Konstitusionalitas Pengangkatan Jaksa Sebagai Pejabat Kepala Daerah

Dr Muh Ibnu Fajar Rahim
Doktor Usia 27th. Berprofesi sebagai Jaksa dan Dosen President University.
Konten dari Pengguna
31 Mei 2022 18:06 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr Muh Ibnu Fajar Rahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Persoalan pemilihan kepala daerah memang selalu menarik untuk diperbincangkan karena senantiasa bersinggungan dengan kekuasaan. Di tahun 2022 ini, terdapat 101 jabatan kepala daerah, yang terdiri dari 7 gubernur, 76 bupati, dan 18 walikota, yang sedang kosong. Kekosongan tersebut dilatarbelakangi berbagai macam hal, seperti pejabat defenitif meninggal dunia, mengundurkan diri, dipidana, dsb. Namun, mayoritas kekosongan tersebut merupakan dampak kebijakan pemilihan umum secara serentak yang diselenggarakan pada tahun 2024 berdasarkan Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 10/2016), sehingga terdapat beberapa kepala daerah yang lebih dulu habis masa jabatannya sebelum pemilihan umum digelar secara serentak nasional pada tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Terkait kekosongan ini sebenarnya telah diantisipasi dalam Pasal 201 ayat (10) UU 10/2016 yang menyebutkan "Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016 yang menyebutkan "Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Muh. Ibnu Fajar Rahim, Foto diambil penulis
Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 secara expresive verbis telah menentukan bahwa apabila terdapat kekosongan jabatan gubernur maka diangkat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya, sedangkan untuk kekosongan jabatan bupati/walikota diangkat bupati/walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama. Terkait jabatan pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama tersebut telah ditentunkan dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN) bahwa keduanya merupakan jabatan pimpinan tinggi (vide Pasal 19 ayat (1) UU ASN). Dengan demikian, ASN yang menduduki jabatan pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama dapat diangkat menjadi kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Pengaturan pengisian kekosongan jabatan ini pun secara konstitusional telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022 yang mengatur permasalahan kekosongan jabatan kepala daerah karena pemilihan umum serentak tahun 2024 telah diantisipasi melalui Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016. Dengan demikian Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 merupakan norma konstitusional.
Sayangnya, dalam kedua putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terdapat pesan konstitusional kepada pemerintah untuk melaksanakan proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah secara demokratis melalui peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut dari Pasal 201 UU 10/2016, yang sampai saat ini belum ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi. Foto: Shutter Stock
Pesan konstitusional tersebut seolah-olah ditagih masyarakat saat ini tatkala Menteri Dalam Negeri menunjuk Kepala Badan Intelijen (BIN) Sulawesi Tengah, Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin sebagai Pj. Bupati Seram Bagian Barat berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 113.81-1164 Tahun 2022 tentang Pengangkatan Pejabat Bupati Seram Bagian B`arat Provinsi Maluku. Sebagaimana yang diketahui bahwa Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin merupakan TNI aktif. Memang dalam UU ASN mengatur bahwa prajurit TNI maupun anggota Polri dapat diangkat dalam jabatan sipil (vide Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU ASN). Adapun pengangkatan tersebut dilaksanakan berdasarkan UU TNI dan UU Polri yang pada pokoknya menyatakan keduanya dapat diangkat dalam jabatan sipil atau jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas (vide Pasal 148 ayat (2) UU ASN jo. Pasal 47 UU TNI & Pasal 28 ayat (3) UU Polri). Singkatnya, tidak boleh berstatus prajurit TNI/anggota Polri aktif.
ADVERTISEMENT
Khusus untuk TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung (vide Pasal 47 UU TNI). Berbagai hal tersebut pun telah ditegaskan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022. Dengan demikian, jabatan bupati merupakan jabatan sipil yang tidak dapat dijabat oleh TNI/Polri yang aktif atau apabila TNI/Polri tersebut belum mengundurkan diri atau pensiun dari dinas. In casu a quo, Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin yang merupakan TNI aktif, tidak dapat menjabat dalam jabatan bupati yang merupakan jabatan sipil. Pengangkatan tersebut merupakan tindakan inkonstitusional.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, syarat untuk mengundurkan diri atau pensiun dari dinas tersebut merupakan spirit penguatan supremasi sipil atas supremasi militer yang dikonkretkan dalam Pasal 150 UU ASN pun menyebutkan bahwa "Prajurit TNI dan anggota Polri yang menduduki jabatan ASN pada Instansi Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 UU ASN tidak dapat beralih status menjadi PNS". Sejatinya, dalam konsep negara hukum yang demokratis menempatkan supremasi militer di bawah kontrol supremasi sipil. Hal tersebut bertujuan agar demokratisasi sebagai agenda reformasi dapat berjalan sesuai tujuan bernegara. Tidak dapat dipungkiri, sampai saat ini pengaruh supremasi militer masih tetap eksis. Salah satunya adalah adanya doktrin-doktrin militer yang masih mempengaruhi struktur dan budaya lembaga negara maupun pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat supremasi sipil yang seharusnya mengontrol budaya militer. Dalam supremasi sipil, budaya dan pengaruh militer harus diminimalisir sekecil mungkin sehingga berada dalam kendali sipil. Penguatan supremasi sipil dapat dilakukan melalui penghormatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. In casu a quo, UU ASN melarang prajurit TNI/anggota Polri yang aktif menduduki jabatan kepala daerah sebagai jabatan sipil.
ADVERTISEMENT
Lantas kembali ke judul, apakah seorang jaksa dapat diangkat sebagai kepala daerah, baik itu gubernur, walikota, ataupun bupati? Mencermati Pasal 1 angka 2 UU Kejaksaan baru disebutkan bahwa “jaksa adalah pegawai negeri sipil dengan jabatan fungsional yang memiliki kekhususan dan melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya berdasarkan undang-undang”. Hakikat kekhususan jaksa sebagai ASN tersebut dijelaskan dalam Penjelasan bagian I Umum paragraf UU Kejaksaan baru yang menyebutkan “hal lain yang menjadi penting dalam menguatkan kedudukan Jaksa sebagai pegawai negeri sipil dengan jabatan fungsional memiliki kekhususan yang mengakomodasi karakteristik Jaksa untuk optimalisasi pelaksanaan tugas dan fungsinya dan penguatan organisasi, termasuk pengaturan rangkap jabatan penugasan Jaksa di luar instansi Kejaksaan sesuai dengan kompetensi dan kewenangan Jaksa”. Kehususan jaksa sebagai ASN khusus tersebut memiliki 2 (dua) arti, yakni kekhususan dalam arti sempit dan kehususan dalam arti luas. Kekhususan dalam arti sempit bahwa jaksa dikecualikan dari manajemen kepegawaian PNS pada umumnya, sedangkan kekhususan dalam arti luas bahwa jaksa dapat dikecualikan dari peraturan tentang kepegawaian PNS dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan Kejaksaan.
ADVERTISEMENT
Jaksa merupakan aparatur sipil negara yang terlepas dari jubah-jubah militer. Berkenaan dengan kesipilan seorang jaksa, dalam Pasal 11A ayat (1) huruf a UU Kejaksaan baru menyatakan bahwa “jaksa dapat ditugaskan untuk menduduki atau mengisi jabatan di luar instansi Kejaksaan”. Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016, serta putusan mahkamah konstitusi yang telah disebutkan sebelumnya maka seorang jaksa yang menduduki jabatan pimpinan tinggi madya, untuk mengisi kekosongan jabatan dapat diangkat dalam jabatan gubernur dan begitupun untuk jaksa yang menduduki jabatan pimpinan tinggi pratama dapat diangkat dalam jabatan walikota/bupati dimana kedua tindakan tersebut merupakan tindakan yang konstitusional.
Dalam sejarahnya, ada 1 (satu) orang jaksa aktif yang pernah menduduki jabatan kepala daerah. Jaksa tersebut ialah mantan Jaksa Agung ke-17, Baharudin Lopa. Pada saat berusia 25 (dua puluh lima) tahun, Baharudin Lopa dipercaya oleh Panglima Militer Hasanuddin, Kolonel M. Jusuf untuk menjabat jabatan kepala daerah, yakni Bupati Majene, Provinsi Sulawesi Selatan, selama kurang lebih 2 (dua) tahun. Pengangkatan tersebut dilatarbelakangi karena adanya ketakutan masyarakat terhadap warlord lokal atau orang paling ditakuti di sekitar Sulawesi Barat dan Pare-Pare yang bernama Andi Selle yang diduga terlibat penyelundupan di zaman Kahar Muzakkar masih memberontak terhadap pemerintah di Sulawesi Selatan. Kasus ini pun diduga terkonfrontasi dengan Komandan Batalyon 710. Singkat cerita, Baharuddin Lopa pun berhasil membuktikan integritasnya dengan mengusut dan menyelesaikan kasus penyelundupan tersebut tanpa rasa takut.
ADVERTISEMENT
Pengangkatan jaksa dalam jabatan kepala daerah memang memiliki aspek historis dan normatif yang argumentatif, serta konstitusional. Selain itu, dari aspek kemanfaatan, jaksa dengan berbagai spesialisasi yang dimilikinya baik sebagai jaksa penuntut umum, jaksa penyidik, jaksa intelijen, jaksa pemulihan aset, jaksa pengacara negara, dsb., yang menjabat sebagai kepala daerah tentunya mumpuni dalam hal penegakan hukum, khusus pemberantasan korupsi yang merupakan penyakit klasik di tubuh pemerintahan sampai saat ini. Profesi jaksa tentu saja tetap melekat dimanapun jaksa itu berada termasuk manakala seorang jaksa ditugaskan untuk melaksanakan tugas dalam jabatan kepala daerah. Diharapkan penugasan jaksa sebagai kelapa daerah dapat membawa harapan dan cita-cita penyelenggaraan pemerintahan yang taat hukum, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepostime. Yang pada ujungnya mampu mewudkan integritas pemerintahan yang mampu mensejahterahkan masyarakatnya. Jaksa menjadi kepala daerah? Mengapa tidak?!?
ADVERTISEMENT
Dr. Muh. Ibnu Fajar Rahim, S.H., M.H., (Jaksa pada Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Kejaksaan Agung RI/ Dosen President University)