguasa demi menjaga kariernya, meskipun harus kehilangan dukungan mahasiswa. Sebaliknya, Pak Amal dan pendahulunya, Pak Koes, mengambil jalan berbeda: membiarkan mahasiswa menyuarakan aspirasi, tetapi tetap menjaga ketertiban agar tidak menimbulkan masalah dengan pemerintah. Sikap ini membuat keduanya sangat dihormati di mata mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Setelah mengakhiri masa jabatan rektor pada 2002, Pak Amal melanjutkan kiprahnya sebagai Ketua Dewan Pers periode 2003-2010, mengawasi pers yang baru memperoleh kebebasan pasca-Orde Baru. Di masa pensiun sebagai ASN, ia tetap aktif mengajar, berbicara di berbagai forum, dan menghadiri reuni.
Pada 7 Juni 2014, Pak Amal menghadiri reuni pegiat Mushola Fisipol bersama sahabatnya, Dr. Mohtar Masoed. Dalam suasana akrab, ia dengan senyum khasnya menyapa dan berbincang dengan rekan-rekan lamanya. Pertemuan terakhir penulis dengannya terjadi pada 2 Desember 2023, saat pemakaman dosen yuniornya, Riza Noer Arfani, di Makam UGM Sawitsari. Meski sudah sulit bicara, senyumnya tetap mengembang.