Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Implikasi Penghapusan Delik Penyebaran Berita Bohong Oleh Mahkamah Konstitusi
26 Mei 2024 10:16 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Dr Muh Ibnu Fajar Rahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus delik penyebaran berita bohong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (UU 1/1946) melalui Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023. Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa frasa “berita atau pemberitahuan bohong”, “onar atau keonaran”, dan “kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 merupakan rumusan yang multitafsir dan tidak memiliki parameter/ukuran yang pasti sehingga berdasarkan penalaran yang wajar dapat digunakan secara subjektif untuk melakukan kriminalisasi kebebasan berpendapat. Menurut MK, berbagai frasa tersebut bertentangan dengan asas yang berlaku dalam perumusan norma hukum pidana, yaitu tertulis (lex scripta), jelas (lex certa), dan tegas tanpa ada analogi (lex stricta).
Selain menghapus ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946, MK juga menyatakan Pasal 310 ayat (1) KUHP harus dimaknai “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Dalam pertimbangannya, MK berpendapat karena Pasal 310 ayat (1) KUHP telah diubah dengan Pasal 433 UU 1/2023 tentang KUHP maka perlu dilakukan penyesuaian dengan menambah unsur “dengan cara lisan”. Putusan MK a quo merupakan putusan yang bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (vide Penjelasan Pasal 10 UU MK), serta bersifat erga omnes, yakni berlaku bagi setiap orang, sehingga harus dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, penulis melihat terdapat ketidakonsistenan dalam Putusan MK a quo yang berpotensi menimbulkan kegaduhan hukum (legal disorder). Pertama, Pasal 310 ayat (1) KUHP telah diubah dengan Pasal 433 UU 1/2023 tentang KUHP sehingga MK melakukan penyesuaian dengan menambahkan frasa “dengan secara lisan” dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP yang tentunya berlaku hanya sampai dengan UU 1/2023 tentang KUHP efektif berlaku. Kedua, Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 telah diatur dengan Pasal 263 dan Pasal 264 UU 1/2023 tentang KUHP sehingga politik hukum yang dibangun dalam UU 1/2023 tentang KUHP masih mengakomodir pengaturan delik pemberitaan bohong yang mengakibatkan kerusuhan (bukan keonaran) untuk melindungi keamanan dan ketertiban umum. Begitupun, melalui Pasal 28 ayat (3) jo. Pasal 45A ayat (3) UU 1/2024 tentang ITE, apabila pemberitaan bohong yang mengakibatkan kerusuhan tersebut disebarkan melalui sarana informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Pasal 263 dan Pasal 264 UU 1/2023 tentang KUHP maupun Pasal 28 ayat (3) jo. Pasal 45A ayat (3) UU 1/2024 tentang ITE, menitikberatkan pada adanya unsur kerusahan yang secara sistematis berdasarkan Penjelasan Pasal 190 ayat (2) UU 1/2023 menjelaskan “Yang dimaksud dengan "kerusuhan" adalah suatu kondisi yang menimbulkan Kekerasan terhadap orang atau Barang yang dilakukan oleh sekelompok orang paling sedikit 3 (tiga) orang”.
ADVERTISEMENT
Namun, MK tidak melakukan penyesuaian sebagaimana pengujian Pasal 310 ayat (1) KUHP. Malahan MK membatalkannya. Hemat penulis, apabila MK konsisten dengan metode pengujian Pasal 310 ayat (1) KUHP maka MK seharusnya melakukan penyesuaian antara Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 dengan Pasal 263 dan Pasal 264 UU 1/2023 tentang KUHP, antara lain frasa “keonaran” diganti “kerusuhan”. Selengkapnya, ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946, Pasal 263 dan Pasal 264 UU 1/2023 tentang KUHP, serta Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 tentang ITE berbunyi sebagai berikut:
Hemat penulis, ketidakonsistenan MK tersebut merupakan bukti bahwa MK tidak mempertimbangkan lebih jauh terhadap implikasi hukum yang mungkin timbul dengan dihapuskannya ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946, yakni adanya kekosongan hukum terkait pelindungan hukum kepada setiap orang dari delik penyebaran berita bohong yang mengakibatkan “kerusuhan” sampai dengan Pasal 263 dan Pasal 264 UU 1/2023 tentang KUHP efektif berlaku. Berdasarkan penalaran yang wajar, kekosongan hukum tersebut dapat berwujud bom waktu (time bomb) yang akan mengakibatkan kegaduhan hukum (legal disorder) dalam sistem peradilan pidana, baik pada tahap pra adjukasi, adjudikasi dan pasca adjudikasi, baik pada saat ini maupun tatkala UU 1/2023 tentang KUHP efektif berlaku, sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Pertama, tahap pra adjukasi. Hakim, penuntut umum dan penyidik dapat menerapkan Putusan MK a quo pada tahap penyidikan, penuntutan atau pra peradilan, antara lain 1) penuntut umum memberikan petunjuk kepada penyidik untuk mencari alat bukti lain agar penuntut umum dapat membuktikan unsur “dengan lisan” dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP dan/atau menghentikan penyidikan atau (penuntut umum) menghentikan penuntutan, apabila Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 merupakan tindak pidana yang disangkakan terhadap tersangka; 2) Penuntut umum atau penyidik dapat merubah atau menghapus Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 dalam berkas perkara atau surat dakwaan; atau 3) Hakim memutuskan penetapan status tersangka tidak sah karena menggunakan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 atau tidak terdapat bukti permulaan yang cukup untuk membuktikan unsur “dengan cara lisan” apabila penetapan status tersangka menggunakan Pasal 310 ayat (1) KUHP.
ADVERTISEMENT
Apabila penyidik menghentikan penyidikan atau penuntut umum menghentikan penuntutan dengan dalih melaksanakan putusan MK a quo atau putusan pra peradilan yang menetapkan penetapan status tersangka tidak sah karena menggunakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946, maka tidak ada halangan bagi penyidik maupun penuntut umum untuk dapat melanjutkan kembali penyidikan atau penuntutan ketika ketentuan Pasal 263 dan/atau Pasal 264 UU 1/2023 efektif berlaku dengan tetap membuktikan unsur "kerusuhan" dan memperhatikan masa daluarsa ketentuan pidana dimaksud.
Kedua, tahap adjukasi. Penuntut umum dapat menuntut dengan tuntutan tidak dapat diterima apabila yang didakwakan ialah Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946, serta Pasal 310 ayat (1) KUHP apabila penuntut umum tidak dapat membuktikan unsur “dengan lisan”. Apabila penuntut umum menuntut tuntutan tidak dapat diterima dengan dalih melaksanakan putusan MK a quo maka ketika ketentuan Pasal 263 dan/atau Pasal 264 UU 1/2023 efektif berlaku berpotensi mengakibatkan korban mendapatkan ketidakadilan melalui tuntutan penuntut umum dan tidak ada lagi upaya yang dapat dilakukan oleh korban maupun penuntut umum terhadap putusan pengadilan dimaksud.
ADVERTISEMENT
Ketiga, tahap pasca adjukasi. Oleh karena putusan MK a quo telah menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 merupakan norma yang inkonstitusional, serta ketentuan Pasal 310 ayat (1) KUHP harus dimaknai dilakukan “dengan cara lisan” maka Presiden dapat memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan/atau rehabilitasi (GA2R) terhadap terpidana yang pasca putusan MK a quo masih menjalani pidana akibat melanggar Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946, serta melanggar Pasal 310 ayat (1) KUHP tetapi tidak dengan cara lisan. Hal tersebut, secara futuristik didasarkan pada ketentuan Pasal 3 ayat (4) UU 1/2023 yang menyatakan “Dalam hal setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan Tindak Pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan”. Khusus permohonan GA2R terkait dihapusnya Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946, apabila permohonan GA2R yang diajukan terpidana dikabulkan oleh Presiden dengan dalih melaksanakan putusan MK a quo maka ketika ketentuan Pasal 263 dan/atau Pasal 264 UU 1/2023 efektif berlaku, korban dapat menggugat keputusan Presiden dimaksud di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan alasan politik hukum pidana di Indonesia melalui ketentuan Pasal 263 dan/atau Pasal 264 UU 1/2023 masih mengatur kriminalisasi terhadap delik penyebaran berita bohong yang mengakibatkan kerusuhan.
Hemat penulis, potensi kegaduhan hukum tersebut merupakan dampak dari perilaku MK yang masih mempertahankan kebiasaannya dengan hanya meminta keterangan dari DPR dan Pemerintah, namun tidak meminta keterangan pihak terkait atau pemberi keterangan yang memiliki kepentingan untuk melindungi kepentingan umum, yakni penuntut umum/Kejaksaan. Dengan demikian, putusan MK a quo merupakan putusan yang kurang pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) karena tidak memperhatikan kebutuhan penegak hukum.
ADVERTISEMENT
Meskipun Putusan MK bersifat final sehingga harus dilaksanakan, berbagai implikasi hukum yang berpotensi mengakibatkan kegaduhan hukum (legal disorder) tersebut harus disikapi secara bijaksana, pasti dan adil oleh hakim, penuntut umum maupun penyidik, khususnya Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung sehingga berbagai keputusan yang dikeluarkan sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan putusan MK a quo memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi negara, masyarakat (umum) dan para pihak (korban dan tersangka/terdakwa/terpidana), khususnya jaminan pelindungan terhadap kebebasan berpendapat.
Dr. Muh. Ibnu Fajar Rahim, S.H., M.H., (Kasubag Tata Laksana pada Biro Perencanaan Kejaksaan Agung/Dosen President University)