Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Calon Presiden dan Logika Aristoteles
9 Juli 2018 19:52 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
Tulisan dari Muchlis R Luddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Diskursus pencalonan presiden yang sekarang tengah seksi dibahas, sungguh menyisakan banyak pandangan. Satu kelompok yakin bahwa si A yang akan menjadi calon presiden, dan si B yang akan menjadi wakilnya. Sementara kelompok yang lain meyakini bahwa si C lah yang akan menjadi calon presiden, dengan si D sebagai wakilnya. Bahkan kelompok yang lain lagi meyakini akan mencalonkan si F dengan wakilnya si G.
ADVERTISEMENT
Diskursus itu menguras perhatian dan energi sebagian besar masyarakat. Kita disajikan beragam klaim kebenaran. Bahkan kita diyakinkan untuk berpihak kepada masing-masing klaim. Tak ada satu kelompok pun yang tak menyatakan kebenarannya. Semuanya merasa benar. Masing-masing adalah benar.
Klaim-klaim kebenaran merupakan usaha untuk meyakinkan orang lain bahwa apa yang diusung itu benar dan masuk akal. Orang-orang digiring untuk mau meyakini bahwa klaim saya adalah (paling) benar. Sungguh dunia kehidupan kita menjadi dipenuhi oleh klaim-klaim kebenaran.
Lantas manakah “yang benar-benar benar”? Apakah setiap klaim akan benar dan benar? Atau mungkinkah ada klaim yang tak benar, karena ia benar-benar tak benar?
Dalam logika, kita sering dihadapkan kepada problema semacam itu. Mari saya ulangi diskusi para filosof di zaman Aristoteles tentang logika kebenaran, agar kita mulai menilai kembali apa yang dimaksudkan dengan kebenaran.
ADVERTISEMENT
Saya ingin memulainya dengan sebuah pertanyaan sederhana: Bagaimana kita tahu dan bisa memastikan (meyakini) bahwa segala sesuatu itu benar? Siapakah yang mengatakan bahwa sesuatu itu benar? Bahkan saya tak tahu mengapa saya bertanya bahwa sesuatu itu benar? Mungkin karena sesuatu itu dikatakan benar, seperti kita mengatakan bahwa dua ditambah dua sama dengan empat. Itulah benar, dan kemudian semua cerita tentang itu selesai.
Kemudian kita bertanya: Mengapa dua ditambah dua sama dengan empat? Kita kemudian beralasan, dua tambah dua itu sama dengan empat karena kesimpulan itu disertai oleh -apa yang sering kita kenal dalam logika- “irrefutable laws of logic”.
Untuk mempermudah pengertian kita, di bawah ini saya ingin juga melukiskan penjelasan masalah di atas dengan sebuah “joke klasik” yang khas di dunia para filsuf.
ADVERTISEMENT
Seorang pemuka adat sedang mengadili perselisihan di sebuah kampung. Seorang warga yang bernama Ahmad berkeluh kesah dan komplain bahwa tanahnya setiap hari dilewati kambing milik Badu. Kambing itu merusak tanaman yang ada di tanah itu. Ahmad mengatakan bahwa itu tanah saya, bukan tanah Badu. Itu sebabnya, saya melarang kambing-kambing itu lewat tanah saya, karena itu tidak fair. Kambing-kambing merusak tanaman di tanah Ahmad. Pemuka adat mengatakan bahwa komplain Ahmad itu benar.
Tetapi, kemudian si Badu berdiri dan protes kepada tokoh adat. Badu mengatakan bahwa melewati tanah si Ahmad itu merupakan satu-satunya jalan yang harus dilalui oleh kambing-kambing saya untuk memperoleh air dan minum. Karena sungainya ada di balik tanah Ahmad. Tanpa melalui jalan tanah Ahmad, kambing-kambing itu akan mati kehausan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pemuka adat itu mengatakan bahwa si Badu (juga) benar. Dengan kata lain, baik Ahmad maupun Badu adalah keduanya benar. Apa yang dinyatakan pemuka adat adalah benar.
Tetapi si pemuka adat diingatkan oleh seorang ibu yang memperhatikan “pengadilan pertikaian antara Ahmad dan Badu” itu. Seorang ibu itu mengatakan: “Pemuka adat, Anda tak bisa mengatakan bahwa keduanya benar.”
Lantas si pemuka adat berkata bahwa “anda benar”, kepada si ibu tersebut.
Peristiwa itu ingin melukiskan bahwa ada yang sering kita kenal sebagai “Aristotle’s Law of Noncontradiction”, yang menyatakan bahwa “nothing can both be so and not be so at the same time.”
Jadi dimanakah letak kebenaran itu? Jika tiga-tiganya benar. Mana yang benar dan paling benar. Oleh karena itu, kita sering menyatakan bahwa sesuatu itu benar jika sesuatu yang dinyatakan itu logis, masuk akal. Dan tentu saja memiliki atau mengandung “reputasi logis.”
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, diskursus pencalonan presiden biarlah menjadi percakapan biasa. Tinggal kita semua menilai apakah percakapan itu logis, bereputasi, dan memiliki argumen yang memadai, sehingga kita tahu apakah sebuah klaim mengandung kebenaran, atau hanya sekadar “kata-kata yang muspro”, tanpa isi.
Selamat memilih dan menentukan kebenaran sesuai dengan pemahaman logis anda sendiri. Dengan begitu, kita akan bersikap lebih rileks, nyaman, dan damai. Kemudian kita akan berinteraksi dengan sesama dengan penuh hormat, serta berkeadaban.
*oleh Prof. Dr. Muchlis R Luddin (Wakil Rektor I UNJ)
ADVERTISEMENT