Konten dari Pengguna

Refleksi Demokrasi Kita

Muaz Nur
Mahasiswa Pasca Sarjana FH UI Peneliti Hukum
23 November 2023 11:03 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muaz Nur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bung Hatta. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Bung Hatta. Foto: AFP

Mukadimah

ADVERTISEMENT
Pada kesempatan kali ini, dengan segala kerendahan pemahaman dan pengetahuan penulis, penulis hendak mempersembahkan artikel sederhana ini kepada Moh. Hatta. Torehan-torehan dalam artikel ini diilhami oleh buku yang dikarang langsung oleh Moh. Hatta dengan judul “Demokrasi Kita”. Artikel sederhana ini adalah upaya penulis untuk memahami lebih dalam buku Demokrasi Kita dan korelasinya terhadap fenomena-fenomena politik yang terjadi belakangan ini.
ADVERTISEMENT

Rezim Putusan MK Persyaratan Umur yang Inkonsisten

Realitas politik yang terjadi belakangan ini, yakni dengan diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No 90/PUU-XXI/2023, menjadi suatu dalil bahwa demokrasi Indonesia sedang berada di titik nadir. Perlu untuk diketahui bahwa telah terjadi pengujian norma Pasal 169 huruf q Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 di Mahkamah Konstitusi yang pada dasarnya Para Pemohon mempersoalkan batas umur seseorang agar dapat mencalonkan diri sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.
Pengujian terhadap norma itu dilakukan beberapa kali dalam tahun yang sama, sehingga terbitlah Putusan MK No 29/PUU-XXI/2023; Putusan MK No 51/PUU-XXI/2023; Putusan MK No 55/PUU-XXI/2023; Putusan MK No 90 /PUU-XXI/2023; Putusan MK No 91 /PUU-XXI/2023; dan Putusan MK No 92 /PUU-XXI/2023 (selanjutnya penulis akan sebut “Rezim Putusan MK Persyaratan Umur”).
ADVERTISEMENT
Dalam Rezim Putusan MK Persyaratan Umur ini terjadi inkonsistensi putusan, yakni pada Putusan MK No 51 junto Putusan MK No 55 bertentangan dengan Putusan MK No 90. Dua putusan berikutnya, yakni Putusan MK No 91 junto Putusan MK No 92 ditolak oleh MK karena telah kehilangan objek sebab norma baru telah muncul pada Putusan MK No 90.
Putusan MK No 90 inilah yang kemudian menjadi sorotan seluruh golongan masyarakat, baik akademisi hingga masyarakat awam. Masyarakat awam menilai bahwa Putusan ini adalah upaya Hakim MK - Anwar Usaman - untuk meloloskan keponakannya supaya dapat berkontestasi di Pemilihan Presiden 2024.
Namun, perlu untuk kita putusan ini berlaku umum sehingga siapa saja yang memenuhi persyartan, yang telah diubah oleh MK, dapat berkontestasi di Pemilihan Presiden tahun 2024 atau di tahun-tahun berikutnya. Setelah Putusan MK 90 ini diterbitkan maka terdapat gugatan dari masyarakat sehingga dibentuklah lembaga ad hock Majelis Kehormatan MK (“MKMK”) yang pada akhirnya MKMK memutus bahwa terdapat konflik kepentingan yang dilakukan oleh Anwar Usaman selaku Ketua MK dalam Putusan MK 90. Akademisi meyorot rentetan peristiwa ini sebagai krisis demokrasi Indonesia.
ADVERTISEMENT

Demokrasi Hukum dan Mahkamah Konstitusi

Demokrasi dan Hukum adalah dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain pada sebuah negara. Dalam pandangan yang lebih luas, ‘koin’ yang berlaku pada negara itu disebut sebagai Demokrasi Konstitusional. Dalam sistem demokrasi, penyelenggaraan negara itu harus bertumpu pada partisipasi dan kepentingan rakyat. Implementasi negara hukum harus ditopang dengan sistem demokrasi. Bahwa demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan arah dan bentuk, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna.
Demokrasi Indonesia beberapa kali tertidur --- dalam masa krisis. Pertama, terjadi ketika Presiden Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin pada tahun 1959 sampai dengan tahun 1965. Kedua, terjadi pada masa Presiden Soeharto yang memimpin dari tahun 1965 sampai dengan tahun 1998. Kedua masa ini, Orde Lama dan Orde Baru, mengatasnamakan demokrasi namun yang terjadi adalah otoritarisme. Salah satu penyebab tertidurnya demokrasi di Indonesia pada masa itu adalah tidak adanya kebebasan publik untuk berkumpul dan menyatakan pendapatnya serta adanya represi kepada masyarakat tanpa melalui mekanisme hukum.
ADVERTISEMENT
Lengsernya Presiden Soeharto adalah penanda awal dari era baru yang kemudian dikenal dengan istilah Era Reformasi. Era reformasi dipandang sebagai awal periode demokrasi dengan perpolitikan yang terbuka dan liberal. Maka, pada Era reformasi ini UUD 1945 beberapa kali diamandemen dengan agenda utamanya adalah penguatan mekanisme checks and balances antarcabang kekuasaan negara. MK ini lahir dari perubahan ketiga UUD 1945 dengan dirumuskannya pasal 24C yang memuat mengenai ketentuan MK. Kemudian, pada tahun 2003 dibentuklah lembaga MK dengan diterbitkannya UU No 24 Tahun 2003.
MK sebagai lembaga kekuasaan kkehakiman diberikan 4 kewenangan dan 1 kewajiban, yakni: Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar NRI 1945; Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945; Memutus pembubaran partai politik; Memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum; dan Kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.
ADVERTISEMENT
Dengan kewenangan yang dimiliki oleh MK, MK diharapkan dapat mengawal nilai-nilai konstitusi dan demokrasi, sehingga fungsi dan tugasnya seringkali diposisikan sebagai: Pengawal konstitusi; Penafsir akhir konstitusi; Pengawal demokrasi; Pelindung hak-hak konstitusional warga negara; dan Pelindung HAM.

Perselingkuhan Lembaga Negara sebagai Krisis Demokrasi

Diketahui bahwa ketentuan mengenai persyaratan batas umur Presiden dan Wakil Presiden tidaklah di atur dalam UUD NRI 1945. Para Pemohon dalam Rezim Putusan MK Persyaratan Umur memohonkan kepada MK untuk menguji Pasal 169 huruf q UU No 7/2017 dengan batu uji Pasal 28 D ayat (1) dan (3) UUD NRI 1945 serta Pasal 28 I ayat (2) UUD NRI 1945.
Pada dasarnya, para pemohon meminta kepada hakim MK Pasal 169 huruf q tersebut untuk mengubah norma tersebut, sehingga norma tersebut berbunyi: “Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepada daerah”.
ADVERTISEMENT
Sebab tidak diaturnya ketentuan batas umur ini di dalam UUD NRI 1945 maka norma ini merupakan Ketentuan Hukum Terbuka atau Open Legal Policy, yang artinya: sebuah kondisi di mana konstitusi sebagai norma hukum tertinggi tidak mengatur atau tidak secara jelas memberikan batasan terkait apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur oleh undang-undang, maka merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukan apa dan bagaimana materi tersebut diatur dalam undang-undang.
Konsekuensi logis atas konsep open legal policy yakni bahwa MK tidak berwenang untuk memutus permohonan yang dimohonkan oleh pemohon. Namun, dalam Rezim Putusan MK Persyaratan Umur, yakni dalam Putusan MK No 29; Putusan MK No 51; Putusan MK No 55; serta Putusan MK No 90, DPR bersama Pemerintah (selaku pembentuk undang-undang) dalam keterangannya: menyerahkan sepenuhnya kepada MK untuk mempertimbangkan dan menilai apakah permohonan para Pemohon memenuhi sayrat JR.
ADVERTISEMENT
Artinya, bahwa DPR dan Pemerintah menyerahkan persoalan open legal policy --- yang merupakan kewenangan DPR dan Pemerintah untuk menentukan apa dan bagaimana materi tersebut diatur dalam undang-undang ---- kepada MK.
Keterangan DPR dan Pemerintah yang menyerahkan kewenangan open legal policy-nya kepada MK
Argumentasi di atas memperlihatkan perselingkuhan DPR dan Pemerintah dengan menyerahkan kewenangannya kepada MK. Perselingkuhan ini menistakan mekanisme checks and balances sehingga tidak ada mekanisme saling kontrol, saling menjaga keseimbangan antara lembaga-lembaga negara atau cabang-cabang kekuasaan negara. Selain itu, drama perselingkuhan ini diperkuat oleh adanya conflict of interest di dalam tubuh MK dalam memutus Putusan MK No. 90.
Diketahui bahwa Ketua Hakim MK Anwar Usman tidak hadir pada RPH untuk memutus Putusan MK No 29, Putusan MK No 51, dan Putusan MK No 55. Ketidakhadiran Anwar Usman didasari oleh alasan yang inkonsisten, yakni: Tidak hadir pada RPH dengan alasan adanya potensi Conflict of Interest -- seperti yang dikatakannya pada Hakim Saldi Isra -- yang inkonsisten dengan tidak hadir pada RPH dengan alasan sakit perut – seperti yang dikatakannya pada Hakim Arif Hidayat.
ADVERTISEMENT
Namun, Anwar Usaman tetap ikut dalam RPH untuk memutus Putusan MK No 90 dan Putusan MK No 91. Mestinya, Anwar Usman tunduk terhadap Pasal 17 ayat (5) UU No 48/2009 yang menyatakan bahwa hakim yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung dengan perkara yang diperiksa, maka si Hakim wajib mengundurkan diri.
Anwar Usaman selaku Ketua MK telah diputus oleh MKMK bahwa ia memiliki konflik kepentingan dalam menjatuhkan Putusan MK No 90. Artinya, pengujian norma Pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 kehilangan objektivikasinya ketika Putusan MK No 90 telah diputuskan. Kemudian diketahui bahwa Putusan MK bersifat final and binding (akhir dan mengikat).
Hilangnya objektivitas hukum dalam Putusan MK No. 90 menistakan peran MK sebagai pengawal konstitusi dan peran MK sebagai pengawal demokrasi. Adalah bencana, atau berpotensi bencana, jika di kemudian hari terdapat terdapat perselisihan hasil Pemilu --- dalam hal ini Pilpres --- sebab Anwar Usman dalam Putusan MKMK tidak memiliki kewenangan untuk memutus perselisihan hasil pemilu.
ADVERTISEMENT
Jika Anwar Usman tidak memiliki kewenangan tersebut, maka jumlah hakim yang dapat memutus perselisihan hasil pemilu adalah 8 orang yang mana bila terjadi dissenting opinion dengan komposisi 4 hakim memutus si A menang dan 4 hakim memutus si B menang, maka akan terjadi kegamangan dalam demokrasi Indonesia.

Penutup

Dalam Demokrasi Terpimpin pada masa Orde Lama, Moh. Hatta mengatakan bahwa: Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi suatu DIKTATOR yang didukung oleh golongan-golongan tertentu. Artinya, tidak ada demokrasi dalam Demokrasi Terpimpin yang ada hanyalah kediktatoran. Meski demikian, Moh. Hatta tetap percaya bahwa demokrasi tidak akan pernah hilang dari Indonesia yang terjadi adalah bahwa demokrasi itu sekarang sedang tertidur.
Dua alasan yang melatarbelakangi kepercayaan Moh. Hatta tersebut, yakni: Pertama, cita-cita demokrasi yang hidup dalam pergerakan kebangsaan di masa penjajahan dulu yang memberikan semangat kepada perjuangan kemerdekaan. Kedua, pergaulan hidup Indonesia yang asli berdasarkan demokrasi, yang sampai sekarang masih ada di desa-desa.
ADVERTISEMENT
Pada kondisi saat ini, meskipun demokrasi sedang tertidur oleh Putusan MK No. 90, tetapi penulis tetap sepakat dengan keyakinan Moh. Hatta bahwa demokrasi di Indonesia akan segera bangkit kembali dari tidurnya. Hal ini tersebut dapat teraktualisasi jika desa-desa masih menghidupkan pergaulan hidup aslinya yang berdasarkan demokrasi. Maka, menjadi kewajiban kita bersama untuk menjaga pergaulan hidup yang berdasarkan demokrasi di desa-desa dengan memberikan edukasi politik kepada mereka. Sekarang, hanya itulah upaya untuk menjaga api “demokrasi kita”.