Konten dari Pengguna

Kisah Haru di Hari Tua Nenek Ijah

Mugi Cahyaningtyas
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
16 Desember 2022 18:41 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mugi Cahyaningtyas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Namanya nenek Ijah, usianya sudah delapan puluh tahunan. Tubuhnya kurus kering, rambutnya telah berubah menjadi putih, sudah keriput, tubuhnya membungkuk dan sudah sulit berdiri apalagi berjalan. Setiap hari nenek Ijah hanya berbaring di dalam rumahnya yang terbilang tidak layak huni.
Nenek Ijah dengan Kasur Sederhananya. Dok : Foto Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Nenek Ijah dengan Kasur Sederhananya. Dok : Foto Pribadi
Rumah yang berada di gang kecil di Kota Kebumen, Jawa Tengah ini juga sangat kecil, hanya terdiri dari ruang tamu sekaligus ruang tidur. Tidak ada dapur dan perabotan rumah tangga. Sumur dan kamar mandi terletak di luar rumah yang biasa dipakai bersama-sama dengan anaknya.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya kasur yang digunakan untuk tidur tampak sudah sangat lusuh karena tidak pernah dibersihkan. Begitu masuk ke dalam rumahnya tercium bau tidak sedap yang cukup menyengat. Beberapa potong kain jarik yang telah kumal tampak di sudut ruangan menambah kesan kumuh. "Itu kain untuk membersihkan kotoran", kata Umi yang menjadi satu-satunya anak dari sembilan bersaudara yang masih peduli pada nenek Ijah. Rumah Umi bersebelahan dengan rumah nenek Ijah.
Anak-anak nenek Ijah jarang sekali menjenguk, paling-paling setahun sekali ketika lebaran. Umi tampak begitu tulus merawat nenek Ijah. Sayangnya keterbatasan finansial membuatnya tidak bisa memberikan sesuatu yang lebih. Suaminya hanyalah buruh harian lepas yang juga punya tanggungjawab menghidupi anak-anaknya.
Malangnya nenek Ijah, suaminya sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Dulu ketika nenek masih kuat, mereka bekerja bersama demi anak-anak yang masih lemah. Kini anak-anaknya yang sudah kuat, yang dahulu sangat diidamkan bisa jadi sandaran di hari tua. Sayangnya harapan nenek Ijah terlalu tinggi, pada kenyataannya, dia harus menerima kenyataan pahit yang membunuh semua harapannya. Bahkan kadang nenek Ijah menangis sambil berkata “duh gusti, kulo deneng dados niki, anak kulo kathah tapi kulo deneng tuane kados niki” ujarnya dalam bahasa Jawa yang berarti “Ya Allah, saya kenapa seperti ini, anak saya banyak tapi kenapa saat saya tua jadi seperti ini”.
ADVERTISEMENT
Besar keinginan nenek Ijah untuk bisa mengumpulkan anak-anaknya. Dalam kondisinya yang cukup depresi karena terjadi konflik pada beberapa anaknya, nenek Ijah sering menyebut nama-nama mereka yang jarang sekali pulang.
Hal ini membuat Umi kadang merasa jengkel karena dibedakan sedangkan dialah yang mau merawat nenek. Sebenarnya nenek Ijah merasa gagal mendidik anak-anaknya sehingga tali cinta anak kepadanya seperti putus namun tali cintanya kepada anak-anak tetap utuh sampai kapanpun.