Transaksi Afiliasi Terdampak Pandemi, Wajib Pajak Butuh Panduan Transfer Pricing

Konten Media Partner
13 Januari 2021 17:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi transaksi afiliasi perusahaan terdampak pandemi Covid-19. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi transaksi afiliasi perusahaan terdampak pandemi Covid-19. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) berdampak luas ke berbagai hal, termasuk memengaruhi proses penetapan harga transfer (transfer pricing) atas transaksi afiliasi perusahaan. Karenanya, Otoritas Pajak dituntut sigap membuat panduan dokumentasi transfer pricing, seperti yang dilakukan sejumlah negara tetangga dan OECD.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi bertajuk Guidance on the Transfer Pricing Implications of the Covid-19 Pandemic ini merupakan respons OECD atas pertanyaan-pertanyaan publik sehubungan dengan dampak pandemi Covid-19 terhadap transaksi afiliasi perusahaan. OECD memfokuskan kajiannya terhadap keandalan analisis kesebandingan, alokasi kerugian akibat biaya-biaya yang mungkin timbul, perlakuan bisnis dan akuntansi yang wajar dan lazim dilakukan atas program bantuan pemerintah, serta upaya renegosiasi perjanjian antarpihak afiliasi, termasuk Advance Pricing Arrangements (APA).
Sejumlah Negara seperti Australia dan Singapura ternyata sudah lebih dahulu menerbitkan panduan serupa rekomendasi OECD. Dalam hal ini Otoritas Pajak Australia menyadari bahwa kecenderungan penurunan pendapatan, peningkatan beban, dan perubahan laba sangat mungkin dialami oleh para pelaku usaha di tengah kondisi ekonomi dan industri yang terpukul oleh pandemi Covid-19.
ADVERTISEMENT
Pada medio 2020, Australian Taxation Office (ATO) mempublikasikan tiga macam panduan bagi Wajib Pajak (WP) dalam mendokumentasikan penetapan harga transfer. Publikasi tersebut bertujuan agar pengaturan transaksi afiliasi WP tetap memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) meskipun dalam keadaan pandemi.
Sementara itu, Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) pada September 2020 juga menerbitkan panduan yang mensyaratkan analisis yang lebih komprehensif bagi WP yang mengklaim aktivitas bisnisnya terdampak pandemi.
Sedangkan Indonesia, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Republik (DJP), sampai detik ini belum merilis panduan khusus terkait analisis kewajaran transfer pricing.
Saat ini, setidaknya terdapat empat isu yang menjadi perhatian para pemangku kepentingan perpajakan internasional: (1) analisis dampak ekonomi; (2) analisis kewajaran penetapan harga transfer; (3) analisis laporan keuangan; (4) analisis multi-years dan year-end adjustment.
ADVERTISEMENT
Dampak Ekonomi
Dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi sepanjang tahun 2020, setidaknya perusahaan perlu melakukan analisis tersendiri sebagai justifikasi bahwa aktivitas bisnisnya terdampak secara langsung maupun tidak langsung oleh pandemi. Analisis tersebut Antara lain:
Harga Wajar
Dalam beberapa panduan, perusahaan juga diminta untuk mempersiapkan analisis pendukung yang tekait dengan kinerja keuangan perusahaan, antara lain:
ADVERTISEMENT
Laporan Keuangan
Pandemi Covid-19 yang datang secara tiba-tiba, secara umum telah menyebabkan kegagalan atas setiap perencanaan atau proyeksi yang telah ditargetkan perusahaan pada awal tahun. Meskipun faktanya, ada juga kondisi perusahaan dalam industri tertentu yang justru mengalami hal sebaliknya.
Oleh sebab itu, beberapa panduan menekankan pendekatan analisis bujet agar mencerminkan penetapan harga transfer yang memenuhi arm’s length principle.
ADVERTISEMENT
Aplikasinya dapat dilakukan dengan cara membandingkan laporan keuangan bujet dengan laporan keuangan aktual perusahaan. Hal ini sangat berguna untuk memperkirakan dampak spesifik dari munculnya pandemi Covid-19 terhadap pendapatan, biaya, dan margin perusahaan.
Multiple-years & Year-End Adjustment.
Berkaca ke Singapura, IRAS dalam panduan analisis transfer pricing terkait pandemi merinci dan membuat ilustrasi yang jelas mengenai penerapan analisis multiple-years dan year-end adjustment. Dalam praktiknya, multiple years analysis paling tidak membutuhkan periode observasi lebih dari tiga tahun.
Sejatinya, panduan dokumentasi transfer pricing yang dirilis OECD, ATO, dan IRAS bisa menjadi acuan yang bisa diadopsi oleh DJP dalam merumuskan kebijakan terkait. Tentu saja DJP perlu menyesuaikan panduan internasional tersebut dengan kondisi domestik Indonesia. Intinya, WP menunggu arah kebijakan DJP terkait dokumentasi transfer pricing di kala resesi dan pandemi seperti saat ini. Sejauh ini, baru peraturan terkait APA yang telah DJP sesuaikan dengan kondisi pandemi Covid-19.
ADVERTISEMENT
Intinya, DJP perlu segera menerbitkan panduan domestik dalam bentuk peraturan yang tidak normatif. Hal ini penting mengingat batas waktu ketersediaan dokumentasi transfer pricing (Dokumen Lokal dan Dokumen Induk) serta penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Badan semakin dekat. Padahal, pada saat yang bersamaan, WP perlu meningkatkan keandalan analisis kesebandingan transaksi afiliasi dalam Dokumen Lokal, selain juga wajib menyiapkan dokumen pendukung. Hal ini untuk menjustifikasi bahwa fluktuasi pendapatan, beban, dan margin yang dibukukan oleh perusahaan bukan dalam rangka menyalahi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, tapi murni akibat pandemi Covid-19.
Belum lagi isu ketersediaan informasi keuangan perusahaan pembanding. Apakah konsep Contemporaneous Documentation yang diperkenalkan oleh OECD dan telah diratifikasi menjadi PMK No.213/PMK.06/2016 (PMK-213) sejauh ini sudah cukup relevan aplikasinya di Indonesia? Khususnya dalam penerapan analisis penetapan harga transfer menggunakan pendekatan Transactional Net Margin Method (TNMM). Walaupun sejauh ini dalam praktiknya terdapat perbedaan interpretasi dalam menerapkan konsep Contemporaneous Documentation.
ADVERTISEMENT
Penulis menilai saat ini momentum yang tepat bagi otoritas pajak untuk merinci apa-apa terkait dokumentasi transfer pricing yang selama ini belum diatur. Alasannya jelas banyak perusahaan yang akan mengalami penurunan laba bahkan merugi pada tahun 2020 karena terdampak pandemi.
Intinya, masyarakat pajak membutuhkan kepastian hukum terutama terkait dampak pandemi dari aspek transfer pricing. Besar harapan ada inisiatif dari otoritas pajak yang bisa memberikan jalan keluar terbaik bagi pembayar pajak di tengah krisis saat ini.