Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Politik Energi: Indonesia Timur dan Jalan Tengah Kedaulatan Energi!
4 September 2024 17:28 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Muaz Nur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Indonesia Timur, Kaya Energi!
ADVERTISEMENT
Sungguh, bagian timur Indonesia begitu dirahmati oleh Tuhan YME dengan kekayaan alam yang beragam dan berlimpah. Dan, dalam waktu dekat ataupun jauh, bagian timur Indonesia akan menjadi pusat energi dunia. Kita tinggal menghitung waktu mundur! Maka: pemerintah; pelaku usaha; dan masyarakat harus mempersiapkan diri untuk merealisasikan potensi ini.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, sebaran sumber energi di bagian timur Indonesia adalah sebagai berikut: (i) Nikel-Kobalt tersebar pada provinsi: Sulawesi Tenggara; Sulawesi Tengah; Sulawesi Selatan; Maluku Utara; Maluku; Papua Barat; dan Papua. (ii) Besi tersebar pada provinsi: Sulawesi Tengah; Sulawesi Barat; Sulawesi Selatan; Sulawesi Utara; Nusa Tenggara Barat; Nusa Tenggara Timur; Maluku; Papua. Dan, (iii) Emas-Perak tersebar pada provinsi: Sulawesi Barat; Sulawesi Selatan; Sulawesi Tengah; Sulawesi Tenggara; Sulawesi Utara; Nusa Tenggara Barat; Maluku; Maluku Utara; Papua.
Dalam Pasal 103 UU Minerba, menyatakan bahwa Pemegang IUP OP wajib melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian di dalam negeri. Dengan demikian, maka terhadap Nikel-Kobal, Besi, dan Emas-Perak yang tersebar di bagian timur Indonesia harus dilakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian terlebih dahulu sebelum di Ekspor. Artinya, bijih mineral tidak boleh dijual mentah, harus dihilirisasi terlebih dahulu. Proses penghiliran tersebut memerlukan smelter. Saat ini, dominasi smelter yang beroperasi di Indonesia menggunakan bahan bakar batubara dan solar, energi fosil. Industri smelter Indonesia harus keluar dari ketergantungan energi fosil agar hasil penghiliran mineral di Indonesia dapat menjadi green-product sehingga ketimpangan keadilan antar generasi dapat diperkecil.
ADVERTISEMENT
Lunturnya Komitmen Pemerintah dan Potensi EBT Indonesia Timur
Tinta pena Indonesia telah mengering ketika menandatangani Paris Agreement. Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ("GRK"), komitmen tersebut kemudian dinyatakan dan dicatat dalam Nationally Determined Contribution ("NDC") 2020-2030. Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi GRK ini termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk tapi tidak terbatas, seperti: PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional ("PP KEN"). Target bauran energi baru terbarukan ("EBT") untuk tahun 2025 dalam PP KEN adalah sebesar 23 persen. Namun pemerintah, melalui Dewan Energi Nasional ("DEN"), melakukan Revisi PP KEN ("RPP KEN"). Dan, target bauran EBT untuk tahun 2025 turun menjadi 17-19 persen.
RPP KEN menjadi dalil lemahnya komitmen pemerintah dalam menurutkan GRK. Boleh jadi menurunnya target bauran EBT, dalam RPP KEN tersebut, disebabkan oleh lemahnya implementasi target bauran EBT oleh Pemerintah Daerah. Berdasarkan laporan kinerja DEN tahun 2022, provinsi dengan capaian bauran EBT terendah adalah provinsi Maluku dan provinsi Maluku Utara, menyumbang kurang dari 1 persen capaian bauran EBT. Fakta tersebut menjadi anomali ketika diketahui bahwa dua provinsi di atas memiliki potensi EBT yang relatif besar, sekitar 17 persen hingga 27 persen. Begitupun dengan provinsi-provinsi bagian timur Indonesia, menunjukan terdapatnya kesenjangan antara realisasi dan potensi bauran EBT. Kesenjangan dapat ditutupi dengan: pendanaan berupa transfer dana atau program kegiatan pengembangan EBET dari pemerintah pusat ke daerah-daerah; peningkatan peran aktif BUMD, koperasi, dan swadaya masyarakat dalam pelaksanaan pengembangan EBET; dan meningkatkan kualitas SDM di daerah dengan memberikan pelatihan di bidang EBET untuk mendukung peningkatan kapasitas tenaga kerja lokal yang berkualitas dan berkompeten.
ADVERTISEMENT
Jalan Tengah Kedaulatan Energi Indonesia
Ketika membaca artikel atau berita yang membahas isu energi, terkadang kita mengalami miss-interpretation terhadap isu politik energi. Sebab, terdapat istilah yang sering dipertukarkan, yakni: ketahanan energi; kemandirian energi; dan kedaulatan energi.
Pada prinsipnya, Ketahanan Energi adalah kemampuan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan energinya. Terdapat 4 aspek untuk menilai ketahanan energi, yakni: (i) aspek ketersediaan (availability); (ii) aspek aksesibilitas (accessibility); (iii) akses daya beli (affordability); (iv) aspek penerimaan masyarakat (acceptability); dan aspek keberlanjutan (sustainability). Sedangkan, Kemandirian Energi adalah kemampuan suatu negara untuk menggunakan keanekaragaman energi dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Kemudian Kedaulatan Energi adalah kemampuan negara dalam merespon dinamika energi global dan regional (eksternal) dan dinamika energi nasional (internal) guna mencapai ketahanan dan kemandirian energi. Jadi, boleh jadi suatu negara tidak memiliki Kemandirian Energi namun kuat dalam Ketahanan Energi, contohnya dengan melakukan impor energi. Atau, boleh jadi suatu negara memiliki Kemandirian Energi, akan tetapi Ketahanan Energinya lemah.
ADVERTISEMENT
Politik energi itu adalah memilih untuk memprioritaskan satu dari ketiga istilah di atas. Pada pemerintahan Presiden Jokowi, politik tahun 2024, Indeks Ketahanan Energi Indonesia (KEI) berada dalam posisi ‘Tahan’ dengan poin 6,64. Pada tahun-tahun ke depan, Indeks KEI ini dapat saja menurun, mengingat gejola geo-politik yang terjadi akhir-akhir ini seperti konflik antara Rusia-Ukriana dan Israel-Palestina bersama Iran. Jadi, Indonesia perlu berdaulat secara energi.
Politik Energi Indonesia ke depan dapat ditelisik dalam kertas kerja Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, Prabowo-Gibran. Dalam kertas kerjanya, Asta Cita Kedua, pilihan politik energi Indonesia adalah ‘mencapai Kemandirian Energi dan melepas ketergantungan terhadap energi fosil.’ Pilihan ini dapat menjadi bencana jika tata kelola energi dan keuangan negara tidak diatur sedemikian rupa.
ADVERTISEMENT
Melepaskan ketergantungan terhadap energi fosil tidak dapat dilakukan secara sekaligus, sebab dapat mengancam ketahanan energi. Harga jual EBT masih terbilang mahal dibandingkan dengan energi fosil, sehingga akan terjadi pelemahan pada aspek affordability dan acceptability. Harga yang cenderung mahal dengan periode yang panjang dapat berakibat pada inflasi.
Terdapat jalan tengah terhadap persoalan ini, yakni: melakukan cross-financing of fossil energy, yakni: dengan mengalokasikan keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan dari kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara ke kegiatan kegiatan usaha atau pengembangan EBT. Tawaran jalan tengah ini dapat diformalkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pelaku usaha untuk menerapkan sistem standar Environmental, Sosial, and Governance ("ESG"). Pemberlakuan ESG di Indonesia, secara formal-normatif, pada saat ini masih terbatas pada beberapa Perseroan Terbuka (Tbk) dan beberapa perbankan. Mekanisme pemberlakuan ESG diluar dari beberapa perusahaan di atas masih sebatas suka-rela (voluntarism) atau dengan kata lain pendekatan Command and Control (CAC) belum mendominasi.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dapat memaksa pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara untuk menerapkan cross-financing of fossil energy. Intervensi pemerintah terhadap keuangan perusahaan yang mendapatkan izin konsesi dapat ditelisik pada Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi (“Perpres No. 76/2024”). Dalam Pasal 12 ayat (2) Perpres No. 76/2024, meskipun penulis tidak sepekat terhadap pemberian IUP secara 'prioritas' kepada Badan Usaha Milik Ormas Keagamaan, pemerintah mewajibkan Badan Usaha Milik Ormas Keagamaan agar keuntungan dari kegiatan pertambangannya dimanfaatkan untuk kepentingan Badan Usaha dan/atau Ormas. Nha, mekanisme di atas adalah pendekatan CAC, dan menurut ketentuan semacam ini dapat diduplikasi ke pemegang konsesi yang harus mengalokasikan keuntungan yang berasal dari pertambangan mineral dan batubara ke kegiatan usaha atau pengembangan EBT.
ADVERTISEMENT