Konten dari Pengguna

Penghargaan terhadap Hari Kartini dan Hari Bumi: Alam dan Perempuan

MUH FHAJAR FEBRYAN
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
25 April 2024 12:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari MUH FHAJAR FEBRYAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kegiatan Sekolah Kesetaraan guna meningkatkan kesadaran terhadap perempuan, oleh Sekolah Kesetaraan di Universitas Mulawarman (Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan Sekolah Kesetaraan guna meningkatkan kesadaran terhadap perempuan, oleh Sekolah Kesetaraan di Universitas Mulawarman (Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Artikel ini saya buat dalam rangka penghargaan terhadap Hari Kartini, pada 21 April, dan Hari Bumi, pada 23 April. Awalnya saya berencana membuat artikel khusus Hari Kartini, tapi karena berdekatan dengan Hari Bumi, maka akan saya jadikan satu dengan judul Alam dan Perempuan. Saya pikir itu ide yang brilian.
ADVERTISEMENT
Artikel ini sendiri saya ciptakan karena terinspirasi dari Rocky Gerung dalam YouTube Jurnal Perempuan, yang saat itu berbicara mengenai etika lingkungan dan dikaitkan dengan feminisme. Jadi sudah sepatutnnya saya berterima kasih kepada sang guru. Maka dari itu, artikel ini akan berbicara mengenai alam yang sudah pasti mewakilkan Hari Bumi dan feminisme atau perempuan yang mewakili Hari Kartini.
Saya tidak akan berbicara tentang Hari Bumi dan Hari Kartini, karena saya yakin kita semua sudah tahu dan mengerti apa makna dari dua hari tersebut. Di sini saya akan langsung pada apa sebenarnya maksud dari alam dan perempuan pada judul artikel saya. Buku Should Trees Have Standing oleh Christoper D. Stone, dan The Second Sex oleh Simone de Beauvior, akan menjadi referensi saya dalam menciptakan artikel ini.
ADVERTISEMENT
Alam sedari dulu menghadapi berbagai macam bentuk ketikadilan akibat ulah manusia. Baik itu penebangan hutan secara masif atau liar, tambang liar, pembuangan limbah sembarangan, kerusakan lingkungan akibat limbah manusia, dll. Itu semua adalah contoh ketidakadilan pada alam, dan hal tersebut berkorelasi dengan perempuan, yang diklaim memiliki semua jenis ketidakadilan yang ada di dunia, mulai dari cat calling, pelecahan atau kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan lain sebagainya.
Baik kerusakan pada alam dan perempuan, mayoritas disebabkan oleh para laki-laki yang tidak punya kepedulian terhadap lingkungan, dan dikuasai oleh arogansi patriarki. Jadi di situlah letak korelasi antara alam dan perempuan. Terletak pada ketidakadilan yang didapatkan akibat ulah kepicikan laki-laki. Lalu masuk kepada dua buku yang sudah saya sebutkan tadi, maka kita berbicara soal sejarah hukum atau sejarah filsafat hukum. Dalam buku Stone, menceritakan bagaimana dulu pohon tidak dianggap sebagai subjek hukum, yang alasannya karena pohon itu tidak hidup.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks subjek hukum, di dalam buku Beaviour, dahulu perempuan juga tidak dianggap sebagai subjek hukum, karena arogansi patriarki yang mendominasi kekuasaan dan otoritas yang tercermin pada hukum itu sendiri. Layaknya pohon di buku Stone, perempuan juga hanya dianggap sebagai objek, yang dilihat sebagai pelayan laki-laki atau sebagai objek pemuas hawa nafsu lelaki saja. Layaknya pohon yang ditebang karena dianggap sebagai objek pemuas hawa nafsu kapital.
Karena kesamaan itu, saya menciptakan artikel ini, sebagai enlightment (pencerahan) bahwa secara historis (sejarah) alam dan juga perempuan memiliki keterkaitan yang erat dalam konteks hukum dan ketidakadilan, yang disebabkan oleh kepicikan laki-laki. Saya tidak akan menggeneralisir semua laki-laki, tapi sesuai apa yang saya berikan di atas, mereka yang dikelilingi oleh arogansi patriarki. Tapi masalahnya, rata-rata dulu dikelilingi oleh hal tersebut. Buktinya apa? Saya bisa berikan argumen logis saja, yaitu ketika perempuan tidak dijadikan subjek hukum, maka hal itu pasti merupakan hasil dari kebudayaan yang secara teori kurva normal (rata-rata) dianut oleh masyarakat pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Bahkan di jaman sekarang, kultur patriarki ini masuh merajalela di mana-mana, tidak perlu jauh-jauh, saya yakin di sekeliling kita saja masih ada, bahkan pada lingkungan akademis seperti sekolahan dan kampus, yang terkadang kita tidak sadari. Hal ini juga didasarkan pada faktor empiris saya pribadi, yang sering saya jumpai di mana-mana. Baik ketidakadilan pada perempuan dan alam, sampai sekarang masih terjadi. Contoh yang paling dekat dengan kita yaitu di Indonesia, baik itu deforestasi, penggundulan hutan, kerusakan terumbu karang dll.
Memang angka-angka kerusakan lingkungan di Indonesia kian menurun, baik angka deforestasi, dan kekerasan pada perempuan. Tapi hal itu tidak menjadi alasan bagi kita terus menyuarakan bentuk ketidakadilan terhadap keduanya, baik itu alam dan juga perempuan. Bukan hanya dalam konteks kekerasan, dan pelecehan, dalam konteks upah saja, masih terdapat ketidakadilan pada perempuan.
ADVERTISEMENT
Bukankah karena ketersediaan alam kita mampu membangun peradaban? Bukankah karena dari rahim perempuan kita dilahirkan, guna menghasilkan masa depan bangsa yang penuh harapan? Bukankah karena kisah-kisah yang Ia ceritakan sebelum kita tidur, akhirnya membuat kita mampu mengaktifkan imajinasi dan menghantarkan kita kemampuan berpikir kritis dan punya daya imajinatif? Bukankah kecerdasan kita diturukan dari seorang ibu? Maka dari itu, saya harap melalui tulisan ini, kita bisa membangun lebih kesadaran kita bahwa ketidakadilan pada alam dan perempuan masih masif dilakukan, dan hal ini terjadi demi memuaskan rahim dari laki-laki.
"Menjaga bumi berarti menjaga perempuan. Perempuan adalah kunci untuk keberlanjutan." - Michelle Obama, mantan Ibu Negara Amerika Serikat.