Kurir JNE, Pejuang Amanah yang Rela Menembus Badai dan Terjalnya Perbukitan

Muallifah
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
9 Maret 2023 17:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muallifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kurir JNE. Foto by Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Kurir JNE. Foto by Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Cuaca siang itu kurang bersahabat dengan pak Rahmat, seorang kurir JNE yang sering mengantarkan paketan ke dusun terpencil di atas perbukitan Perigi.
ADVERTISEMENT
Dia mengendarai motor Honda Karisma 125X yang rilis 2004, berwarna hitam-silver yang sudah lecet sana-sini.
Kecepatan motor itu cukup lambat, 30 km/jam karena muatan barang yang sangat banyak serta mesin motor yang juga sudah tua.
Hari itu, tepatnya satu tahun yang lalu, sebelum aku berangkat untuk melanjutkan studi di Jakarta, pak Rahmat harus mengantarkan semua paketnya ke rumah-rumah pemesan sesuai alamat yang tertera, termasuk ke rumahku, tetapi hujan terus mengguyur tanpa henti sejak pukul, 08.45 WIB.
Siang itu, langit terus menurunkan hujannya dengan deras, petir menyambar dimana-mana, bunyinya hampir memekakkan telinga sehingga membuat anak-anak takut untuk sekedar bermain hujan di teras rumah mereka.
Namun ketika itu, pak Rahmat terus menyisir setiap alamat untuk mengantarkan barang-barang sebagai bentuk tanggung jawab atas tugasnya.
ADVERTISEMENT
Di siang hari yang tidak cerah itu, saya tengah menunggu paketan dengan estimasi hari itu, notifikasi pada aplikasinya sudah menginformasikan bahwa kurir sedang menuju alamat tujuan sejak pukul, 10.00 WIB. tetapi sampai dzuhur pun dia belum juga tiba.
“Mungkin ditunda besok ya pengirimannya karena hujan?” ucapku dalam hati.
“Gemar sekali kau lukis bintang untukku…”
Lamunanku buyar seketika mendengar bunyi nada dering dari handphone ku, akhirnya aku segera mengambilnya di atas nakas, di samping ranjang tempat tidurku.
Aku melihat nomor tak dikenal sedang memanggil, aku agak ragu untuk mengangkatnya, akhirnya mati.
Namun, beberapa detik kemudian dia berdering lagi, dan aku berubah pikiran, segera mengangkatnya karena aku khawatir, itu telpon dari abang kurir yang mau menginformasikan bahwa paketku tidak bisa diantar hari ini.
ADVERTISEMENT
Tidak mungkin kurir JNE mengantarkan sesuai estimasi hari ini karena hujan masih terlalu deras untuk ditembus dan jalanan menuju rumahku cukup berkabut, terjal, dan licin.
“Mungkin bang kurir ya? Atau takutnya penting, aku angkat saja deh,” aku berbicara kepada diriku sendiri.
“Halo, assalamualaikum,” ucapku dengan suara yang cukup tinggi karena khawatir orang yang diseberang sana tidak mendengarkan suaraku.
“Wa’alaikumussalam, neng ada paket, saya sudah ada di depan rumah, segera ya neng soalnya hujan,” ujar seseorang melalui saluran telepon seluler dengan suaranya yang serak. Dia adalah bang kurir yang aku tunggu.
“Baik pak,” jawabku, lalu segera mematikan hp dan bergegas keluar dari kamar.
Hujan di luar sana masih tetap mengguyur deras, petir menyambar serta ditambah angin yang bertiup sangat kencang, membuat pohon-pohon meliyak-liyuk mengikuti arah tiupannya, dan beberapa sudah ada yang tumbang.
ADVERTISEMENT
Akupun segera mencari payung untuk mengambil paket dari kurir JNE itu, tetapi di tengah-tengah mencari payung tiba-tiba pikiranku terbayang ke tempat bapak kurir itu berada.
Tiba-tiba tergambar di dalam pikiranku, perjuangan seorang kurir JNE untuk sampai di alamat rumahku dengan kondisi cuaca yang tidak bersahabat.
Bagaimana dia bisa sampai ke alamat rumahku, sedangkan di luar sana hujan begitu deras, disertai angin ribut, dan petir yang bersaut-sautan?
Belum lagi dengan tanjakan terjal yang berbatu dan licin, jika pengendara bermotor tidak berhati-hati maka kemungkinan besar ban motornya akan mudah terpeleset.
Lalu dia terjatuh bahkan bisa saja tabrakan dengan pengendara lain karena asap kabut yang tebal. Mengingat, rumahku berada di puncak bukit, Dusun Perigi, Sumenep Madura.
ADVERTISEMENT
Terbayang hal itu, akupun segera menyabet payung yang menggantung di belakang pintu kamarku.
Tidak lupa, aku juga membawa beberapa lembar uang untuk diberikan khusus kepada bapak kurir JNE tersebut sebagai tips serta untuk membayar paket yang sudah aku pesan melalui metode pembayaran cash on delivery (COD).
Namun, ketika aku hendak keluar pintu rumah, tiba-tiba petir menyambar dan angin bertiup sangat kencang, menarik paksa payungku yang sudah aku pegang erat-erat.
Tiupan kuat angin siang itu hampir membuat payungku terbang, terlepas dari peganganku, dan sekuat tenaga aku berusaha untuk menahannya.
Sementara itu, handphone ku terus berdering, kemungkinan itu panggilan kurir JNE yang sudah cukup lama menungguku.
Namun, aku tidak bisa mengangkatnya karena kedua tanganku menahan payung yang ditarik paksa oleh angin.
ADVERTISEMENT
Lalu aku terus berjalan menembus derasnya hujan dan hantaman angin, tidak peduli dengan dingin yang menggigit kulitku karena ini belum sebanding dengan perjuangan kurir itu.
Aku mempercepat langkahku walaupun kakiku sulit melangkah karena angin yang sangat kencang dan menarik-narik payungku.
Dari kejauhan, aku melihat seorang laki-laki paruh baya tengah berdiri dengan sebuah paket di tangannya, dia bersandar ke tembok di samping pintu rumahku.
Aku sangat familiar dengan wajahnya karena dia sudah mengantarkan barang pesananku untuk yang kesekian kalinya.
Seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahun itu berdiri menggigil walaupun dia sudah mengenakan jaket yang dibaluti jas hujan warna hijau.
Aku mengenal baik jaket nya, dia mengenakannya beberapa minggu yang lalu, jaket berwarna army yang sudah memudar.
ADVERTISEMENT
Lalu aku segera menghampirinya, tetapi tidak langsung mengambil barang pesanan yang dibawanya untukku, aku menawarkan secangkir teh jahe hangat untuknya karena bibir pak Rahmat tampak mulai membiru.
“Assalamu’alaikum pak, terimakasih sebelumnya karena sudah rela-relain kehujanan untuk mengantarkan paket saya, kalau begitu mampir dulu ya pak, biar saya buatkan teh jahe, “ tawarku, dengan volume suara yang sedikit aku naikkan karena hujan masih terus bersaut-sautan, dia meredam suara ku yang lembut. “Sambil menunggu hujan reda ya pak, baru setelah itu bapak bisa melanjutkan untuk mengantarkan semua barang-barang paketan ini.”
“Eh, terimakasih banyak neng atas tawarannya, tapi saya harus segera menyelesaikan pekerjaan ini supaya bisa segera pulang, sudah sore neng,” jawab pak Rahmat dengan senyum penuh keramahan. “Mungkin di lain waktu saja ya, ini paketannya,” lanjut pak Rahmat, segera memberikan paketan yang sudah sedari tadi dia pegang.
ADVERTISEMENT
“Iya pak, tidak apa-apa, sekali lagi terimakasih banyak pak, sudah rela-relain mengantarkan barang saya, padahal meskipun gak hari ini gak apa-apa kok pak,” ujarku yang sebenarnya ingin sekali membuatkan teh jahe untuknya.
“Iya tidak apa-apa neng, ini sudah menjadi tugas saya, ya sudah saya pamit neng,” kata pak Rahmat sambil menyunggingkan senyum walaupun bibirnya sudah mulai gemetar, lalu dia pergi dengan berlari-lari kecil menembus hujan.
Aku merasa kerdil saat melihat perjuangannya karena aku masih belum mampu menjadi manusia yang bersyukur dengan sepenuhnya kepada Tuhan dengan pekerjaan yang tidak perlu menembus hujan kala musim dingin dan berjalan di bawah terik matahari kala musim panas.
Ada rasa iri dan bangga yang terselubung di lubuk hati ini. Rasa iri karena belum bisa menjadi manusia yang bersyukur seperti pak Rahmat dan rasa bangga kepadanya, seorang kurir yang berjuang mencari nafkah hingga menembus badai hujan demi tersampainya amanah.
ADVERTISEMENT
Kemudian seketika itu, aku jadi teringat pesan salah satu guruku ketika aku masih duduk di bangku SMA, “profesi seseorang bisa kita beli tetapi nilai atau etika tidak dapat kita hargai dengan apapun.”
Bapak Rahmat, si kurir JNE adalah sosok teladan bagiku, pejuang amanah, dan gigih dalam bekerja dalam kondisi apapun.
Dia memiliki value disiplin dan amanah yang tinggi dengan mengantarkan barang-barang paketan tepat waktu walaupun kondisinya kurang kondusif.