Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Derrida: Distorsi Fundamental Atas Bahasa
9 Februari 2025 9:27 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Mufti Faiq Kamal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Sumber: https://pixabay.com/photos/alzheimers-dementia-words-3068938/](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkjz3rkak7z3v151vtq4qqz6.jpg)
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah filsafat, hanya sedikit pemikir yang mampu mengguncang fondasi tradisional pengetahuan manusia sebagaimana Jacques Derrida. Sebagai arsitek utama dekonstruksi, Derrida membuka jalan baru yang tidak hanya mengusik metodologi pemikiran klasik tetapi juga menggugat cara kita memahami bahasa itu sendiri. Jika Plato menegaskan pentingnya mencari kebenaran yang abadi di balik dunia indrawi, Derrida justru mengarahkan pandangannya pada bahasa sebagai sesuatu yang tidak pernah stabil, penuh kontradiksi, dan terus-menerus mengalami distorsi.
ADVERTISEMENT
Bahasa Sebagai Permainan Tanpa Akhir
Menurut Derrida, bahasa tidak pernah menjadi alat transparan yang memungkinkan manusia menangkap makna secara utuh dan otentik. Sebaliknya, ia adalah sistem tanda yang selalu tertunda dan meresap dalam ketidakhadiran makna yang pasti. Dalam bukunya yang berjudul Of Grammatology, Derrida membuat konsepsi tentang différance, yang merupakan permainan kata antara “melambatkan” dan “berbeda,” menggambarkan bagaimana makna dalam bahasa tidak pernah hadir secara utuh melainkan selalu bergeser.
Ini adalah distorsi fundamental atas pemahaman kita terhadap bahasa. Jika sebelumnya bahasa dianggap sebagai jembatan menuju realitas yang objektif, Derrida justru menekankan bahwa bahasa adalah jembatan yang menggiring kita ke dalam permainan makna yang tak berujung.
Saya beri contoh bagaimana ketika kita mendefinisikan “kebebasan”. Misalnya saya mendefinisikan bahwa kebebasan itu adalah kondisi dimana seseorang tidak terikat atau dibatasi oleh kekuasaan atau kontrol. Maka di setiap kata-kata tersebut seperti kondisi, terikat, dibatasi, kekuasaan, dan kontrol akan beralih ke kata-kata lain yang dibutuhkan untuk mendefinisikan hal tersebut sehingga menimbulkan regresi yang tak berujung.
ADVERTISEMENT
Dekonstruksi: Mengurai Struktur Makna
Dekonstruksi, sebuah konsep yang sering disalahpahami sebagai penghancuran total, adalah metode Derrida untuk menggali ketegangan dan kontradiksi dalam teks. Dengan dekonstruksi, Derrida menunjukkan bahwa di dalam setiap teks terdapat makna tersembunyi yang mengguncang struktur makna yang dominan.
Sebagai contoh, dalam membaca sebuah karya filsafat, kita cenderung mencari proposisi yang dianggap esensial. Namun bagi Derrida, proposisi tersebut selalu diiringi oleh unsur-unsur lain yang tidak terduga, yang justru menantang makna aslinya. Dengan kata lain, teks selalu mengandung kekuatan untuk mendistorsi dirinya sendiri.
Misalnya adalah ketika kita memiliki suatu ide yang tertanam di otak kita. Kemudian kita mengutarakan ide itu lewat ucapan, maka seketika itu menjadi distorsi. Lalu ucapan dari kita didengar oleh orang lain dan masuk ke dalam ide nya, dan itu menjadi distorsi kembali. Bahkan ketika orang itu mengungkapkan ide dari ucapan kita ke orang lain juga pada akhirnya terdapat distorsi. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa dalam suatu hal yang bahkan similar-pun, bahasa dapat terdistorsi secara sendirinya sehingga mustahil untuk bisa dijadikan atau diklaim sebagai arah untuk realitas objektif.
ADVERTISEMENT
Distorsi yang Membebaskan
Bagi banyak pemikir tradisional, distorsi dalam bahasa adalah hambatan bagi kebenaran. Namun Derrida melihatnya sebagai peluang yang membebaskan. Dengan menerima bahwa bahasa tidak pernah stabil, kita juga membuka diri terhadap kemungkinan makna yang tidak terbatas.
Di dunia yang semakin plural dan kompleks ini, pendekatan Derrida terhadap bahasa justru relevan. Dalam diskursus politik, budaya, dan seni, dekonstruksi mengajarkan kita untuk tidak terpaku pada narasi tunggal yang menindas makna alternatif. Distorsi dalam bahasa tidak harus dilihat sebagai kelemahan, melainkan sebagai kekuatan yang membuka ruang dialog baru.
Derrida dan Tantangan Bagi Filsafat Modern
Apa yang dilakukan Derrida tidak hanya berimplikasi pada studi bahasa tetapi juga mengguncang filsafat itu sendiri. Filsafat yang sebelumnya berusaha mencari esensi tetap dari realitas kini dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa tidak ada pusat yang stabil. Bahkan yang terkenal dari ungkapannya adalah kritik terhadap Yesus dan Sokrates. Ia berkata:
ADVERTISEMENT
Ini menunjukkan bahwa Derrida sangat memandang ketat ide-ide filsafat dan spirit-spirit agama ketika itu semua dijadikan sebagai suatu nilai yang universal terutama jika hanya diutarakan melalui ucapan karena memungkinkan banyaknya distorsi dari setiap ucapan tersebut.
Tantangan Derrida terhadap logosentrisme—keyakinan bahwa terdapat kebenaran universal yang dapat ditangkap melalui bahasa—membuat filsafat modern harus merevisi asumsi dasarnya. Derrida menunjukkan bahwa setiap filsafat adalah teks yang dapat didekonstruksi, yang berarti bahwa tidak ada teori yang bebas dari ketegangan internal.
Sang Filsuf Penjelajah Kompleksitas Bahasa dan Makna
Derrida mengajak kita untuk menerima bahasa sebagai sesuatu yang tidak pernah sempurna, namun justru dalam ketidaksempurnaannya itu bahasa memiliki potensi yang tak terbatas. Dengan menyadari distorsi fundamental dalam bahasa, kita tidak terjebak dalam ilusi akan makna yang tunggal dan absolut.
ADVERTISEMENT
Derrida bukan hanya seorang filsuf yang menggugat fondasi pemikiran tradisional, tetapi juga seorang pemikir yang merayakan kompleksitas dan ambiguitas bahasa. Dalam dunia yang sering kali mencari jawaban sederhana, Derrida mengingatkan kita bahwa kebebasan sejati terletak pada keberanian untuk menerima distorsi sebagai bagian integral dari kehidupan dan pemahaman kita.
Dengan demikian, Derrida bukanlah ancaman bagi bahasa, melainkan penjelajah yang membawa kita menyelami samudra makna yang tak berujung. Sebuah pelajaran penting di tengah dunia yang haus akan kepastian.