Konten dari Pengguna

Jaksa Agung Sebagai Simbol Keadilan Restoratif

Dr Muh Ibnu Fajar Rahim
Doktor Usia 27th. Berprofesi sebagai Dosen President University. Member of Criminal Law and Criminology Teaching Association (ASPERHUPIKI)
14 Oktober 2022 13:29 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr Muh Ibnu Fajar Rahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta. Foto: Kejaksaan Agung RI
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta. Foto: Kejaksaan Agung RI
ADVERTISEMENT
Keadilan restoratif sebenarnya bukanlah barang baru. Pertama kali diperkenalkan Albert Eglash seorang psikolog dari Amerika pada tahun 1977 melalui bukunya yang berjudul “Restitution in Criminal Justice: A Critical Assessment of Sanctions”. Namun, jauh sebelum itu, keadilan restoratif telah lama diterapkan dalam peradaban dan tradisi Arab Kuno, Yunani, Romawi Kuno, Hidustan, masyarakat Budha, Tao, dan Konfusius, meskipun tidak menggunakan istilah keadilan restoratif. Dalam dunia internasional, keadilan restoratif diperbincangkan pertama kali melalui The Vienna Declaration on Crime and Justice: Meeting the Challenges of the Twenty-first Century pada tahun 2000. Kemudian pada tahun 2002, The United Nations Economic and Social Council membuat Basic Principles on the Use of Restoratif Justice Programmes in Criminal Matters. Terakhir, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) membuat Handbook on Restorative Justice Programmes (Second Edition) pada tahun 2020.
Muh. Ibnu Fajar Rahim. Foto diambil penulis
zoom-in-whitePerbesar
Muh. Ibnu Fajar Rahim. Foto diambil penulis
Di Indonesia sendiri, dari penelusuran penulis, konsep keadilan restoratif pertama kali diteliti oleh Dr. Achjani Zulfa selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia melalui Disertasi yang berjudul “Keadilan Restoratif Di Indonesia: Studi Tentang Kemungkinan Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana” pada tahun 2009. Kemudian pada tahun 2012, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana, keadilan restoratif masuk untuk pertama kalinya dalam sistem peradilan pidana melalui upaya diversi yang wajib dilakukan pada tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan.
ADVERTISEMENT
Saat ini, isu keadilan restoratif menjadi perbincangan hangat dalam dunia hukum di Indonesia. Bahkan menjadi primadona bagi masyarakat pencari keadilan dan bagi penegak hukum. Entah karena keadilan restoratif masuk dalam Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 ataukah ada kebutuhan hukum yang ditangkap oleh aparat penegak hukum. Sangat terlihat, masing-masing lembaga penegak hukum berlomba-lomba untuk turut andil dan berperan dalam menerapkan prinsip keadilan restoratif sesuai tugas dan wewenangnya masing-masing. Mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Lembaga Pemasyarakatan.
Pada tahun 2018, Kapolri mengeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 tanggal 27 Juli 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Pada tahun 2019, Kejaksaan mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Di tahun yang sama, Mahkamah Agung melalui Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum mengeluarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020. Pada tahun 2021, Kapolri mengeluarkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif. Terakhir, pada tahun 2021, Jaksa Agung mengeluarkan Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif. Sayangnya, dalam berbagai peraturan tersebut mengatur syarat penerapan keadilan restoratif yang berbeda-beda. Hal ini menimbulkan potensi adanya ketidakpastian dan disparitas dalam penerapannya. Oleh karena itu, perlu untuk mendudukkan siapakah yang paling bertanggungjawab untuk menjadi simbol dalam menjaga marwah keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana???
ADVERTISEMENT

Ruang Keadilan Restoratif

Secara normatif, politik hukum nasional mendefenisikan keadilan restoratif sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (vide Pasal 1 angka 6 UU SPPA). Meskipun penerapan keadilan restoratif yang murni seharusnya diterapkan di luar sistem peradilan pidana, namun dalam konteks sistem peradilan pidana, keadilan restoratif dapat diterapkan pada semua tahapan. Mulai dari tahap pra ajudikasi (penyelidikan-penyidikan-penuntutan), tahap ajudikasi (persidangan), sampai pada tahap purna ajudikasi (pemasyarakatan). Idealnya, penerapan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana dilakukan pada tahap pra ajudikasi karena sebagaimana defenisi keadilan restoratif berdasarkan politik hukum nasional, keadilan restoratif menekankan penyelesaian perkara di luar pengadilan ketimbang penyelesaian perkara melalui jalur pengadilan.
ADVERTISEMENT

Relasi Kejaksaan Melalui Jaksa Agung Dengan Keadilan Restoratif

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu, fungsi penuntutan tidak dapat dilepaskan dari fungsi penyidikan sebagai premis tesis yang akan di-check and balance-kan dengan argumentasi terdakwa/penasihat hukumannya sebagai anti tesis di persidangan. Hakimlah yang akan membuat sistensis-nya pada akhirnya. Fungsi penuntutan berada dalam satu napas dengan fungsi penyidikan.
Dalam perspektif asas dominus litis, penuntut umum merupakan pemilik perkara sedari awal karena yang diserahkan oleh penyidik hanyalah tanggungjawab terhadap tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum selaku pemilik perkara yang akan memutuskan dapat tidaknya perkara dilimpahkan ke pengadilan atau tidak. Surat dakwaan merupakan hasil dari produk penyidikan yang telah melalui proses penelitian perkara oleh penuntut umum sehingga perkara yang dilakukan penyidikan dinilai layak untuk dilakukan penuntutan. Hal ini menjadikan asas diferensiasi fungsional yang dianut dalam KUHAP tidak lagi sesuai dengan kebutuhan sistem peradilan pidana yang seharusnya terpadu saat ini. Memang secara administrasi, antara fungsi-fungsi dalam sistem peradilan pidana dapat dibedakan, namun khusus untuk penyidikan dan penuntutan merupakan suatu premis tesis yang saling berhubungan antara satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dalam perspektif asas penuntutan tunggal, fungsi penuntutan tidak dapat dilepaskan dari fungsi penyidikan meskipun kewenangan penuntutan diberikan kepada lembaga penuntutan. Kebijakan penanganan perkara pada tahap penyidikan dan penuntutan merupakan satu kebijakan sehingga tidak menimbulkan disparitas. Berdasarkan hal tersebut, KUHAP sebagai landasan operasional sistem peradilan pidana harus mengubah paradigma dengan menerapkan asas penuntutan tunggal yang menjadikan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi yang dapat menetapkan kebijakan penanganan perkara pada tahap penuntutan dan penyidikan. Pertanggungjawaban pelaksanaan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Agung nantinya akan dipertanggungjawabkan di depan Dewan Perwakilan Rakyat selaku representasi rakyat sebagai pemilik kedaulatan/kekuasaan (vide Pasal 37 ayat (2) UU Kejaksaan).
Berbagai asas dan norma hukum tersebut menjadikan penuntut umum memiliki posisi yang strategis, peranan yang sangat penting, dan tentunya tanggungjawab dalam menentukan suatu perkara diselesaikan melalui mekanisme persidangan atau di luar persidangan. Spirit penguatan tersebut pun diterjemahkan secara tertulis (lex certa) dan jelas (lex stricta) dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru. Dalam Pasal 37 Undang-Undang Kejaksaan menyatakan bahwa Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dalam penjelasan pasal tersebut menjelaskan bahwa sebagai perwujudan dari keadilan restoratif, penuntutan dilakukan dengan menimbang antara kepastian hukum (rechtmatigheids) dan kemanfaatannya (doelmatigheids). Perlu diketahui bahwa selain Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Kejaksaan inilah sebagai satu-satunya produk hukum yang mengatur kelembagaan aparat penegak hukum yang menyebutkan secara tegas mengenai keadilan restoratif sebagai tujuan yang harus dicapai dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang. Pasal 37 Undang-Undang Kejaksaan tersebut mendudukkan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi yang bertanggungjawab dalam mewujudkan keadilan restoratif pada proses penuntutan yang tidak dapat dilepaskan dengan fungsi penyidikan.
Pengadilan Suka Makmue, Aceh, mendamaikan terdakwa dan korban sebagai bentuk restorative justice. Foto: Pengadilan Negeri Suka Makmue

Produk Penerapan Keadilan Restoratif Oleh Kejaksaan

Sampai dengan Mei 2022, Kejaksaan telah menghentikan penuntutan perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif sebanyak 1.070 (seribu tujuh puluh) perkara. Proses penghentian penuntutannya pun sangat ketat karena diputuskan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum. Hal ini dilakukan untuk menjaga kebijakan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Selain itu, di samping berbagai produk hukum yang telah diterbitkan oleh Jaksa Agung tentang keadilan restoratif, pada tahun 2022 ini, Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum telah menginstruksikan kepada seluruh satuan kerja Kejaksaan se-Indonesia untuk membentuk unit keadilan restoratif di wilayah hukum masing-masing, seperti rumah keadilan restoratif, kampung restorative justice, dan sebagainya. Alhasil sampai saat ini, Kejaksaan telah menginisiasi 410 (empat ratus sepuluh) Rumah Restorative Justice yang tersebar di 33 (tiga puluh tiga) wilayah Kejaksaan Tinggi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hemat penulis, Rumah Restorative Justice merupakan implementasi keadilan restoratif secara murni, yakni penyelesaian perkara di luar sistem peradilan pidana. Kebijakan ini merupakan buah pikiran tentang menghidupkan kembali nilai-nilai yang hidup di masyarakat mengenai musyawarah dengan mengedepankan kebiasaan berkomunikasi dan meningkatkan kepekaan terhadap kearifan lokal, sebagai jati diri bangsa sesuai dengan nilai-nilai Pancasila untuk mencapai kesepakatan damai sebagai bentuk penyelesaian perkara. Sangat terlihat kebijakan inipun hendak mengelaborasi hukum yang hidup (living law) dengan hukum yang berlaku (positive law). Diharapkan dengan adanya pengaturan mengenai keadilan restoratif tersebut (legal substance) dan jaksa selaku fasilitator untuk memfasilitasi proses perdamaian (legal structure), maka diharapkan akan mewujudkan budaya hukum (legal culture) bagi penegak hukum dan khusnya bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran dalam berpartisipasi dalam menegakkan hukum dan mengedepankan kepentingan pelaku, korban, keluarga pelaku, dan pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dan damai bukan balas dendam.
ADVERTISEMENT

Mendudukkan Jaksa Agung Sebagai Simbol Restorative Justice

Melihat peranan dan tanggungjawab Jaksa Agung dalam mewujudkan keadilan restoratif baik yang diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan maupun berbagai kebijakan hukum yang telah dilakukan oleh Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi tersebut menjawab kepercayaan pembentuk undang-undang yang memberikan wewenang secara atribusi kepada Jaksa Agung sebagai penanggungjawab dalam mewujudkan keadilan restoratif sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 37 ayat (1) UU Kejaksaan.
Sejatinya, Jaksa Agung adalah man of law, yakni abdi hukum yang sebenarnya. Man of law tersebut secara mudah dapat dipahami sebagai pejabat yang paham dan mengerti bagaimana hukum diterapkan secara adil. Layaknya hukum sebagai simbol, Jaksa Agung sebagai man of law dan penanggungjawab dalam mewujudkan keadilan restoratif merupakan simbol restorative justice itu sendiri yang bertanggung jawab untuk menjaga marwah keadilan restoratif sebagai alternatif penyelesaian perkara di luar pengadilan.
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
(1) James Dignan. Understanding Victims And Restorative Justice. Open University Press. Maidenhead. Berkshire. UK. 2005. h. 94.
(2) Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Cahaya Atma Pustaka. Yogyakarta. 2016. h. 44-45.
(3) Michael Tonry. The Handbook of Crime and Punishment. Oxford University Press. New York. 1998. h. 323.
(4) Nor Soleh. Restorative Justice Dalam Hukum Pidana Islam Dan Konstribusinya Bagi Pembaharuan Hukum Pidana Materiil Di Indonesia. Jurnal Studi Hukum Islam ISTI’DAL. Volume 2 Nomor 2. Juli-Desember 2015. h. 127.
(5) Barita Simanjuntak (Ketua Komisi Kejaksaan). Bahan Paparan: Point-Point Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Kejaksaan Dalam Rapat Dengar Pendapat antara Komisi Kejaksaan dengan Komisi III DPR pada tanggal 17 November 2021. Lihat di https://www.youtube.com/watch?v=JtZSdJGJs2o&t=429s. dianses tanggal 07 Juni 2022.
ADVERTISEMENT
(6) https://www.liputan6.com/news/read/4968808/kejaksaan-agung-selesaikan-1070-perkara-lewat-restorative-justice-hingga-mei-2022. diakses tanggal 07 Juni 2022.
(7) https://www.unair.ac.id/2022/07/01/jaksa-agung-ri-resmikan-rumah-restorative-justice-di-fh-unair/. diakses tanggal 07 Juni 2022.
(8) Marwan Effendy. 2005. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum. Jakarta: PT Gramedia. h. 43.
*) Tulisan ini meraih Juara III pada Lomba Karya Tulis Ilmiah Memperingati Hari Bhakti Adhyaksa Ke-62 Tahun 2022 Yang Diselenggarakan Oleh Kejati Maluku
Dr. Muh. Ibnu Fajar Rahim, S.H., M.H., (Jaksa pada Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Kejaksaan Agung RI/ Dosen President University)