Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Salah Bijak Salah Jalan: Berfilsafat Untuk Tuhan
17 Mei 2024 13:07 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari MUH FHAJAR FEBRYAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Filsafat sering kali disalahartikan oleh orang-orang. Bahkan hingga sekarang, masih banyak yang menyalahkartikan filsafat sebagai ilmu yang akan mengantarkan seseorang menuju kesesatan atau klaim dangkal bahwa belajar filsafat akan membuat seseorang menjadi ateis (tidak percaya dengan Tuhan), atau setidaknya semakin jauh dengan Tuhan . Saya pikir ini adalah klaim yang diajukan oleh seseorang yang datang dari mereka yang tidak membaca pikiran filosofis atau kurang berfilsafat.
ADVERTISEMENT
Sekarang saya akan membongkar apa maksud dari judul artikel ini, “Salah Bijak, Salah Jalan. Pertama-tama mari kita kembali pada dua kata filsafat. Filsafat berasal dari dua kata, “Philo” yang artinya cinta dan “Sophie” yang artinya kebijaksanaan. Maka dari itu secara harfiah, filsafat artinya adalah cinta akan kebijaksanaan. Cinta itu kita bisa analogikan seperti petarung yang tidak pernah menyerah dalam meraih tujuannya, yang dalam hal ini kebijaksanaan sebagai tujuannya. Lalu apa itu kebijaksanaan? Kebijaksanaan merupakan keahlian individu dalam menggunakan pengetahuannya ketika menghadapi permasalahan mendasar dalam hidup yang menghasilkan solusi sebagai alternatif pemecahan masalahnya . Dalam KBBI, kebijaksanaan berarti kepandaian menggunakan akal budi.
Dari situ maka jelas, bahwa seorang yang berfilsafat, tidak akan pernah menyerah dalam menuju kebijaksanaan, karena filsafat sendiri lingkupnya tanpa batas. “Salah Bijak, Salah Jalan” di situ maksudnya adalah, ketika kita salah dalam mengartikan kebijaksaanan, maka kita pasti salah jalan dalam berfilsafat. Sebab bijaksana dalam berfilsafat artinya terus dan terus mencari, bertanya dan menyelam dalam berbagai hal. Dalam konteks ini saya sudah beri batasan sesuai judulnya, yaitu berkaitan dengan Tuhan. Masih banyak saya jumpai orang yang belajar filsafat, tapi kebijaksanaan mereka hanya terhenti pada salah satu aliran saja, dan aliran itu diinternalisasi dalam kehidupan mereka tanpa ada keinginan untuk mendalami aliran lain.
ADVERTISEMENT
Kita ambil contoh yaitu nihilisme, dengan aktor utama yaitu Nietzsche, dengan dalilnya yang paling terkenal “Tuhan sudah mati” membuat banyak orang menjadi seorang ateis, karena ketidakinginan Nietzsche yang patuh pada nilai yang absolut. Filsafat Nietzsche memang saya bisa katakan ampuh membuat seseorang ragu terhadap kepercayaan mereka terhadap Tuhan. Hal ini juga dibuktikan dari saya sendiri yang membaca jalan pikiran Nietzsche, dan sempat ragu-ragu terhadap Tuhan. Saya memperhatikan, banyak orang yang berfilsafat, tapi hanya terpacu pada satu aliran, yang dalam kasus ini Nietzsche, lalu berubah yang awalnya teis menjadi ateis.
Di situ letak kesalahannya. Letaknya berada pada terhentinya kebijaksanaan pada filsafat Nietzsche saja. Terkadang mereka lupa ajaran Nietzsche adalah ajaran ketidamauannya tunduk dengan Tuhan, yang berarti terdapat dua variabel, yaitu variabel nihilisme dan Tuhan. Kita ambil contoh mereka yang keluar dari agama Islam, sehabis membaca buku-buku Nietzsche, karena dirasa masuk akal, dan tidak mau tunduk pada moralitas absolut Islam. Aturan atau nilai dalam Islam yang absolut yaitu perintah untuk berpuasa di Bulan Ramadhan salah satunya. Bagi para penganut nihilisme, akan memiliki cara pandang bahwa untuk apa tunduk pada perintah untuk berpuasa. Padahal sejatinya, puasa memiliki banyak manfaat, baik itu mengurangi gula darah salah satunya cari segi kesehatan, dan dari segi psikologis mampu meningkatkan rasa empati dan simpati.
ADVERTISEMENT
Masih banyak lagi perintah dan nilai-nilai di dalam ajaran teologis Islam yang jika ditelurusi lebih dalam memiliki banyak sekali manfaat dan bisa ditelurusi secara filsofis. Tapi karena terhentinya kebijaksanaan pada satu ajaran, maka pasti tidak akan salah jalan dalam konteks kebijaksanaan itu. Kesalahan itu terletak pada hanya mendalami satu variabel saja, tapi tidak mendalami variabel lain yang menjadi problem mengapa variabel A menolak variabel B. Akan terjadi kesesatan berpikir ketika hal itu terjadi, dan saya bisa katakan, itu adalah cara yang salah dalam berfilsafat.
Sejatinya berfilsafat tidak hanya berhenti pada satu variabel saja, karena filsafat itu berbicara tentang konsep, maka kamu perlu mendalami konsep-konsep apa saja yang ada dalam suatu kajian filsafat, guna menghasilkan pengetahuan baru. Contohnya kamu ingin berbicara mengenai filsafat post-strukturalis dan keterkaitannya dengan feminisme. Ketika ingin berbicara mengenai dua hal itu, maka tentu kamu perlu paham tentang filsafat post-strukturalis secara mendalam dengan feminisme, jika tidak maka kamu akan sulit untuk menemukan titik terang dari apa keterkaitan mengenai dua hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Sama halnya berfilsafat tentang Tuhan, yang membuat seseorang berhenti mempercayai Tuhan terkadang karena mereka menggunakan logikanya dalam bernalar tentang Tuhan. Karena jalan pikir materalisme dan empirisme yang biasanya menjadi landasan berpikirnya. Memang Tuhan itu ghoib dan abstrak, tapi bukannya sedari awal filsafat berbicara tentang suatu yang abstrak? Bahkan didominasi hal tersebut dan dijadikan sebagai acuan kebenaran dan kebijaksanaan. Lalu berbicara materialisme, yang dijadikan argumen untuk membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada, karena wujudnya tidak ada. Tapi para kaum materialis saya yakin percaya dengan waktu, padahal waktu itu wujudnya saja tidak ada.
Lalu bagaimana berfilsafat tentang atau untuk Tuhan? Filsafat itu selalu gandrung dengan “the not yet” lalu kita padukan dengan ajaran teologis (ketuhanan) yang absolut, yang berarti seluruh firman Tuhan, sabda rasul dan nabi adalah yang paling baik. Dari situ kita bisa memulai. Cara memadukannya adalah, kita hidupkan dulu metode berpikir filsafat, dengan mempertanyakan berbagai hal yang akan mengaktifkan pikiran kritis. Setelah itu, mulai coba manfaatkan pikiran kritis itu untuk bertanya segala hal teologis. Di sini perjalanan berfilsafat tentang Tuhan dimulai. Berdasarkan pengalaman pribadi saya, saya mempertanyakan tentang mengapa saya harus menghindari sikap suka berbohong, kenapa saya harus bersikap rendah hati kepada sesama, mengapa harus memuliakan tetangga, kenapa harus salat, berpuasa, dll.
ADVERTISEMENT
Segala pernyataan itu bisa saja dicari jawabannya baik melalui kitab suci, dalil para rasul dan nabi. Bukan hanya dengan bertanya, kita juga bisa melakukan pendekatan dengan Tuhan melalui pemikiran para filsuf, contohnya dengan cara Immanuel Kant melalui filsafat trasedentalnya dan juga 3 cara pembuktian keberadaan Tuhan melalui rasio murni: bukti ontologis, kosmologis dan fisiko-teologis. Ide Kant kalian bisa baca melalui buku Sejarah Filsafat Barat oleh Bertrand Russell, pada halaman 925. Ketika kalian sudah membaca ide Kant tentang Tuhan, maka kalian bisa kaitkan itu dengan ajaran teologis, contohnya Islam, di mana sama dengan ajaran Kant yang memandang secara ontologis bahwa Tuhan adalah Dzat.
ADVERTISEMENT
"Tuhan itu maha keren nan philo sophie"
Muh. Fhajar Febryan