Konten dari Pengguna

Polemik Pengeras Suara di Negara Majemuk Beragama

MUH FHAJAR FEBRYAN
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
14 Maret 2024 6:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari MUH FHAJAR FEBRYAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi, pengeras suara masjid. Foto: Indra Fauzi/Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi, pengeras suara masjid. Foto: Indra Fauzi/Kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ADVERTISEMENT
Saya akan ambil tiga komentar, pertama dari akun Instagram @my_fdhil mengatakan “Setuju gk klo mentri agama RI di ganti” lalu dari @scootermatickaltim “Bapak menteri lagi lucu lucu nya *emoji tertawa” yang terakhir dari @gustiambri
“Tanda2 akhir Zaman dah. Perlahan lahan menggerus keimanan seseorang dengan berbagai cara. Dengan kekuasaan bisa mengatur semuanya. Entar juga nyesal sendiri kalau udh kena Azab dari Allah. Tunggu aja yah pak, puasin aja anda mengatur semaunya.... *emoji tertawa)
Bisa dilihat bahwa, terdapat polemik dari SE Menag tersebut. Polemik secara sederhana, adalah pertentangan pendapat pada skala sosial, politik atau umat beragama. Polemik pada artikel ini diakibatkan karena masalah pengeras suara, yang terjadi di negara Indonesia, yang ditinggali oleh beragam umat beragama. Karena keberagaman inilah isu ini bisa muncul, kemajemukan agama, mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat, dan bisa berujung pada bentuk kekerasan dalam skenario terburuknya.
ADVERTISEMENT
Polemik, apalagi dalam negara dengan kemajemukan agama, pasti lah tidak dapat dihindarkan, apalagi di negara Indonesia, yang secara sah mengakui keberadaan 6 agama, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Pelarangan penggunaan pengeras suara tersebut, dianggap oleh umat beragama Muslim, sebagai suatu kebijakan intoleransi, apalagi penggunaan pengeras suara tersebut sudah menjadi suatu budaya. Tetapi sebaliknya, ada pula, umat beragama lain baik itu Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu, bahkan Muslim itu sendiri yang mengatakan bahwa, kebijakan yang dikeluarkan oleh Menag adalah bentuk toleransi, karena kemajemukan beragama.
Sebelum pergi lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui dulu apa itu toleransi. Toleransi menurut KBBI adalah bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Sedangkan secara etimologi, “toleransi” berasal dari bahasa Latin yaitu “tolerare” yang berarti sabar dan menahan diri.
ADVERTISEMENT
Toleransi menjadi suatu hal yang harus ditegakkan, dan sudah pasti diajarkan pada setiap agama. Maka dari itu, seharusnya seluruh umat beragama mengamalkan dan juga konsisten dalam menegakkannya. Tapi karena pemeluk agama itu adalah manusia yang secara kodratnya bebas bertindak dan berpikir, maka terkadang, pengamalan atau pendefinisian toleransi ini masih subjektif. Jadi, akar atau dasar dari prahara pada isu ini adalah, subjektivitas definisi.
Subjektivitas sendiri berarti bahwa perspektif seseorang dalam melihat atau mendefiniskan sesuatu, dipengaruhi oleh faktor-faktor yang subjektif, seperti pengalaman individu, agama, budaya, atau nilai-nilai yang dianut suatu individu atau kelompok. Nah di sinilah letak permasalahannya. Setiap umat beragama atau individu, memiliki faktor-faktor subjektif, yang mendasari cara mereka mendefinisikan atau mengartikan kata toleransi, yang bisa berujung pada prahara, karena biasanya pendefinisan itu sudah mengikat kuat pada diri mereka.
ADVERTISEMENT
Subjektivitas definisi, pada konteks ini, terkadang berujung pada bentuk ketidakadilan bagi umat beragama, atau individu lain. Padahal sejatinya, toleransi itu menciptakan keadilan bagi semua, agar mampu menciptakan kehidupan yang harmoni. Maka dari itu, menurut saya, terdapat dua tahapan cara untuk menyelesaikannya. Yang pertama adalah dengan menyepakati definisi toleransi, atau kontrak sosial, yang tidak merugikan pihak manapun dan menciptakan keadilan. Lalu yang kedua adalah dengan cara berdemokrasi dengan baik.
Cara pertama adalah kontrak sosial. Menurut Jean-Jacques Rousseau, kontrak sosial adalah bentuk kesepakatan, yang bukan hanya terjadi pada individu dengan pemerintah, tetapi bisa juga terjadi antar individu atau masyarakat. Yang gunanya untuk melindungi kepentingan bersama atau kolektif dari masyarakat majemuk. Cara yang dilakukan, adalah dengan memberikan hak dan juga kebebasan dari masing-masing umat beragama, guna mencapai kepentingan kolektif. Pendefinisian dan praktik toleransi adalah tujuan dari kesepakatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Lalu cara yang kedua adalah dengan berdemokrasi yang baik. Berdemokrasi di sini bukan hanya melibatkan masyarakat, tetapi juga dengan pemerintah. Dalam buku “Filsafat Demokrasi” oleh Hendra Nurthjahjo, SH., M.Hum dikatakan bahwa jika ditelaah dari kacamata hukum, social justice (keadilan sosial) adalah satu hal yang ingin diwujudkan oleh demokrasi, lalu diabsahkan menjadi legal justice (keadilan hukum). Nah, di sinilah letak pemerintah bekerja, karena social justice tersebut dapat dicapai melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai lembaga politik yang sah. Lalu melalui lembaga hukum, seperti pengadilan atau dapat dilalui dengan artbitrase.
Jadi, melalui cara pertama dengan melakukan kontrak sosial, antar masyarakat, guna mencapai kepentingan kolektif melalui kesepakatan. Lalu setelah itu, demi mencapai keadilan sosial atau social justice, maka, maka perlu lembaga pemerintah, atau cara kedua, guna mengabsahkan kesepakatan itu, melalui metodologi demokrasi, yang menempatkan metode kuantitatif (suara mayoritas) yang sudah dicapai melalui cara pertama, guna melahirkan political justice (keadilan politik) yang akan sejalan dengan social justice dan legal justice.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, pendefinisian dan praktik toleransi mampu dicapai, guna menghasilkan masyarakat yang toleran dan harmoni. Dapat dicapai dengan dua tahapan cara tersebut, karena negara kita (Indonesia) menggunakan sistem demokrasi, demokrasi konstitusional lebih tepatnya, maka hal tersebut pasti dapat dicapai. Tentu dengan melalui proses terlebih dahulu, yaitu dialog atau bahkan perdebatan yang sehat.