Eksistensi Asas Dominus Litis Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Dr Muh Ibnu Fajar Rahim
Doktor Usia 27th. Berprofesi sebagai Jaksa dan Dosen President University.
Konten dari Pengguna
29 Mei 2022 14:45 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr Muh Ibnu Fajar Rahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Istilah dominus litis sampai saat ini masih menjadi perdebatan dalam sistem peradilan pidana. Siapakah pemilik asas dominus litis ini? Ada yang mengatakan pemiliknya adalah hakim dan adapun yang menjawab jaksa. Selain itu, banyak pula yang tidak mengakui keberadaan asas dominus litis sebagai asas hukum yang berlaku dalam hukum acara pidana. Oleh karena itu, sebagaimana postulat "ad recte docendum oportet primum inquirere nomina, qula rerum cognition a nominibus rerum dependent" yang bermakna agar dapat memahami sesuatu perlu terlebih dahulu diketahui namanya agar mendapat pengetahuan yang benar, maka penulis kali ini akan membahas terkait eksistensi dominus litis dalam berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu alternatif pemikiran yang argumentatif dalam menyelesaikan perdebatan tersebut.
Muh. Ibnu Fajar Rahim
Secara etimologi, dominus litis berasal dari Bahasa Latin, yaitu dominus yang berarti pemilik, dan litis yang berarti perkara (Andi Hamzah, 2008:16). Sedangkan, secara terminologi, US Legal memberikan pengertian “Dominus litis is the person to whom a suit belongs. This also means master of a suit. The person has real interest in the decision of a case. It is this person who will be affected by the decision in a case. This person derives benefits if the judgment is in favor, or suffers the consequences of an adverse decision" (US.Legal.com). Berdasarkan pendekatan etimologi dan terminologi tersebut, dapat dipahami dominus litis adalah pemilik perkara atau orang yang menentukan jalannya suatu perkara atau orang yang mempunyai kepentingan yang nyata dalam suatu perkara sehingga kedudukannya aktif dalam penanganan perkara. Dalam konteks sistem peradilan pidana maka dominus litis ialah pihak yang memiliki kepentingan sehingga suatu perkara dituntut, diperiksa dan diadili di persidangan. Konsekuensi adanya kepentingan yang nyata tersebut menjadikan pemilik kepentingan harus aktif dalam mempertahankan kepentingannya.
ADVERTISEMENT
Asas dominus litis merupakan asas yang berlaku universal dan terdapat dalam Article 11 Guidelines on the Role of Prosecutors yang menyatakan “Prosecutors shall perform an active role in criminal proceedings, …….” (Jaksa harus melakukan peran aktif dalam proses penanganan perkara pidana …….). Keaktifan jaksa tersebut merupakan konsekuensi jaksa selaku pemilik perkara yang memiliki kewajiban/beban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan ini pun diadopsi oleh Eight United Nation Congress on The Prevention of Crime dalam Kongres Pencegahan Kejahatan ke-8 di Havana pada tahun 1990.
Terkait keuniversalan asas dominus litis tersebut, berbagai doktrin hukum di Indonesia menempatkan jaksa (selaku penuntut umum) sebagai dominus litis yang mengendalikan proses penanganan perkara dari tahapan awal sampai dengan akhir (procureur die de procesvoering vaststelat). Hal ini pun senada dengan etimologi kata penuntut umum pun yang berasal dari kata “prosecution” yang berasal dari bahasa latin “prosecutes”, yang terdiri dari kata “pro” (sebelum) dan “sequi” (mengikuti) (vide dalil pemohon dalam Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015). Apabila makna etimologi antara dominus litis dan prosecutes tersebut dikaitkan dengan sistem peradilan pidana maka penuntut umum memiliki posisi strategis sebagai pemilik perkara yang wajib terlibat aktif sejak awal penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan.
Ilustrasi Penegak Hukum. Foto: Shutter Stock
Layaknya suatu asas hukum yang keberlakuan hukumnya ditentukan apabila asas tersebut dikonkretkan dalam norma atau peraturan hukum konkret, dominus litis sebagai asas hukum yang berlaku universal tersebut pun dikonkretkan di beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Misalnya, dalam Pasal 139 KUHAP yang pada pokoknya menyebutkan penuntut umum menentukan apakah suatu perkara pidana dapat/tidak diajukan ke pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah . Dalam Pasal 1 angka 6 huruf a dan b KUHAP pun menegaskan hanya jaksa yang dapat bertindak selaku penuntut umum dan melakukan penuntutan dalam perkara pidana sehingga sekaligus sebagai pihak yang memiliki kepentingan yang nyata dalam suatu perkara pidana.
ADVERTISEMENT
Konkretisasi asas dominus litis dalam KUHAP pun dapat dilihat apabila membandingkan antara Pasal 8 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik menyerahkan “berkas perkara” dan “tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti” kepada penuntut umum, dengan Pasal 143 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa penuntut umum melimpahkan “perkara” ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. Dalam 8 ayat (3) KUHAP terlihat bahwa yang diserahkan penyidik kepada penuntut umum ialah “berkas perkara, tanggung jawab terhadap tersangka dan barang bukti”, namun sama sekali tidak menyerahkan tanggung jawab “penanganan perkara”. Mengapa demikian? Karena sedari awal pemilik perkara ialah penuntut umum. Hal ini terlihat dalam Pasal 143 ayat (1) yang memperlihatkan bahwa apa yang dilimpahkan penuntut umum dengan permintaan agar segera diadili adalah “perkara” dan bukannya “berkas perkara, tanggungjawab tersangka dan barang bukti”.
ADVERTISEMENT
Selain itu, implementasi asas dominus litis pun juga ditemukan dalam Pasal 66 KUHAP yang menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Dengan kata lain, yang memiliki beban/kewajiban untuk membuktikan adalah penuntut umum, sehingga ia harus aktif dalam setiap proses penanganan perkara dan wajib memahami/mengetahui anatomi secara komprehensif perkara pidana yang akan dibuktikannya. Penuntut umum merupakan wakil negara yang melaksanakan kekuasaan negara (bukan kekuasaan pemerintah) di bidang penuntutan dan sekaligus memiliki kepentingan yang nyata dalam proses peradilan pidana.
Berdasarkan berbagai narasi normatif tersebut, dapat diketahui secara jujur bahwa KUHAP pun sebagai landasan operasional sistem peradilan pidana mendudukkan penuntut umum sebagai pemilik perkara dan sekaligus mengakui keberlakuan asas dominus litis sebagai asas hukum yang berlaku dalam hukum acara pidana.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangannya di Indonesia, asas dominus litis direduksi eksistensinya dengan adanya asas diferensiasi fungsional yang mengkotak-kotakkan antara penyidikan dan penuntutan, padahal keduanya masih dalam konsep sistem peradilan pidana terpadu??? Sejatinya, asas diferensiasi fungsional bukanlah merupakan asas hukum melainkan sistem administrasi yang memang memperlihatkan adanya administrasi dan fungsi yang berbeda dan terpisah antara penuntutan dan penyidikan. Namun, dalam perspektif sistem peradilan pidana terpadu, penyidikan dan penuntutan tidak dapat dipisahkan karena yang akan mempertanggungjawabkan baik-buruknya hasil penyidikan di depan persidangan adalah penuntut umum sebagaimana postulat actori incumbit onus probandi yang bermakna siapa yang mendakwakan dialah yang membuktikan.
Di pengadilan-lah ujung dari penyelesaian perkara pidana dilakukan dengan menguji kebenaran atas fakta-fakta hukum yang diajukan. Hasil pekerjaan penyidik dan penuntut umum adalah satu kesatuan sebagai premis tesis yang akan di-check and balance-kan dengan bantahan dari penasihat hukum sebagai premis antitesis, kemudian hakim-lah yang akan memeriksa dan mengadilinya sebagai sintesis (Barita Simanjuntak, diakses tanggal 17 November 2021). Oleh karena itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015, Mahkamah mempertimbangkan bahwa pra penuntutan merupakan sarana mekanisme kontrol bagi penuntut umum terhadap hasil kinerja penyidik agar tidak lepas kontrol sehingga dapat dipertanggungjawabkan nantinya dipersidangan. Check and balance sejatinya tidak terjadi pada tahap pra ajudikasi antara penyidik dan penuntut umum karena keduanya merupakan satu kesatuan proses hukum untuk keberhasilan penuntutan.
ADVERTISEMENT
Asas dominus litis tidak dapat dilepaskan dari asas opurtunitas yang dikokritkan dalam Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan sebagai kewenangan yang konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XIV/2016. Sebagai dominus litis dalam perkara pidana, Jaksa Agung dapat sewaktu-waktu mengeyampingkan perkara demi kepentingan umum. Kewenangan ini merupakan exclusive authority yang hanya diberikan kepada Jaksa Agung dan tidak kepada penegak hukum lainnya. Di Belanda sendiri, asas opurtunitas bahkan menjadi kewenangan dari setiap jaksa, bukan hanya menjadi kewenangan Jaksa Agung. Melalui asas opurtunitas memperkuat kedudukan penuntut umum sebagai dominus litis dalam perkara pidana.
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi. Foto: Shutter Stock
Meskipun asas dominus litis direduksi keberadaannya dengan kesalahpahaman dalam memahami dan menerapkan konsep diferensiasi fungsional, namun tidak demikian dengan Mahkamah Konstitusi. Dalam beberapa putusannya, Mahkamah Konstitusi sebagai the sole interpreter of the constitution (penafsir tunggal konstitusi) dan the guardian of the constitution (pelindung konstitusi) dalam berbagai pendapat/pertimbangan hukumnya secara eksplisit mendudukkan jaksa selaku penuntut umum sebagai dominus litis dalam perkara pidana sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dalam kedua putusan yang secara eksplisit menyebutkan asas dominus litis, Mahkamah Konstitusi secara terang dan jelas mempertimbangkan kedudukan jaksa selaku penuntut umum sebagai dominus litis yang memiliki peran penting dalam sistem peradilan pidana. Penuntut umum didudukkan sebagai pemilik perkara yang memiliki kepentingan nyata sehingga suatu perkara dituntut, diperiksa, dan diadili di persidangan. Selain itu, Mahkamah Konsitusi pun mempertimbangkan bahwa sebagai pihak yang memiliki kepentingan nyata, penuntut umum pun dapat menghentikan penuntutan sehingga suatu perkara tidak dituntut, diperiksa, dan diadili di persidangan.
Meskipun hanya terdapat 2 (dua) putusan Mahkamah Konstitusi yang secara eksplisit mempertimbangkan kedudukan penuntut umum sebagai dominus litis dalam SPP, diharapkan agar Mahkamah Konstitusi sebagai the sole interpreter of the constitution, jujur dan konsisten dalam pertimbangan hukumnya dan tidak overulling apabila norma yang di judicial review berkaitan dengan kedudukan penuntut umum dalam sistem peradilan pidana. Hal ini untuk menciptakan kepastian hukum dalam setiap putusan Mahkamah Konstitusi dan memperkuat sistem peradilan pidana yang seharusnya terpadu.
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 16.
Barita Simanjuntak, Paparan Ketua Komisi Kejaksaan terkait masukan dalam RUU Kejaksaan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) RUU Kejaksaan antara Komisi III DPR RI dengan Komisi Kejaksaan tanggal 17 November 2021.
Sri Marsita G, dkk., Implementasi Dominus Litis Penuntutan Dalam Kewenangan Kejaksaan, Miswar, Jakarta, hal.13-14.
US. Legal.com, “Dominus Litis Law and Legal Definition”, lihat dalam https://definitions.uslegal.com/d/dominus-litis/ diakses 4 Agustus 2020.
Dr. Muh. Ibnu Fajar Rahim, S.H., M.H., (Jaksa pada Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Kejaksaan Agung RI/ Dosen President University)