Konten dari Pengguna

Cerita Santai Omnibus Law dari Kacamata Investor Luar

Mugi Bentang
Praktisi riset pasar dan industri. Pemerhati pasar dan perilaku konsumen. Saya bercerita untuk berbagi.
8 November 2020 9:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mugi Bentang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cerita Santai Omnibus Law dari Kacamata Investor Luar
zoom-in-whitePerbesar
Riuh rendah Omnibus Law mendapat perhatian dari banyak orang. Pada 2 November 2020 silam, Presiden Joko Widodo pun telah meneken Omnibus Law.
ADVERTISEMENT
Banyak yang bertanya, apa Omnibus Law itu menguntungkan, atau malah merugikan? Saya sebenarnya tidak ambil pusing. Yang jelas, saya mau cerita sedikit saja dari pengalaman saya..
Dari sini saya mau cerita, sedikit berbagi dari cerita saya. Saya tergabung dalam tim konsultan bagi para investor asing yang tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Kebanyakan dari mereka adalah orang dari Asia Timur: Tiongkok dan Jepang. Saya banyak mendengar keluh kesah mereka dalam hal menanamkan modal mereka di Indonesia. Sebut segala halang rintang yang ada di Indonesia: birokrasi, perizinan, sampai uang di bawah meja. Ya, itu semua ada di nusantara ini. Munculnya Omnibus Law, walau dengan segala komplain populis yang dilemparkan di jagat sosial, ternyata mendapat reaksi positif dari para investor.
ADVERTISEMENT

Kalau Jadi Investor Luar di Indonesia

Kalau Anda jadi pengusaha (baca: investor luar) dan perusahaan Anda berencana menanamkan modalnya di Indonesia, biasanya Anda akan berpikir-pikir lagi begitu mengetahui seluk beluk hutan rimba birokrasinya. Vietnam biasanya akan jadi lawan sepadan yang lebih untung ketimbang harus berinvestasi di Indonesia. Bukan hanya masalah rumitnya perizinan, tapi juga yang jadi masalah adalah standar moral dan kualitas kerja oknum aparatur negara yang KPI-nya lebih banyak ditentukan oleh uang dalam amplop.
Saya coba kasih contoh dari yang sering dikomplain oleh para investor dan kemudian kami hanya bisa mengangguk saja seraya menyajikan solusi dari perspektif konsultan.

Cerita Pak Bakso si Investor

Katakanlah namanya Pak Bakso. Kami namakan Pak Bakso karena rupanya beliau punya wishlist yang unik tiap kali ke Jakarta: makan Bakso Solo di Samrat. Beliau ini investor dari luar, warga negara Tiongkok. Beliau membawa prospesk investasi dengan membuka kawasan industri di Indonesia dengan nilai sebesar 80 juta USD.
ADVERTISEMENT
Garis start pertama, Anda harus koordinasi terlebih dahulu dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Di sana, Anda harus mengantongi izin dari BKPM yang mengetahui Anda akan melakukan penanaman modal. Dari izin BKPM itu, harus ditindaklanjuti ke tingkat Daerah dan instansi yang terkait (sesuai dengan bidang investasi yang ingin si Pak Bakso ini lakukan). Bicara undang-undang, hak pengelolaan tanah ada pada pemerintah daerah. Si Pak Bakso harus mendapat Izin Lokasi dari Pemerintah Daerah.
ADVERTISEMENT
Bicara Pemerintah Daerah apa sudah selesai? Saya maunya juga begitu kasihan bapak ini, tapi sayangnya tidak. Hak Pemda pun berjenjang dari Tingkat 1 sampai Tingkat 2. Semua harus dilewati. Coba bayangkan Izin BKPM lantas buat apa? Anda sudah mengantongi Izin BKPM toh ujung-ujungnya harus kembali lagi ke Pemerintah Daerah dengan proses lobbying yang tidak singkat dan investasi waktu yang tidak murah.
Proses tersebut biasanya bisa memakan waktu 3 bulan hingga 1 tahun. Bayangkan untuk bercengkrama dan meminta izin dari Pemerintah Daerah saja bisa lamanya minta ampun. Setelah Izin Lokasi ada, berarti bisa melalui proses pembebasan tanah, toh? Iya benar, tapi harus lewat dulu juga Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Entah itu usaha cuman pabrik kerupuk atau pabrik kimia, semuanya harus ada izin PPLH-nya. Belum lagi kalau bersinggungan dengan alam, urusannya lebih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Misal saya kasih contoh, seperti investasi luar dalam bentuk perkantoran maupun pabrik, itu ada setidaknya ada 8 hingga 11 lapis lebih izin PPLH yang harus didapatkan. Urusannya juga berbelit, bisa dari tingkat Kementerian hingga Kabupaten. Kalau izin PPLH sudah didapat, juga gak ada jaminan aman sentosa seperti di jalan raya saat ibadah solat ied. Ada lagi mainan oknum LSM. Mereka bisa kerahkan aksi demo sampai ke pengadilan menentang proyek. Kalau kalah di pengadilan, pemerintah cuman bisa bilang minta maaf. Ucapkan selamat tinggal bagi lapangan kerja yang tadinya bisa tercipta dan menghidupi banyak keluarga.

PPLH sudah di Tangan, Bisa Langsung, Kan? Eitss, Tunggu Dulu...

Sekarang sudah ada Izin PPLH, selanjutnya apa? Apa sudah bisa bangun? Sayangnya, belum. Jangan lupa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang sering terpampang di atas papan tunjuk kala Anda melewati sebuah proyek yang sedang dibangun. IMB mengharuskan Anda melampirkan desain bangunannya, yang nantinya untuk menentukan besaran biaya retribusi yang harus dibayar. Kalau cetak biru dan tata ruang tidak dianggak sesuai dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), ya berarti punten dan maaf IMB tidak bisa keluar.
ADVERTISEMENT
Berlapis izin dari Izin BKPM sampai PPLH itu jadi tidak ada gunanya. Seperti main monopoli dengan mata tertutup, toh? Para pengusaha biasanya akan marah dalam kondisi seperti ini dan cenderung memilih cut loss daripada menghabiskan waktu lagi. Para pengusaha mendapat perlakukan costumer experience yang buruk. Kalau di market riset, istilah yang disebut adalah detractors alias memberikan citra buruk kepada para taipan pengusaha lainnya untuk tidak menanamkan modalnya di Indonesia. Jadinya, welcome Vietnam! Lebih baik ke sana dengan kebijakan satu pintu yang sudah jelas.
Sekarang, katakanlah, kebetulan si Pak Bakso ini akan menanamkan modalnya di suatu daerah Indonesia yang sudah banyak berbenah. IMB keluar, jeng jeng.
ADVERTISEMENT
Walah makjan..
Dari BKPM, PPLH, IMB, sambutlah IMTA, RPTKA, dan teman-temannya
Dari semua izin yang sudah ada di tangan, sayangnya masih ada izin lagi, yang paling banyak muncul ialah izin Tenaga Kerja Asing.
Saya kasih contoh gampang, Pak Bakso perlu membangun infrastruktur industrinya dengan menggunakan peralatan mesin dari negerinya. Sayangnya, belum ada tenaga di Indonesia yang paham apalagi paham untuk hal itu.
Pembangunan infrastruktur industri tersebut harus dibarengi dengan pembangunan fisik industri itu sendiri, karena mesinnya bersifat built in. Sayangnya, Pak Bakso harus menunggu beberapa saat lagi. Ada Izin Tenaga Kerja Asing (TKA) yang harus dilalui.
ADVERTISEMENT
Untuk mendapatkan izin bagi TKA juga tidak mudah. Pak Bakso harus mengurus izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Prosesnya juga rumit, lumayan rumit. Anda, tempatkan diri dari kacamata Pak Bakso, harus mengantongi izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA),Visa Tinggal Terbatas (VITAS), sampai Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asimg (IMTA). Jangan dibayangkan hanya satu orang saja, mohon maaf bukan seperti install game di gawai Android, bayangkan ratusan hingga ribuan orang: repotnya bakal minta ampun!
Katakanlah lolos semua izin itu, belum ada garansi juga bagi para TKA. Ada lagi kartu oknum LSM dan oknum buruh lokal yang minta jatah untuk tidak bersuara. Kalau tidak ada jatah, ya siap-siap: ASENGG ASEEENG! Padahal, niat Pak Bakso baik. Demi mengajari tenaga lokal untuk bisa mandiri mengoperasikan mesinnya. Win-win solution juga bagi Pak Bakso secara hitung-hitungan bisnis dengan mempekerjakan tenaga lokal.
ADVERTISEMENT
Okee, sebutlah sekarang usaha berdiri dan sudah mengantongi izin yang berjubel itu. Masih ada lagi yang harus dihadapi dan terkenal di antara para investor: hama oknum LSM, oknum politisi, dan oknum organisasi buruh abal-abal. Bayangkan, apa ada masalah seperti ini di Vietnam? Oh tidak ada, Fergusso, alias minim. Gak ada preman kacungpret kaya gini lawan pemerintahnya, bisa didor besok hilang.

Isu Investasi Luar yang Ramai Digoreng: Ibarat Bakwan Goreng

Ibarat bakwan goreng, isu Foreign Investment adalah isu yang sensitif dan mudah digoreng. Bagaimana tidak, banyak elemen yang ikut campur di dalamnya; termasuk yang paling sensitif, buruh. Buruh adalam mesin politik bagi para politisi. Kapan saja bisa diledakan emosinya ketika dibutuhkan untuk mencapai suatu plot skenario yang buruk. Anda tidak bisa memecat sewenang-wenang oknum buruh yang bermain hal buruk di perusahaan Anda, menjadi benalu padahal sudah sangat merugikan perusahaan Anda. Termasuk seperti memobilisasi massa untuk memusuhi dan menuntut manajemen, hingga bekerja sama dengan oknum LSM untuk menggoreng isu. Yang dapat uangnya? Ya paling ujung-ujungnya mereka yang di belakang pion itu.
ADVERTISEMENT
Anda menolak? Siap-siap dibawa ke pengadilan. Keluar biaya lagi bagi perusahaan untuk bayar lawyers. Belum lagi kalau dapat oknum pengadilan yang curang, bisa digoreng dan dipanggang well-done lagi Anda.
Masih belum cukup, saya kasih lagi: Ketentuan UMR. Bisa setiap tahun naik tanpa peduli pabrik atau industri Anda mendapatkan produktivitas yang wajar atau enggak. Serikat Pekerja juga berpengaruh menentukan jam kerja lembur. Pak Bakso tidak bisa seenaknya mengatur jam lembur, semuanya harus lewat Serikat Pekerja terlebih dahulu. Jadi bayangkan, Pak Bakso dan manajemennya mendapatkan orderan lebih, tidak bisa serta merta Pak Bakso setuju akan orderan itu. Karena semuanya harus didiskusikan terlebih dahulu dengan Serikat Pekerja. Untung-untung Serikat Pekerjanya adalah mereka orang baik, nah kalau mereka yang cuman ambil keuntungan? Kebayang toh. Hal kaya gini hampir gak ada di Vietnam, apalagi Tiongkok. Semuanya tidak perlu sebirokratif itu. Anda tidak mau lembur, ya gak apa, tapi Anda gak dapat tambahan. Yang dibangun di sana adalah jiwa korsa antara buruh dan karyawan, bukan jiwa saling sikut-sikutan ambil keuntungan karena perusahaan dianggap punya banyak uang.
ADVERTISEMENT

Omnibus Law? Kalau Dibandingkan Vietnam, juga Malaysia dan Thailand, Kita Tertinggal Jauh...

Sudah terbayang apa yang saya ceritakan tadi? Hal-hal itu yang, jangan heran, membuat Pak Bakso dan rekan-rekan taipannya mundur dari Indonesia dan lebih memilih Vietnam. Birokrasi perizinan menanamkan modal di Indonesia sangat kacau, parbet: parah banget. Belum selesai bicara birokrasi, masih ada pemangsa yang siap menggerogoti uang Anda kemanapun Anda pergi.
Keberadaan UU Sapu Jagat Omnibus Law ini bertujuan untuk memangkas perizinan, supaya ramah bagi investor.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa, UU Omnibus Law menghapus Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Khusus PPLH juga diberikan kepada usaha yang sangat berbahaya, seperti katakanlah industri kimia atau industri yang berkaitan dengan pengolahan smelter.

Kaitannya dengan Tenaga Kerja

Kaitannya dengan Sumber Daya Manusia juga mendapat tempat pada Omnibus Law. Perusahaan tidak bisa ditempatkan pada posisi sama dengan karyawan. Ya fair dong? Kenapa? Karena resiko ada pada pelaku usaha alias perusahaan dan secara organisasi perusahaan punya sistem kaderisasi alias pembinaan terhadap para pekerjanya.
Bayangkan apa jadinya kalau diposisikan pada sudut yang sama. Pembinaan dan tujuan perusahaan tidak akan tercapai, gak akan efektif! Sistem reward and punishment juga tidak akan jalan, tidak ada integritas yang terbangun antara perusahaan dan karyawan. Karyawan seenak jidat melakukan semau mereka dengan menuntut banyak hal sementara minim produktivitas yang dicapai. Bisa parah , toh? Ekosistem dan budaya kerja yang tadinya hendak dibangun perusahaan dengan memerhatikan segala aspek sosial yang ada, bisa berbenturan dengan hal seperti ini.
ADVERTISEMENT
Sekarang bicara tentang UMR atau Upah Minimum Regional. UMR itu bicara sejalur dengan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah. Ketika pertumbhan ekonomi daerah tinggi, maka semakin tinggi pula UMR-nya. Pertumbuhan ekonomi juga beririsan dengan laju inflasi. UMR, sebelumnya, ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dengan kurang memperhatikan pertumbuhan ekonomi daerah.
Dari kacamata pengusaha maupun penanam modal, hal itu tentu tidak adil. Ditambah lagi, UMR itu hanya patokan minimal. Bukan keharusnya jumlahnya yang dibayar sebesar itu. Katakanlah buruh maupun pekerja punya produktivitas yang tinggi, tentu perusahaan akan bayar upah yang lebih tinggi daripada UMR. Tidak ada di dunia ini, kecuali perusahaan bodong, yang enggan menjadikan para pekerjanya sebagai aset mereka. Semuanya menganggap, pekerja adalah aset yang sangat bernilai dalam meningkatkan pertumbuhan perusahaan.
ADVERTISEMENT
Bicara lagi tentang UU Omnibus Law, ia juga memangkas perizinan yang panjang untuk Tenaga Kerja Asing. Alurnya juga sudah jauh sederhana, kalau perusahaan sudah dapat Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing atau RPTKA, ya maka sudah selesai perizinannya. Boleh mendatangkan tenaga ahli dari luar, knowledge transfer alias transfer ilmu pengetahuan pun berjalan. Tenaga kerja lokal kita bisa memiliki kemampuan dan pengetahuan yang sebelumnya tidak ada.
Untuk masalah TKA, perusahaan maupun pekerja sama-sama tidak perlu khawatir. Selagi tidak melanggar ketentuan RPTKA, semuanya memiliki batas kewenangannya. Dalam RPTKA, sudah ada standar kepatuhan yang sifatnya wajib dipenuhi perusahaan: seperti kriteria TKA, upah, dan lainnya. Audit pemerintah juga ada, dilakukan secara berkala. Melanggar izin? Ya cabut izinnya. Gak perlu berleha-leha dan berlama-lama, toh cuman satu izin. Tinggal dipulangin.
ADVERTISEMENT

Jangan Berpikir dengan Kacamata Populis saja..

Saya sendiri melihat Omnibus Law sebagai dobrakan baru yang digalakan pemerintah, tapi sayangnya gagasan ini tidak bisa dan tidak akan pernah bisa diterima oleh pemikiran populis manusia Indonesia sekarang ini.
Ya bagaimana mau diterima, dibaca saja pun enggan, langsung digoreng oleh oknum NGOs yang digerakkan melalui social justice warrior di media sosial seakan-akan Omnibus Law ini kejam dan keji.
Pada dasarnya, sekarang saya merasa Indonesia harus bergerak pemikirannya, dari maunya "dilayani" sekarang harus siap "mandiri" dan "melayani". Tantangan kita sulit, sangat sulit, dan tidak bisa hanya memanjakan saja. Tantangan ke depan adalah tantangan global yang semakin terbuka dan berkompetisi.
ADVERTISEMENT
Lemah dalam menjawab tantangan itu bisa berbuah kepada lambatnya pertumbuhan ekonomi. Lambatnya pertumbuhan ekonomi bisa memunculkan masalah sosial dan politik yang lebih rumit lagi.
Sudah saatnya, Indonesia mandiri.
Tulisan hasil pemikiran penulis: Mugi Bentang. Mugi merupakan seorang praktisi riset pasar dan konsumen. Dia juga tergabung dalam tim yang berkecimpung di konsultasi investor dari luar, termasuk properti dan industri FMCG. Tulisan berasal dari berbagai sumber dan cerita pribadi.