Sebuah Catatan Kritis: Hilirisasi Nikel terhadap Pembangunan Sulawesi Tenggara

Muaz Nur
Mahasiswa Pasca Sarjana FH UI Peneliti Hukum
Konten dari Pengguna
1 November 2023 9:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muaz Nur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ore nikel. Foto: Potapov Alexander/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ore nikel. Foto: Potapov Alexander/Shutterstock

Kilapan Cahaya Nikel

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada tahun 2023, komoditas ekspor nikel telah memberikan tren positif terhadap perekonomian negara. Tren positif tersebut diakibatkan oleh gencarnya peningkatan nilai tambah mineral dan batubara dalam program hilirisasi yang dilakukan oleh Pemerintah. Dari sisi perekonomian negara, industri pertambangan memiliki andil yang tidak kecil terhadap APBN. Terhadap APBN, industri pertambangan mengisi dua pos penting yakni: Pertama, pos keuangan Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kedua, pos Perdagangan Internasional.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat bahwa nilai ekspor nikel (HS 75) mencapai USD 3,45 miliar dari Januari hingga Juli 2023. Nilai ekspor tersebut meningkat lima kali lipat dari tahun 2015, yang mana ekspor nikel masih USD 809,08 juta. Selain berkontribusi pada APBN, industri pertambangan nikel juga memiliki kontribusi yang tidak sedikit terhadap Pendapatan Daerah (APBD).
Perlu untuk diketahui bahwa si Penambang -- pemegang izin konsesi pertambangan baik itu pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB -- memiliki kewajiban untuk membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. Berdasarkan Pasal 128 ayat (5) UU No 3/2020 (UU Minerba), merupakan Kewajiban si Penambang untuk membayar pendapatan daerah, yang mana pendapatan daerah tersebut terdiri atas; pajak daerah, retribusi daerah, iuran pertambangan rakyat, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Nah, terhadap daerah yang wilayahnya dianugerahi sumber daya mineral dan batubara, maka sudah barang tentu sektor pertambangan inilah yang diharapkan dapat mengimplementasikan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang kemudian dapat dimanifestasikan dengan meningkatnya indeks kemakmuran rakyat.
Maraknya pembangunan smelter dalam rangka hilirisasi itu menyebabkan cadangan nikel semakin menipis. Kini Indonesia memiliki smelter dengan akumulasi -- yang sedang, yang dalam masa konstruksi, dan yang ingin dibangun -- sebanyak 116 smelter. Dari total akumulasi itu, terdapat 97 smelter nikel dengan proses pirometalurgi dan terdapat 19 smelter nikel dengan proses hidrometalurgi.
Eksploitasi yang masif dan Eksplorasi yang belum optimal dapat mengakibatkan kelangkaan sumber daya. Meski saat ini ‘Cadangan Nikel Terbukti’ Indonesia mencapai 1 miliar ton namun seiring meningkatnya kebutuhan pada industri pengolahan, maka ‘Cadangan Nikel Terbukti’ diproyeksikan akan habis dalam 9,5 tahun mendatang. Dan akan lebih cepat habis, yakni 5,5 tahun mendatang, ketika semua smelter nikel selesai terbangun.
ADVERTISEMENT

Jangan Menjadi Silap karena Kilapan Cahaya Nikel!

Ilustrasi Nikel. Foto: EVGEIIA/Shutterstock
Sebagai salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia sedang menikmati buah manis hilirisasi. Maka janganlah bersilap mata terhadap kilapan cahaya nikel, sebab nikel bisa saja habis besok pagi dan masyarakat masih terbangun dalam keadaan yang miskin.
Di Sulawesi Tenggara terdapat 143 perusahaan pertambangan nikel. Dari banyaknya perusahaan ini, diharapkan pemerintah daerah dapat mengoptimalisasikan dan merealisasikan potensi pendapatan daerah melalui pajak pertambangan. Berdasarkan perkiraan Badan Pengawas dan Pembangunan (BKP) Sultra, diprediksikan potensi pajak pertambangan dapat mencapai Rp. 1 Triliun.
Prediksi tersebut didasari pada simulasi sampel pajak pada 3 kabupaten -- Kolaka, Buton, dan Konawe -- yang dilakukan oleh BKP Sultra. Potensi pajak ini, berasal dari pajak air permukaan, pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (LBMB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan lain-lainnya.
ADVERTISEMENT
Sebuah ironi telah terjadi ketika cahaya nikel bersialauan dalam semangat hilirisasi di Bumi Anoa, angka kemiskinan di tanah itu masih begitu gelap dan pekat. Angka kemiskinan yang dirilis oleh BPS memperlihatkan kemirisan. Dalam setahun, Maret 2022 hingga Maret 2023, terdapat peningkatan angka kemiskinan sebesar 18.530 orang. Peningkatan kemiskinan ini disebabkan oleh tidak inklusifnya pembangunan, inflasi, dan semakin menurunnya pendapatan pada sektor pertanian dan kelautan.
Transisi zaman pra-industri (agraris) ke zaman industri mengakibatkan terjadinya dinamika sosial. Hal ini diperparah dengan persiapan transisi zaman yang belum matang oleh Pemerintah. Pemerintah hanya fokus kepada pembangunan infrastruktur dan ‘seakan’ melupakan penguatan suprastruktur masyarakat.
Terhadap Sulawesi Tenggara, terjadi peralihan lahan pertanian menjadi Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dan Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK). Peralihan lahan ini mengakibatkan masyarakat juga ikut beralih perkejaan dari petani ke buruh kasar pertambangan. Konsekuensi logis atas cacatnya persiapan pembangunan suprastruktur adalah terciptanya celah lapangan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat agraris yang menghidupi kehidupannya dengan bercocok tanam, kesulitan dalam menjawab tantangan industri yang menuntut masyarakat untuk memiliki keahlian-keahlian spesifik yang diperlukan oleh industri. Inilah yang menjadi salah satu penyebab meningkatnya kemiskinan di Sulawesi Tenggara, dan mungkin dibanyak daerah lain di Indonesia, yakni masyarakat memiliki keahlian yang minim atas kebutuhan industri.

Pseudo Tricle-Down Economics

Ilustrasi investasi. Foto: Shutter Stock
Dengan menciptakan iklim investasi, pemerintah berharap si Investor dapat menanamkan modalnya di Indonesia. Penanaman modal itu diharapkan dapat menumbuhkan perekonomian Indonesia dan memperkecil kesenjangan sosial.
Penanaman modal itu diharapkan oleh pemerintah dapat memberikan efek Tricle-Down kepada masyarakat luas. Secara definisi, Tricle-Down Economics adalah fenomena dimana keuntungan yang diperoleh oleh orang-orang kaya dan perushaan-perusahaan besar dapat “menetes” ke bawah dan memberi manfaat kepada seluruh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Harus diakui bahwa investasi adalah salah satu cara yang terbaik untuk meningkatkan poin GDP suatu negara. Formulasi GDP adalah pengeluaran konsumsi ditambah dengan investasi lalu dikumuasikan dengan pengeluaran belanja pemerintah dan ekspor bersih (GDP = C+I+G+(Ex-Im)).
Namun, investasi yang masuk ke Indonesia kurang mendukung keberlanjutan pertumbuham ekonomi dalam negeri. Sebab, komposisi investasi di Indonesia cenderung berat pada investasi konstruksi dan bangunan. Berdasarkan data dari Asia Productivity Organization, yang dirilis pada tahun 2022, menyatakan bahwa 83% investasi yang masuk di Indonesia berkaitan dengan konstruksi dan bangunan, 10% investasi berupa modal untuk non-IT, 4% investasi berkaitan dengan pengembangan transportasi, dan 3% di bidang IT.
Rupa-rupanya, tidak ada komposisi investasi di bidang Research and Development (R&D). Sedangkan komposisi R&D inilah yang akan memperkuat keberlanjutan pertumbuhan perekonomian Indonesia. Dengan kata lain bahwa investasi infrastruktur tidak sebanding dengan investasi suprastruktur.
ADVERTISEMENT
Teramat disayangkan, modal telah ditanamkan oleh investor tidak mengucur kepada masyarakat, sebagaimana yang telah dipersepsikan oleh konsep Trickle-Down Economics di atas. Kegagalan tersebut dapat dikarenakan UU No 3/2020 yang memperlemah peran pemerintah daerah di sektor pertambangan dan masifnya korupsi di sektor pertambangan.
Memang hukum pertambangan beberapa kali berganti corak rezim perizinan. Bahwa kewenangan izin pertambangan beberapa kali berubah sejak UU No 11/1967 sampai dengan UU No 3/2020. Yang pasti, pada UU No 3/2020, corak kewenangan perizinannya adalah tersentralistik ke Pemerintah Pusat dan hanya dapat didelegasikan kepada pemerintah daerah Provinsi jika memenuhi kualifikasi tertentu.
Rupa-rupanya, tarik ulur kewenangan perizinan ini -- desentralistik ke sentralistik -- disebabkan oleh tidak kondusifnya iklim investasi di daerah-daerah, baik itu kaburnya kepastian hukum oleh Perda-Perda yang disatu daerah berbeda dengan daerah lain. Nah, dengan perizinan yang terdesentralisasi seperti itu, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan-ketentuan sebelum UU No 3/2020, maka oligark-oligark mini tumbuh subur di daerah-daerah dan begitupun KKN yang tak kalah subur disektor pertambangan.
ADVERTISEMENT
Dengan ditariknya kewenangan perizinan ke Pemerintah Pusat, maka diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif. Namun disisi lain, Pemerintah Daerah merasa seakan tidak mendapat manfaat apapun dari aktivitas pertambangan yang dilakukan di daerahnya.
Di akhir catatan ini, penulis memberikan beberapa masukan, yakni: Pertama, pembangunan infrastruktur mesti berjalan beriringan dengan penguatan suprastruktur. Kedua, agar konsep trickle-down economics berjalan, maka diperlukan penguatan sistem hukum. Meminjam konsep sistem hukum dari Lawrence M. Friedman, bahwa sistem hukum dapat dilakukan dengan menguatkan struktur hukum (legal structure), susbstansi hukum (legal substancy), dan budaya hukum (legal culture).