Konten dari Pengguna

Mentalitas Budak: Akar dari Krisis Intelektual Bangsa

Muhammad Mufti Faiq Kamal
Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25 September 2024 16:33 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Mufti Faiq Kamal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mentalitas budak ini tanpa kita sadari telah menjalar pada kehidupan atau aktivitas sehari-hari kita. Layaknya bangsa kita ini, banyak sekali belakangan ini terjadi konflik horizontal yang mana konflik tersebut tidak mewakili kepentingan masyarakat tetapi mewakili kelompok-kelompok atau elit-elit tertentu. Misalkan pada agenda pemilu kemarin, kita bertengkar, berdebat, saling hujat, saling memaki, padahal itu bukan kepentingan kita. Tentu kita mempertaruhkan
nasib kita lewat ide-ide atau gagasan dari pemimpin yang kita pilih. Tetapi yang dipermasalahkan adalah sikap fanatik kita yang berlebihan dan memunculkan perpecahan satu sama lain. Bahkan ironinya, ada yang sampai membunuh orang lain karena perbedaan pendapat itu. Misalkan kita membela paslon A, atau B, maupun C. Lalu ketika mereka sudah berkoalisi dan bersatu dalam satu pemerintahan, kita yasudah tidak terjadi apa-apa dan mencari majikan lain yang kita bela habis-habisan, lalu ketika mereka sudah mencapai tujuannya yasudah terus seperti itu tidak ada habisnya. Jangan-jangan kita itu memang budak atau mentalitas kita adalah mentalitas budak.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui, mentalitas budak itu merujuk pada pola pikir atau sikap yang menunjukkan ketergantungan, kepatuhan, dan ketidakmampuan untuk berfikir secara mandiri. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan situasi di mana seseorang atau kelompok menunjukkan sikap yang mengutamakan ketaatan dan penyerahan diri kepada otoritas tertentu, tanpa mempertanyakan atau mencoba untuk mengubah keadaan. Tentu saja mentalitas ini sangat mempengaruhi orientasi kehidupan kita, tentang bagaimana mentalitas tersebut menghambat perkembangan intelektual kita.
10 Karakteristik Orang yang Bermental Budak
Suatu hari, ketika salah seorang mahasiswa mendapat kabar bahwa dosen A berhalangan hadir pada pertemuan pembelajaran, ia menginformasikan kepada teman-temannya. Lalu serontak semua mahasiswa riang gembira dan senang luar biasa atas informasi tersebut apalagi setelah diketahui mereka tidak mendapatkan tugas dari dosen tersebut. Kemudian apa yang terjadi setelah itu? Tentu tidak terjadi apa-apa. Sebagian dari mereka berbincang satu sama lain sampai jenuh, kemudian sebagian yang lain bermain media sosial sampai jenuh, dan sebagian yang lain tertidur misalkan.
ADVERTISEMENT
Artinya, salah satu karakter orang yang bermental budak adalah mereka tidak melakukan apapun saat diberikan kesempatan kebebasan. Padahal kesempatan kebebasan tersebut bisa dialokasikan untuk mengeksplorasi diri terhadap hal-hal yang baru dan positif. Namun tidak demikian, faktanya masih banyak dari kita terlena terhadap kebebasan yang didamba-dambakan itu. Orang yang bermental budak tidak memiliki inisiatif kendati mereka memiliki kesempatan merdeka. Maka banyak orang di Indonesia terutama, ketika mereka diberkahi oleh kondisi menganggur tetapi mereka mengeluh. Padahal pengangguran itu artinya dia memliki banyak waktu untuk mulai berinisiatif mencari peluang. Jadi dalam perspektif ini menganggur itu suatu hal yang bagus tetapi banyak dari kita mengeluh karena tidak ada orang yang memberikan komando kepada kita untuk melakukan sesuatu. Maka ketika kita tidak diberikan komando, kita tidak melakukan apa-apa karena kita itu budak. Kita menunggu orang lain yang memiliki otoritas untuk menyuruh kita melakukan sesuatu, lalu kita melakukannya.
ADVERTISEMENT
Kalau kita teliti pada negara-negara maju di eropa, pemerintah memaksakan agar setiap perusahaan memberikan waktu luang lebih besar kepada para pegawainya. Contohnya di Jerman, mereka bekerja hanya 4 hari dalam seminggu dan hanya bekerja 6 sampai 7 jam dalam sehari untuk memberikan wadah produktivitas kepada para pegawainya. Jadi mereka berpendapat bahwa jam kerja yang tinggi itu tidak baik untuk karyawan karena mereka akan kekurangan istirahat, waktu luang dan nutrisi, dan berpotensi menyebabkan stress yang tinggi. Ini justru menghambat produktivitas dan ide-ide kreatif di perusahaan. Contoh lain misalkan di Swedia, pemerintahnya memberikan cuti 6 bulan agar para karyawan bisa membuka usaha mereka. Dan ini tertuang dalam Undang-undang Hak Cuti untuk menjalankan operasi bisnis. Tentu contoh-contoh tersebut sangat berbeda di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kita bisa berintrospeksi diri, apakah kita termasuk orang-orang yang bermental budak, ketika kita menganggur, kita malah menganggap itu sebagai beban pikiran karena kita tidak bisa melakukan apapun. Kita senang ketika kita bekerja pada orang lain dan mendapat komando dari orang lain. Ini karakter pertama.
Lalu selanjutnya karakter bermental budak adalah menganggap bangsa lain lebih superior dan unggul daripada bangsa kita. Misalkan ilustrasinya adalah ketika kita melihat anak kecil atau bayi yang sangat rupawan lalu kita menisbatkan rupa yang indah itu dengan negara lain. “Wah bayinya putih seperti orang Cina, atau tampan seperti orang Arab”. Itu sebenarnya adalah mental inferior dengan menganggap bahwa bangsa lain itu lebih baik daripada bangsa kita hanya karena ciri-ciri fisiknya. Dan ciri fisik yang ditentukan baik dan buruknya atau tampan atau tidaknya berdasarkan seberapa dekatnya dia dengan karakteristik dari ras tertentu di luar sana. Dan termasuk dalam mentalitas budak.
ADVERTISEMENT
Karakter yang selanjutnya adalah tidak percaya diri dengan karya sendiri. Dia memiliki rasa takut atas karya yang sudah dia lakukan. Takut menjadi bahan lelucon atau takut mendapatkan teguran. Padahal itu semua adalah langkah awal dari berkembangnya intelektual dia sebagai individu yang produktif.
Kemudian yang berikutnya juga adalah orang yang merasa dirinya tidak punya tujuan hidup karena hidupnya tidak terencana dengan efisien. Misalkan sering kita jumpai dalam dunia pendidikan entah di sekolah ataupun kampus tertentu. Dia menjadikan aktivitas akademis itu sebagai formalitas semata. Dia tidak memliki tujuan kenapa dia bersekolah atau berkuliah. Karena yang terpenting dia dapat sekolah selayaknya orang-orang, dan dia takut akan bahwa kalau dia tidak bersekolah atau berkuliah ia tidak mendapatkan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Karakterisik selanjutnya dari orang-orang yang bermental budak adalah dia mentolerir kejahatan walaupun kejahatan itu lebih lemah. Misalkan ada preman seorang diri memungut atau meminta-minta kepada kita, walaupun dia sendiri dan kita gerombolan tapi tetap takut padahal mengetahui bahwa preman tersebut lebih lemah. Jadi ciri yang bermental budak seperti itu. Pengecut, penakut, bahkan ketika dirinya lebih kuat dan besar.
Kemudian karakter yang selanjutnya adalah orang yang tujuan hidupnya asal tidak disakiti. Target kehidupan dia hanya asalkan ia tidak diganggu orang lain dan tidak tersakiti dan menderita. Dia tidak punya jiwa revolusioner dan hanya ingin tujuan yang minimalis agar hidupnya berjalan sangat datar dan biasa.
Karakter selanjutnya adalah berkarya dengan landasan “asal jadi” karena menganggap karyanya itu untuk orang lain. Misalkan biasanya di jenjang perkuliahan diberikan tugas oleh dosennya. Dia memilki tujuan "yang penting jadi" dan dosen menerima. Maka segala cara ia lakukan, seperti istilah “copy paste” dari website-website tertentu agar dosen menerima dan selesai tugas tersebut. Padahal hakikatnya karya itu untuk dirinya sendiri. Tapi karna dia bermental budak, mereka selalu mengira bahwa karyanya itu dipersembahkan untuk orang lain asalkan majikannya senang dan menerima itu.
ADVERTISEMENT
Kemudian ciri selanjutnya adalah menjelekkan atau menghina tempat ia tinggal atau bekerja. Dia mengalami keluh kesah lantas menceritakan keburukan itu kepada temannya tetapi dia tetap berada pada posisinya yang stagnan itu. Dia tidak memiliki setidaknya usaha untuk pindah ke tempat yang lain karena takut tidak mendapatkan pekerjaan dan sangat bergantung pada tempat kerjanya itu.
Kemudian salah satu karakter budak juga adalah “Playing Victim” (menganggap dirinya korban atau diperlakukan buruk). Karena dirinya terus-menerus menganggap semuanya sebagai antagonis dengan subjektivitas dirinya dan sudut pandangnya yang sangat sempit itu. Sehingga ia tidak lagi bisa berinisiatif untuk mengambil langkah karena takut bahwa langkah apapun yang ia ambil pasti ia akan menjadi korbannya. Atau dia yang melupakan beberapa kebaikan yang datang kepadanya karena keburukan-keburukan yang menimpa tanpa meninjau keburukan tersebut dari sudut pandang yang lain.
ADVERTISEMENT
Karakter yang terakhir adalah ia yang tidak berani berinisiatif dan menyampaikan secara langsung. Dia cenderung menyuruh orang lain untuk menyampaikannya atau berharap dari orang lain akan mewakili idenya. Misalkan dalam sekolah ada pertanyaan yang ingin ia ajukan, akan tetapi ia menyuruh temannya untuk menanyakan pertanyaan tersebut. Atau dalam ranah pekerjaan ia memiliki suatu ide tetapi enggan mengunggah ide tersebut lalu menyuruh rekannya yang menyampaikan hal tersebut.
Itulah setidaknya 10 karakteristik orang yang bermental budak. Harus digaris bawahi juga bahwa sebenarnya dalam sejarah, budak juga tidak berarti bahwa ia akan menderita. Karena ada beberapa tokoh-tokoh yang tercatat menjadi seorang yang hebat yang latar belakangnya adalah budak. Misalkan dalam sejarah islam ada Malik Baybars. Dia diperjual-belikan pada masa kecilnya tapi akhirnya ia menjadi seorang jendral dan raja. Dan bahkan mendirikan sebuah kerajaan yang nama kerajaan tersebut juga kerajaan budak. Karena penguasa-penguasanya kebanyakan berasal dari latar belakang tersebut.
ADVERTISEMENT
Maka disini terlihat perbedaan antara orang-orang yang bermental budak dan budak itu sendiri. Kalau ia berstatus budak tapi memiliki mental tuan atau raja, maka orientasi kehidupannya akan terealisasikan pada perkembangan personalitasnya sehingga ia bisa menjadi orang yang berhasil. Pertanyaannya adalah apakah kita termasuk dalam kategori orang yang bermental budak atau mental raja? Silahkan kita sama-sama meninjau ulang dan berintrospeksi diri.