Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ketika Perpustakaan di Kampus Saya Mulai Sepi: Masihkah Kita Butuh Buku?
7 Mei 2025 12:16 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Muammar Ikhsan Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Oleh: Muammar Ikhsan Firdaus
Beberapa minggu lalu, saya masuk ke perpustakaan kampus seperti biasa—sebuah kebiasaan lama yang entah kenapa tetap saya jaga. Tapi hari itu terasa berbeda. Rak-rak buku tetap berdiri kokoh, pencahayaan masih tenang seperti biasa, namun suasananya... sunyi. Terlalu sunyi.
ADVERTISEMENT
Hanya ada dua orang di ruang baca. Salah satunya petugas perpustakaan. Sisanya? Kursi-kursi kosong dan deretan buku yang tak lagi disentuh.
Sebagai mahasiswa di era digital, saya mulai bertanya: apakah perpustakaan masih benar-benar dibutuhkan, atau sudah berubah menjadi semacam museum buku yang menunggu untuk dilupakan?
Perpustakaan UIN Jakarta dan Realita yang Diam-Diam Berubah
Di UIN Jakarta, perpustakaan kampus menyimpan ribuan koleksi, dari tafsir klasik hingga jurnal internasional. Tapi belakangan, semakin sedikit mahasiswa yang datang berkunjung, apalagi membaca berlama-lama.
Teman-teman saya lebih memilih Google Scholar, Sci-Hub, atau bahkan grup WhatsApp untuk mencari referensi. “Ngapain ke perpus? Di HP juga ada semuanya,” kata seorang teman saat kami berdiskusi soal skripsi.
Saya paham. Saya juga begitu, kadang.
ADVERTISEMENT
Literasi yang Berpindah Platform
Hari ini, kita membaca lebih banyak dari sebelumnya—tapi bukan lagi dari buku. Kita membaca dari caption, thread X (dulu Twitter), atau video TikTok edukatif berdurasi 1 menit. Informasi tak pernah semudah ini diakses, dan itu membawa dampak yang tidak bisa dihindari: perpustakaan fisik semakin kehilangan fungsinya yang dulu sentral.
Menurut data UNESCO, kunjungan ke perpustakaan fisik di dunia turun hingga 30% dalam 10 tahun terakhir. Di Indonesia, meskipun jumlah perpustakaan bertambah, pemanfaatannya justru stagnan. Perpustakaan bukan kehilangan buku—mereka kehilangan perhatian.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Bukan berarti perpustakaan harus menyerah. Justru sekarang saatnya bertransformasi. Beberapa ide yang bisa diterapkan:
Membuat layanan hybrid: Buku fisik tetap ada, tapi ditambah dengan e-book dan katalog daring.
ADVERTISEMENT
Menghadirkan coworking space: Mahasiswa butuh ruang diskusi dan kerja kelompok, bukan hanya tempat baca sunyi.
Mengadakan kelas literasi digital: Mengajari mahasiswa cara menyaring informasi, bukan hanya mengaksesnya.
Beberapa perpustakaan di luar negeri sudah melakukannya, seperti Dokk1 di Denmark yang menjadi pusat komunitas digital dan fisik. Kenapa kita tidak bisa?
Perpustakaan Bukan Tentang Buku, Tapi Tentang Akses Pengetahuan
Saya tidak romantis terhadap buku. Tapi saya percaya, perpustakaan yang baik bukan soal rak penuh buku, tapi soal keberanian untuk berubah. Kalau tidak, ia hanya akan menjadi bangunan sunyi yang dikunjungi sesekali, seperti museum yang indah tapi tidak hidup.
Dan saya tidak ingin melihat perpustakaan kampus saya menjadi seperti itu.