Konten dari Pengguna

Epos Mahabharata: Relativisme Kebenaran pada Tokoh-tokohnya

Muhammad Mufti Faiq Kamal
Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12 Agustus 2024 14:22 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Mufti Faiq Kamal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mahabharata adalah salah satu kitab kuno yang sangat inspiratif bagi manusia. Walaupun kitab ini latar belakangnya adalah tradisi Hinduisme, tetapi kitab ini dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran untuk semua orang di seluruh dunia bahkan tradisi Indonesia pun menjadikan kitab Mahabharata ini sebagai salah satu bagian yang memberikan pencerahan kepada banyak orang. Maka Indonesia pun mengadopsinya dan memainkan lakon Mahabharata dalam pewayangan Jawa pada versinya.
ADVERTISEMENT
Mungkin banyak dari kita yang mengetahui bahwa epos Mahabharata ini hanyalah konflik atau perang saudara yang melibatkan antara kubu Pandawa dan Kurawa sebagaimana konflik-konflik persaudaraan lainnya. Akan tetapi jika ditelaah kembali kandungan-kandungan yang terjadi dalam epos ini, kita akan menemukan suatu insight baru dalam bagaimana cara kita memandang suatu kebenaran dalam suatu pihak atau dalam beberapa tokoh-tokohnya.
Selayaknya dalam artikel ini, terdapat beberapa poin terkait dengan filsafat kebenaran yang terjadi pada tokoh-tokoh dari Mahabharata ini, yang dari point-point tersebut dapat membuka cara pandang kita dengan sudut pandang yang berbeda dan jauh lebih luas dan terbuka terhadap hal tersebut.
Ilustrasi Arjuna dan Krisna pada perang Baratayudha dalam kisah Mahabharata. Gambar: hindugodwallpaper.com, Mahabharat Wallpaper HD photos & images free download
Pertama kita melihat dalam epos Mahabharata dinyatakan bahwa kebenaran itu tidak berpihak pada suatu golongan tertentu. Pada realita masyarakat Indonesia sekarang, mereka terbiasa mengira bahwa kebenaran itu ada pada satu golongan tertentu yang mana golongan lain yang bersebrangan dengannya berarti salah secara 100 persen. Misalkan seperti paham komunis maka 100 persen salah atau paham nasionalis 100 persen benar. Dalam epos Mahabharata tidak demikian, justru dapat dikatakan bahwa kebenaran itu tidak berpihak dalam tanda kutip relatif. Kebenaran itu terkadang dimiliki oleh kelompok tertentu tapi juga terkadang dimiliki oleh kelompok lain. Bahkan pihak yang paling baik pun banyak melakukan kesalahan dan pihak paling jahat pun banyak melakukan kebaikan. Bahkan dewa-dewi pun dalam epos Mahabharata beberapa kali diceritakan melakukan kesalahan atau kekejaman.
ADVERTISEMENT
Kita bisa mengambil contoh misalkan dari tokoh bernama Karna. Dia berusaha melepaskan diri dari statusnya sebagai kasta rendah yang ingin menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa kesaktian, kekuatan, kehebatan, dan kebijaksanaan itu tidak terkait dengan kasta. Karna adalah seorang yang sangat sakti luar biasa, tetapi ia dibesarkan dari keluarga yang berkasta rendah yaitu seorang anak kusir. Dalam konteks ini tentu saja dia benar. Akan tetapi ketika dia sedang memperjuangkan statusnya, dia malah ditertawakan oleh para Pandawa khususnya Bima yang tertawanya paling besar pada saat itu. Duryodhana pada waktu itu malah memberikan apresiasi kepada Karna, dia mengatakan bahwa kesaktian itu tidak terikat oleh kasta melainkan pada kemampuan dan keberanian yang dimiliki. Kata-kata tersebut menjadi pemicu Karna yang dia sebenarnya adalah orang yang baik tetapi berpihak kepada seorang yang tidak baik. Maka kejadian ini dapat menjadi bukti kebenaran itu tidak mutlak pada satu kelompok. Duryodhana yang jahat bisa berlaku baik walaupun dalam hal lain dia punya kepentingan khusus dan Pandawa yang katanya dipenuhi oleh orang-orang baik itu malah menertawakan status seseorang walaupun dia adalah orang yang berkualitas.
ADVERTISEMENT
Contoh lain misalnya dalam perang besar Baratayudha, kedua belah pihak sama-sama melakukan kecurangan. Misalkan perbuatan Kurawa terhadap Abimanyu. Dia adalah seorang yang sakti, anak dari Arjuna yang paling kuat. Dia dijebak pada benteng pasukan yang dibuat Kurawa dan dikeroyok hingga dia mati mengenaskan. Para Kurawa waktu itu tidak punya pilihan lain sehingga mereka berbuat curang. Akan tetapi, di sisi lain Pandawa juga berkali-kali melakukan kecurangan, misalkan ketika harus membunuh guru Drona. Guru Drona itu sulit sekali ditaklukkan sampai Pandawa harus melakukan double kecurangan. Kecurangan pertama adalah Yudhistira yang dikira tidak pernah berdusta pada waktu itu ia berdusta, dengan menyatakan bahwa Aswatama -yaitu adalah anaknya- telah mati. Destradyumna pada waktu itu juga memenggal Drona dalam kondisi tidak memegang senjata. Jadi pihak yang baik itu bisa melakukan kesalahan dan pilih yang salah bisa melakukan kebaikan.
ADVERTISEMENT
Kemudian point kedua, ditemukan dalam kisah ini bahwa kebenaran itu tidak bergantung pada perbuatan tersebut, melainkan pada variabel-variabel yang lain. Misalkan apakah membunuh itu salah dan membunuh itu berdosa? Belum tentu, bisa benar bisa juga salah karena bukan tergantung pada perbuatannya, tetapi tergantung pada variabel lainnya, misalkan siapa yang dibunuh, atau bagaimana cara membunuhnya, tergantung tempat, waktu, keadaan, dan sebagainya.
Ketika perang besar Baratayudha berlangsung, Arjuna merasakan suatu keraguan dan kegelisahan yang luar biasa. Dia mempertanyakan sebuah pertanyaan moral yang sangat penting. Dia mempertanyakan alasan apa yang pantas dikemukakan untuk peperangan tersebut padahal yang ia perangi adalah saudaranya sendiri, orang-orang terhormat menjadi musuhnya seketika. Arjuna berpikir jikalau peperangan ini terjadi karena kekuasaan makai ia rela untuk memberikan kekuasaannya kepada mereka agar tidak terjadinya peperangan yang memakan korban jiwa hingga empat juta jiwa kala itu.
ADVERTISEMENT
Sebuah filsafat moral yang dipikirkan Arjuna dibantah pada akhirnya oleh Krisna yang nantinya memunculkan Bhagavadgita. Sebuah dialog filsafat antara Krisna dan Arjuna pada perang besar tersebut. Dalam alur ceritanya, Krisna membantah hal tersebut dengan mengatakan bahwa kejahatan itu sudah selayaknya untuk dilawan. Bukan karena rebutan harta maupun tahta, tetapi jika kejahatan dibiarkan begitu saja, maka ia akan merusak tatanan kebajikan. Kalaupun dalam perang ini terbunuh orang-orang terkasih, pada hakikatnya yang dibunuh adalah jasadnya, sedangkan jiwanya tetap abadi dan tidak bisa dibunuh. Dan kalaupun tidak diperangi orang-orang seperti itu, maka akan ada nantinya kelompok lain yang memeranginya dan bagaimanapun perang itu belum tentu jahat, kematian belum tentu buruk, cacat belum tentu buruk dan sebagainya. Terdapat variabel-variabel lain yang melingkupi itu yang kemudian dilengkapi oleh Krisna dalam Bhagavadgita itu.
ADVERTISEMENT
Kemudian point selanjutnya adalah kebenaran dan kesalahan itu berkaitan dengan karmapala atau sebab akibat. Hal yang paling menarik dalam kisah Mahabharata ini menurut saya pribadi adalah dia selalu menceritakan latar belakang dari setiap tokoh-tokoh jahat. Misalkan seorang Duryodhana itu jahat karena ia dimanjakan oleh ayahnya yang iri hati. Ayahnya Drestarastra adalah seorang yang kuat dan pewaris tahta yang sah. Akan tetapi ia memliki kecacatan yaitu tuna netra pada penglihatannya, maka tahta harus diserahkan kepada adiknya Pandu. Kekecewaan Drestarastra yang mendalam itu memanifestasikan sifat iri dengki kepada keturunannya, maka ia berusaha untuk mempunyai anak sehebat dan sekuat mungkin yang tidak terkalahkan. Akhirnya ia mendidik Duryodhana untuk menjadi jahat. Dia melakukan hal tersebut karena kecewa, dan dia mendapat kekecewaan karena ia buta.
ADVERTISEMENT
Duryodhana juga menjadi jahat karena mendapatkan hasutan dari pamannya Sengkuni. Kenapa Sengkuni menghasut nya karena Sengkuni ingin menghancurkan kerajaan Hastinapura dari dalam. Kenapa ia ingin menghancurkannya karena dia sakit hati. Ia memiliki adik perempuan bernama Gandari. Adiknya itu adalah perempuan yang sangat luar biasa baiknya sampai ia rela menutup matanya seumur hidupnya demi menghargai suaminya yaitu Drestarastra. Tapi pada awal-awal pernikahannya ia terus-menerus mendapatkan siksaan dan celaan oleh suaminya. Contohnya ketika ia tidak kunjung hamil sedangkan Kunti istri dari adiknya Pandu telah mengandung seorang anak. Seharusnya ia memberi dukungan tapi malah memberikan siksaan dan ancaman. Dari hal itu, Sengkuni sebagai kaka kia sakit hati karena adiknya diperlakukan seperti. Lalu ia bersumpah untuk menghancurkan Kerajaan Hastinapura. Maka Sengkuni merawat keponakannya dan tentu ia menyayanginya. Akan tetapi rasa sayang tersebut termanifestasikan dalam ajaran-ajaran yang penuh dengan kekerasan dan kelicikan. Jika sudah seperti ini siapa yang disalahkan? Sengkuni berbuat demikian karena latar belakangnya seperti itu. Drestarastra pun disertakan latar belakangnya. Maka dalam hal ini, kisah Mahabharata memberi kita suatu hikmah bahwa kita tidak bisa memvonis seseorang itu buruk ataupun jahat tanpa melihat bagaimana latar belakang dari keadaan seseorang tersebut.
ADVERTISEMENT
Dan pada point terakhir, kita sering mendengar ungkapan filsafat umum yaitu kebaikan akan menghasilkan kebaikan yang lain dan kejahatan akan menghasilkan kejahatan yang lain. Akan tetapi, dalam epos Mahabharata tidak demikian. Kebaikan itu bisa menghasilkan kejahatan yang luar biasa. Misalkan kasusnya terhadap Bisma.
Bisma itu adalah orang yang sangat kuat dan hebat. Ia tidak bisa dikalahkan dan bahkan ditakuti oleh Dewa Indra. Parasurama yang merupakan perwujudan Wisnu sebelum Krisna itu juga bisa dikalahkan oleh Bisma. Disatu sisi sedemikian kuat, disisi lain dia adalah orang yang sangat bermoral, tetapi gara-gara kekuatan dan moralitas itulah empat juta orang harus mati di medan Kurukshetra. Mengapa demikian? Bisma adalah pewaris tahta yang sah. Dengan kekuatan dan moralitasnya, jika ia menjadi raja ia pasti bisa membawa kerajaan itu pada masa jayanya. Akan tetapi, ayahnya Prabu Santanu yang kala itu menjadi raja tertarik dengan seorang perempuan cantik bernama Satyawati dan ia ingin menikahinya. Tetapi Satyawati memberikan syarat kepada sang raja untuk memberikan tahtanya kepada keturunan dari dirinya. Dalam artian menggeser posisi Bisma sebagai pewaris tahta Kerajaan. Maka ia menanyakannya kepada Bisma. Maka dengan kebaikan moral dari Bisma, ia menyanggupinya bahkan untuk meyakinkan ibu tirinya ia rela bersumpah untuk tidak menikah agar ia tidak memiliki keturunan dan sumpah itu ia pegang sampai akhir hayatnya. Sampai sejauh ini ia terlihat sedang melakukan kebaikan dengan cara berkorban demi ayahnya. Tetapi dampak dari hal itu adalah adalah bahwa kerajaan tidak lagi dipimpin olehnya, tetapi dipimpin oleh adik tirinya yaitu Wicitrawirya yang manja dan tidak terlalu baik. Kemudian wicitrawirya juga memiliki kelemahan dalam hasrat seksual sehingga ia sulit memiliki anak. Sampai akhirnya dia memiliki anak pun cacat Pandu dan kakaknya Drestarastra yang kelak nanti memunculkan Pandawa dan Kurawa. Mereka semuanya perang dan dalam perang itu empat juta orang harus mati dengan berbagai skandal yang terjadi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Itu semua terjadi akibat kebaikan moral dari Bisma. Seandainya pada waktu itu Bisma menuntut ayahnya untuk menolak hal tersebut, kalau seandainya ia melakukan kejahatan kecil itu, maka kejahatan besar di kemudian hari tidak akan terjadi. Bisma pada waktu itu tidak tahu memang tentang masa depan, akan tetapi dalam Mahabharata hal yang baik, hal yang benar hal, dan yang ikhlas bisa saja memunculkan hal yang buruk bahkan sangat-sangat buruk di kemudian hari.